السَّلاَمُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
~* Merasakan Kedekatan Allah swt.
dalam Sujud *~
بِسْمِ
اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
“ Paling dekatnya seorang hamba kepada Allah adalah pada waktu dia
sujud, maka perbanyaklah doa (pada saat itu) “(H.R Muslim dari Abu
Hurairah)
Beberapa lafadz bacaan dalam sujud yang disyariatkan oleh Nabi adalah :
1) Bacaan yang disebutkan dalam hadits Hudzaifah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan AnNasaa’i 56:
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى
“Maha Suci Tuhanku yang Maha (Paling) Tinggi “
Sebagaimana dijelaskan pada bacaan ruku’ sebelumnya, tidak ada batasan jumlah bilangan mengucapkannya, namun disesuaikan dengan panjang/lamanya sujud.
Penjelasan :
Dalam bacaan ini kita nyatakan bahwa Allah adalah Yang Paling Tinggi
di atas segala-galanya. Dialah Yang Tertinggi dalam Dzat maupun
SifatNya. Tidak ada yang lebih tinggi dari Allah dalam dzat maupun
SifatNya.
Sifat Allah berada pada puncak kesempurnaan yang tidak ada kekurangan,
cela, maupun aib sedikitpun. Dalam AlQuran disebutkan :
...وَِللهِ اْلمَثَلُ اْلأَعْلَى وَهُوَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ
" … Dan bagi Allahlah permisalan (sifat) yang tertinggi, dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “(Q.S AnNahl :60)
Dalam
hal dzat, Allah adalah yang tertinggi di atas segala-galanya. Lafadz
bacaan dalam sujud ini sebagai salah satu dalil dari AsSunnah merupakan
salah satu jawaban atas sebuah pertanyaan : ‘di manakah Allah ?’. Jika
pertanyaan ini ditanyakan kepada kebanyakan kaum muslimin, jangan heran
jika kita mendapati beragam jawaban. Ada yang menyatakan : ‘Allah ada
di mana-mana’ atau ‘ Allah ada di hati tiap manusia’.
Jika Allah ada di mana-mana berarti Allah ada di masjid, di rumah
kita, di pasar, di jalan-jalan yang becek, atau bahkan lebih parah lagi
akan berada di tempat-tempat yang manusia sendiri merasa tidak layak
berada di tempat itu ! Jika Allah berada di hati manusia maka Allah
akan berkumpul dengan makhluk yang manusia sendiri akan lari darinya.
Sebagaimana disebutkan dalam atsar Sahabat Ibnu Abbas bahwa syaitan
mendekam dalam hati manusia yang lalai. Beliau berkata :
الشَّيْطَانُ جَاثِمٌ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ فَإِذَا سَهَا وَغَفَلَ وَسْوَسَ فَإِذَا ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ
“
Syaitan mendekam dalam hati anak Adam. Jika anak Adam tersebut lupa
(berdzikir) dan lalai dia akan menimbulkan perasaan was-was, jika anak
Adam tersebut mengingat Allah (berdzikir) ia akan menghilang” (perkataan Ibnu Abbas ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya (7/135), Ibnu Jarir AtThobary dalam tafsirnya (30/355), dan Ibnu Katsir dalam tafsirnya (4/576))
Maha Suci Allah atas segala persangkaan yang tidak berdasar tersebut.
Maha Tinggi Allah dari segala penisbatan yang tidak layak bagiNya.
Pemahaman-pemahaman yang keliru semacam ini akan menimbulkan I’tiqad dan aqidah yang keliru pula. Padahal kekeliruan dalam masalah aqidah bisa
berakibat fatal. Seseorang yang yakin bahwa Allah ada di hati setiap
manusia bisa jadi akan merasa bahwa Allah telah menyatu dalam jasadnya.
Hal ini akan menggiring seseorang pada aqidah wihdatul wujud / ‘manunggaling kawula lan gusti’ yang sudah disepakati oleh para Ulama’ sebagai aqidah kufur.
Secara fitrah manusia meyakini bahwa Allah berada di puncak
ketinggian. Seseorang yang berdoa akan menengadahkan tangannya
menghadap langit. Memang demikianlah dalil-dalil dalam AlQuran maupun
al-Hadits yang shohih menjelaskannya. Allah Subhaanahu Wata’ala
berfirman :
أَأَمِنْتُمْ مَّنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ ...
