السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
a“Idza ja-a nashrullahi wal fathu,
wara aytannas sayad khuluna fi dinillahi afwaja..” (An-Nashr: 1-2) (Ketika datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu akan melihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong…”. a
Aisha Uddin tampak sedang melafalkan surah Alfatihah bersama teman
dekatnya, Sameeah Karim, di rumahnya. Ayat suci itu diucapkannya dengan
lancar meski sesekali terdengar kesalahan eja dari mulut wanita berusia
22 tahun itu.
Tak seperti Sameeah (35 tahun) yang berdarah Pakistan dan dibesarkan
dengan lantunan Alquran, Aisha berbeda sama sekali. Aisha yang bernama
asli Laura adalah seorang mualaf sejak dua tahun lalu.
Seperti warga asli Inggris kebanyakan, kulitnya berwarna putih pucat
dengan bola mata biru terang. Aisha atau Laura berasal dari Birmingham.
Sampai sekarang, ia masih berpakaian seperti wanita muda Inggris
lainnya.
Mengenakan jins, jaket bertudung, dan ber-make up tebal. Namun, Aisha
kini melengkapinya dengan mengenakan jilbab untuk menutupi rambutnya.
“Bagi saya, sekarang, jelas ini merupakan perubahan dramatis. Namun, ini
perubahan yang membuat saya bahagia karena saya tak perlu lagi
membuktikan diri sendiri kepada siapa pun di luar sana,” tuturnya,
seperti ditulis BBC.
Aisha mulai tertarik Islam saat bersekolah. Dia lantas diam-diam
mengunjungi masjid di kotanya untuk mempelajari Islam lebih dalam.
“Islam menarik perhatian saya dan saya ingin melihatnya lebih jauh ke
dalam orang-orang dan budayanya. Dan, saya terus belajar dan belajar
bahkan setelah sekolah usai,” ujarnya.
Bertahun-tahun Aisha mencari tahu lebih banyak mengenai Islam sebelum
benar-benar mengucapkan dua kalimat syahadat, mengubah penampilan, dan
menunaikan shalat lima waktu. “Hidupku berubah drastis. Saya dulu
seorang pemberontak, bermasalah di rumah, sering pergi dan tinggal di
luar rumah, serta malas belajar di sekolah,” katanya.
“Setelah menjadi Muslim, saya menjadi lebih tenang. Saya lebih suka
tinggal di rumah untuk membaca buku atau berinternet. Saya menjadi orang
yang lebih bahagia. Saya bangga dengan diri sendiri, saya kini
mempunyai identitas baru,” tegasnya.
Aisha merupakan salah satu gambaran warga kulit putih Inggris yang
memilih untuk menjadi mualaf sebagaimana ditunjukkan dari hasil
penelitian yang dilakukan sebuah lembaga nirlaba di Swansea University,
Faith Matters. Lembaga ini bekerja sama dengan masjid-masjid di sana
untuk mengurangi sikap ekstrem dan memperbaiki hubungan antarumat
beragama.
Dalam penelitian berjudul “A Minority Within A Minority: A Report on
Converts to Islam in the United Kingdom”, lembaga ini menggunakan
sejumlah sumber, termasuk survei di 250 masjid di Inggris, data sensus
sejak 2001, dan angka konversi agama di Eropa. Hasilnya sungguh
mengejutkan. Para peneliti memperkirakan kini terdapat sebanyak 100 ribu
warga Inggris dari berbagai latar belakang etnis yang mengonversi
agamanya ke Islam.
Angka itu memperlihatkan peningkatan tajam dibandingkan jumlah warga
yang menjadi mualaf sebanyak 60 ribu orang pada 2001. Untuk melihat
lebih dalam pengalaman para mualaf itu, para peneliti mewawancarai 120
orang dari mereka, terutama dari kalangan pemuda dan perempuan kulit
putih Inggris.
Tahun lalu saja, Faith Matters menemukan sebanyak 5.200 warga Inggris
menjadi mualaf. Berdasarkan hasil survei, 56 persen mualaf itu
merupakan warga kulit putih Inggris. Uniknya, dari warga asli Inggris
ini ternyata 62 persen di antaranya adalah perempuan. Para mualaf itu
rata-rata berasal dari kalangan muda dengan usia 27 tahun.
