Bidadari itu Dibawa Jibril (Cerpen) Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
karya-karya KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) sangat memukau buat saya….
tidak jarang karya beliau yang endingnya membuat penasaran, tapi kita terpuaskan…
tidak jarang karya beliau yang endingnya membuat penasaran, tapi kita terpuaskan…
………………………………………BIDADARI ITU DIBAWA JIBRIL………………………………..
Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu
memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari
keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah,
ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa
Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil
belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan
tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan.
Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang
sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila
dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak
segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya
yang muslimah–dia biasa memanggilnya ukhti–jilbabnya kurang rapat,
misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas.
Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan
memegang gelas tangan kiri, “Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal
tayammun;” katanya, “Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu
yang baik, menggunakan tangan kanan!” Dosen yang lain ditegur
terang-terangan karena merokok. “Merokok itu salah satu senjata setan
untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen,
Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu.” Dia juga pernah
menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. “Bapak tahu
enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau
datang ke rumah orang yang ada anjingnya!”
Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam,
Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran
dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak
dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan
banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam
melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia
mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia
pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut
ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat;
demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga
demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin
karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia
tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang
penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar
makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar
dan menyeleweng dari rel agama.
Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian
dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi
sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya
bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri
kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan
kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini
disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah
lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran
dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar
makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru
menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*
Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan
Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi.
Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak
menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah
mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang
mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku
seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.
Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas
kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang,
“Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?
“Syeikh baru?” tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar.”Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.
“Siapa, mas?” tanyaku benar-benar ingin tahu.”Jibril, mas. Malaikat Jibril!”"Jibril?” aku tak bisa menahan tertawaku.
Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak.”Jangan ketawa! Ini serius!
“Wah. Katanya, bagaimana rupanya?” aku masih kurang percaya.”Dia
tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti
Sampeyan.
“Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya
benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. “Bagaimana
ceritanya, mas?
“Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang
lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian
seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya
itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang
langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu
hanya dipinjam mulutnya.
“Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?”"Lo,
malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya
itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa
fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh
manusia.
“Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!”
selaku, “Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang
termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan
berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah
berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena
keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera
mengusirnya.
“Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya
lo.”Wah.”Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu
dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.
Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin
memurnikan agama itu kini “hanya” menjadi pengikut sebuah aliran yang
menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah
Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.
Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas
Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti
khawatir.
“Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. “Apa, mas?” aku terkejut setengah mati, “membakar diri bagaimana?
“Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk
membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri
mereka dengan spritus kemudian membakarnya.
“Hei,” aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku
pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru
mereka bunuh diri.
“Yang lucu, mas,” suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, “gurunya
itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia
yang paling banyak dosanya ya, mas?!
“Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon.”Doakan sajalah mas!” kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.
Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa
istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang
mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi
suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.
“Pernah pulang sebentar, mas” kata Mas Danu di telepon, “dan Sampeyan
tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat
dari mana?”***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku
mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak
ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya
singkat: “Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak
berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).
“Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis
SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan
perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.
***Rembang, Akhir Ramadan 1423
Pernah dimuat di media Indonesia, 3 September 2003