Rabu, 27 Juni 2012

~* Menghamba dengan tulus, *~


Menghamba dengan tulus, Menjadi Manusia Ilahi, Wujudkan Khilafah 

 

 

Seorang muslim yang melakukan ziarah terus menerus kedalam dirinya akan mendapati sebuah fakta bahwa ia adalah HAMBA ALLAH dengan kewajiban mengabdi semurni-murninya sekaligus juga, pada waktu yang sama, ia adalah WAKIL ALLAH dengan kewajiban mengurusi kesejahteraan kehidupan bumi.

Menjadi HAMBA ALLAH menarik kita memasuki ruang sunyi kehidupan. Yang dilakukannya adalah berdiam diri dalam situasi dan kondisi yang hening. Ia khusuk menghamba, merendahkan diri, menjadi tak berdaya, tunduk dalam kuasa dan kehendak-Nya, lenyap dalam keesaan-Nya. Ia tak menyisakan sesuatu sedikitpun dari dirinya, olehnya dan untuknya. Ia mengharap jika diperkenankan, meminta jika dikehendaki, mengada karena diadakan, memiliki karena diberi. Perkataannya semata adalah la haula wa laa quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah, bersama Allah, dan oleh Allah.

Dan menjadi WAKIL ALLAH membawa kita pada keramaian kata, hiruk-pikuk kebutuhan, lantas ia tidak menjadi terasing dari lingkungannya. Yang dilakukannya adalah terus berfikir, terus bergerak, dan terus bergumul dengan realitas kehidupan. Ia mengada dengan segenap potensi dan memberdayakan segala sumber potensi baik internal maupun eksternal. Aktifitas hariannya adalah: menatap, memperhatikan, melindungi, mencurahkan, mengatasi, mengurusi, memberi, dan membimbing dirinya dan sesamanya. Ia laksana mata air yang senantiasa menyemburkan air segar, menyegarkan dan menghidupkan sekitar.

Sebagai HAMBA ALLAH seorang muslim terus menatapi langit dengan mewujudkan semua sifat-sifat penghambaan agar ia mendapatkan perhatian dan pengurusan dari yang Maha Mengurusi. Pada saat itu juga ia tetap menapaki bumi sebagai WAKIL ALLAH dengan menjelmakan semua sifat-sifat ketuhanan, menjadi manusia ilahi (pinjam istilah Murtadha Muthahari) lalu mengurusi dirinya dan sesamanya.

Seorang muslim menampakkan penghambaannya melalui tindak perbuatan jasmaninya. Sifat penghambaannya muncul saat ia bertindak. Tidak ada yang mengetahui kepada siapa seorang muslim menghamba kecuali setelah melihat tingkah laku hariannya. Penghambaannya kepada yang Maha Lembut (Al-Lathif) muncul dalam caranya berhubungan dengan orang lain. Penghambaannya kepada Allah muncul dalam caranya menjelmakan sifat-sifat Allah. Pada saat itulah fungsi hamba dapat mengukuhkan fungsi wakil. Dengan kata lain, tidak bisa ia menjadi WAKIL ALLAH sebelum ia benar-benar menghamba kepada-Nya.

Sampai disini kita memahami bahwa kekhalifahan kita adalah menjadi HAMBA ALLAH sekaligus juga menjadi WAKIL ALLAH pada tempat dan waktu yang sama. Dan kekhalifahan itu bisa diwujudkan melalui penghambaan yang sungguh-sungguh kepada-Nya dan tak menyekutukan-Nya dengan apa pun (QS. 24:55)


-----------




Sumber bacaan:
1. Laleh Bakhtiar, Meneladani Akhlak Allah Melalui Al-Asma Al-Husna, penerjemah: Femmy Syahrani, Mizan: 2002, Cet.1
2. Murtadha Muthahari, Kumpulan Artikel Pilihan, penerjemah: M.J. Bafaqih, Lentera: 2003, Cet.1