Di Masjid Regent’s Park, di pusat Kota London, sekarang banyak
dijumpai wajah asli orang Inggris di antara jamaah shalat Jumat.
Konversi terjadi di masjid ini hampir setiap pekan, terutama pada hari
Sabtu. Salah satu dari mereka adalah adik ipar mantan perdana menteri
Inggris Tony Blair, Lauren Booth, yang mengucapkan dua kalimat syahadat
dan biasa melakukan shalat di sana.
Salah seorang imam masjid di London, Ajmal Masroor, tak terlalu
terkejut mendengarkan kabar itu. Berdasarkan pengalamannya, sekitar tiga
perempat dari mualaf itu memang berasal dari kalangan perempuan.
“Banyak orang yang mencari kedamaian spiritual daripada kehidupan
hedonistik yang disetir kebutuhan materi yang ada di sekitar kita,” ujar
Masroor.
“Mereka menemukan jawabannya dalam Islam. Wanita lebih mudah merenung,
berpikir, dan mengambil hal-hal yang lebih serius, bahkan dari usia
muda,” tambahnya. Kondisi ini, ujar Masroor, telah berlangsung selama 20
tahun terakhir dan terlebih lagi sejak peristiwa 9/11 di New York,
Amerika Serikat.
Orang-orang dibuat penasaran mengenai Islam. Mereka kemudian mencari
tahu dengan membaca buku daripada melihat berita-berita di media massa
yang sudah terdistorsi. “Mereka mempelajari bahwa Islam ternyata mampu
memenuhi perjalanan pribadi serta kesadaran kolektif.”
Selama ini, media massa di Inggris selalu mengidentikkan para mualaf
ini dengan terorisme atau fundamentalis. Faith Matters memdapatkan 62
persen berita koran di sana mengaitkan mereka dengan terorisme dan 14
persen lagi dengan Islam fundamentalis atau ekstrem.
Namun, penelitian yang dibuat Faith Matters memperlihatkan gambaran
yang jauh berbeda dengan citra mualaf sebagai teroris atau fundamentalis
itu. Direktur Faith Matters Fiyaz Mughal menyatakan, para mualaf
Inggris ini bukanlah musuh dalam selimut. Mereka justru bisa berperan
dalam memperkuat hubungan antarkomunitas di Inggris.
Mughal mengatakan, para mualaf ini dapat memperlihatkan hakikat
ajaran Islam tanpa terbebani oleh muatan budaya Timur Tengah atau Asia
Selatan, seperti yang sering mewarnai kehidupan orang-orang Inggris
keturunan imigran yang lahir sebagai Muslim. Ini disebabkan mereka
merasa mempunyai identitas ganda sebagai orang Inggris asli sekaligus
sebagai Muslim.
Dalam survei itu para responden mengatakan, mereka bisa menjadi
jembatan antara kedua komunitas karena mereka memahami sudut pandang
kedua pihak. Selain itu, para mualaf Inggris ini tidak terbelenggu oleh
praktik budaya yang di Inggris secara salah kaprah disebut sebagai
ajaran Islam, seperti sunat wanita, kawin paksa, dan penindasan
perempuan.
Hasil penelitian ini bahkan ditulis oleh seorang mualaf Inggris
bernama Muhammad Arifin Kevin Brice yang menikah dengan seorang wanita
Muslim. Faith Matters melaporkan, para mualaf Inggris ini juga kerap
menghadapi kesulitan seperti ditentang oleh keluarganya ketika
memberitahukan keislamannya.
Seperti Aisha, dia langsung dimusuhi oleh keluarganya yang tak mau
melihat kenyataan dirinya. “Keluarga saya tidak terlalu senang melihat
kenyataan ini. (Mereka bertanya) mengapa mengubah identitasmu? Mengapa
kamu menutupi rambut? Mengapa kamu berpakaian seperti ini?” ungkap
Aisha.
Namun, Aisha yang belum lama ini menikah dengan seorang pria
keturunan Bangladesh tak terlalu merisaukan penolakan keluarganya. Dia
kukuh memegang agama barunya ini. “Saya bangga menjadi Muslim, saya tak
peduli dengan apa yang keluarga saya katakan.”
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
(Republika online, 07 Januari 2011, bbc ed: budi raharjo)