“Apakah
kalian merasa aman dari Yang Di Atas Langit (Allah) untuk menimpakan
adzab kepada kalian dengan menimbun kalian dengan tanah (bumi)?”(Q.S.
AlMulk : 16)
Dalam sebuah hadits disebutkan :
عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ اْلحَكَمِ أَنَّهُ لَمَّا جَاءَ بِتِلْكَ اْلجَارِيَةِ
السَّوْدَاءَ قاَلَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيْنَ اللهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ
رَسُوْلُ اللهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Dari
Mu’awiyah bin al-Hakam bahwasanya dia mendatangi Rasulullah dengan
membawa seorang budak wanita hitam. Kemudian Rasulullah shollallaahu
‘alaihi wasallam bertanya pada budak wanita tersebut:’ Di mana Allah?’
Budak itu menjawab,’Di atas langit’ . Rasul bertanya lagi,’Siapakah
aku?’ Budak itu menjawab,’Engkau adalah utusan Allah’.Maka Rasul
berkata: ’Merdekakanlah ia karena ia adalah mukminah (wanita beriman)’ (H.R Ahmad, Muslim, Abu Dawud, AnNasaai, Malik, dan AsySyafi’i)
Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda ketika membagikan
harta rampasan perang dan sebagian kaum merasa tidak puas dengan
pembagian itu:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنٌ مَنْ فِي السَّمَاءِ يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
Para
Ulama’ menjelaskan bahwa Allah berada di atas langit dan Dialah Yang
tertinggi di atas segala-galanya sesuai dengan dalil-dalil di atas
termasuk hadits bacaan sujud ini. Namun, Allah sangat dekat dengan
hambaNya dalam arti Dia Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui
seluruh gerak-gerik hambaNya, bahkan yang sekedar terbesit dalam benak
dan terlintas dalam pikirannya. Ia senantiasa bersama kita karena kita
senantiasa dalam pengawasanNya, dan di bawah KekuasaanNya. Untuk
orang-orang yang beriman dan bertaqwa kebersamaan dan kedekatan Allah
ini memiliki arti tambahan dan lebih khusus yaitu Allah juga senantiasa
menolong, membimbing, dan memberikan taufiq kepada mereka. Penjelasan para Ulama’ ini berlandaskan dalil-dalil di antaranya :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ اْلوَرِيْدِ
“Dan
sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami Maha Mengetahui segala
yang terbesit dalam jiwanya, dan Kami lebih dekat kepadanya
dibandingkan urat lehernya” (Q.S Qoof: 16)
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ
إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“ Dan jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, katakan bahwa sesungguhnya Aku dekat. Aku
akan mengabulkan do’a orang yang berdo’a jika ia meminta kepadaKu.
Maka hendaknya mereka memenuhi seruanKu dan beriman kepadaKu supaya
mereka mendapatkan petunjuk “(
Q.S. AlBaqoroh :186)
Q.S. AlBaqoroh :186)
هُوَ
الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى اْلعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَا
يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَا
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dialah
Allah Yang Menciptakan langit dan bumi dalam 6 hari kemudian Ia
beristiwa’ di atas ‘Arsy. Dia Mengetahui segala sesuatu yang masuk ke
dalam bumi, segala sesuatu yang keluar dari bumi, segala sesuatu yang
turun dari langit, segala sesuatu yang naik ke langit. Dan Dia selalu bersama kalian di manapun kalian berada, dan Allah Maha Melihat segala sesuatu yang kalian lakukan” (Q.S AlHadiid : 4)
Janganlah
kita lengah, lalai dan menyangka ada di antara aktivitas kita yang
tidak diketahui Allah. Jika kita melakukan perbincangan rahasia
sekalipun dengan beberapa orang tertentu, ketahuilah sesungguhnya bukan
hanya orang-orang tertentu itu saja yang tahu, tapi juga Allah. Sebagaimana tersebut dalam ayatNya yang mulia :
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ مَا
يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَ
خَمْسَةٍ إِلاَّ هُوَ سَادِسُهُمْ وَلاَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلاَ
أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوْا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ
بِمَا عَمِلُوْا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيْمٌ
“Tidakkah
mereka melihat bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu di langit
dan di bumi. Tidaklah ada 3 orang yang berbisik (berbincang) kecuali
Dia-lah yang ke-empat, dan tidak pula ada 5 orang kecuali Dialah Yang
ke-enam, tidaklah kurang atau lebih dari itu kecuali Dia selalu bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian
akan dikhabarkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka
kerjakan nanti pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”(Q.S Al-Mujaadilah : 7)
Allah Subhaanahu WaTa’ala memberikan ancaman keras kepada orang-orang munafiq :
يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللهِ وَهُوَ مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُوْنَ مَا لاَ يَرْضَى مِنَ اْلقَوْلِ وَ كَانَ اللهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا
“Mereka bisa bersembunyi dari manusia namun tidak bisa bersembunyi dari Allah. Dan Dialah Allah yang bersama mereka
ketika mereka merahasiakan ucapan-ucapan yang tidak diridlai. Dan
adalah Allah ilmuNya meliputi segala yang mereka lakukan”(Q.S AnNisaa’
:108)
Bagaimana bisa kita menghindar dan bersembunyi dari Allah, padahal Dialah Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu :
يَعْلَمُ خَائِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَاتُخْفِي الصُّدُوْرُ
“Dialah Allah Yang Mengetahui mata yang berkhianat dan segala yang tersembunyi dalam dada”(Q.S AlMu’min :19)
Pendengaran Allah juga meliputi segala macam dan jenis suara. Bahkan, salah seorang wanita paling mulia, dan Ummahaatul Mu’minin (Ibunda kaum beriman), Aisyah radliyallaahu ‘anha pernah memberikan persaksian yang demikian menakjubkan.
Persaksian tersebut berkaitan dengan firman Allah:
قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْ إِلَى اللهِ وَاللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ
“Sungguh
Allah telah mendengar perkataan seorang wanita yang mendebatmu tentang
suaminya dan dia mengadu kepada Allah, dan Allah Maha Mendengar
percakapan kalian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”(Q.S Al-Mujaadilah : 1)
‘Aisyah radliyallaahu ‘anha berkata : ’Segala
puji bagi Allah Yang PendengaranNya meliputi segala macam suara.
Sungguh telah datang al-Mujaadilah (seorang wanita yang mendebat dan
mengajak diskusi) kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam. Ia
berbicara pada Nabi, dan aku berada di samping rumah. Aku tidak bisa
mendengar (secara jelas) apa yang mereka perbincangkan. Tapi kemudian
Allah turunkan : …surat AlMujaadilah sampai akhir ayat. (H.R Ahmad, AnNasaai, dan Ibnu Maajah, disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (8/27) disebutkan pula dalam kitab As-Shoohihul Musnad min Asbaabin Nuzuul).
Dalam riwayat yang lain ‘Aisyah berkata : “Maha
Suci (Allah) Yang Pendengarannya mampu menjangkau segala sesuatu. Aku
mendengar perkataan Khoulah binti Tsa’labah dan sebagian ucapannya
tidak terdengar olehku…”
Subhaanallah….kita perhatikan, saudaraku kaum muslimin….
‘Aisyah, istri Rasul yang berada di samping rumah dan mendengar
sebagian perbincangan tersebut dalam jarak yang cukup dekat, ternyata
Allah jauh lebih bisa mendengar dari ketinggian DzatNya. Bahkan,
kemudian Allah turunkan surat AlMujaadilah, yang menceritakan kisah
perbincangan tersebut secara rinci dan menurunkan hukum yang harusnya
dilaksanakan terkait dengan masalah yang diperbincangkan tersebut
secara gamblang, mendetail, dan jelas.
Demikianlah,
Allah berada pada puncak ketinggian yang tidak ada yang lebih tinggi
dari Dia, namun Dia sangat dekat dengan hambaNya. Kita rasakan kedekatan
Allah dalam sujud ini dengan ungkapan keyakinan melalui lisan dan hati
kita bahwa Allah adalah Yang Tertinggi dalam Dzat dan SifatNya.
2). Bacaan yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh alBukhari dan Muslim :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau Yaa Allah Tuhan kami dan kami memujiMu, Yaa Allah ampunilah aku “
(Penjelasannya bisa anda simak kembali pada bacaan ruku’)
3). Bacaan yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan AnNasaa’I 40:
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ
“ Maha Suci dan Maha Bersih Tuhannya Malaikat dan Ruh (Jibril) “
(Penjelasannya bisa anda simak kembali pada bacaan ruku’)
4). Bacaan dalam ruku’ dan sujud yang disebutkan dalam hadits ‘Auf bin Malik alAsyja’i yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan AnNasaa’i 57:
سُبْحَانَ ذِي اْلجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَاْلعَظَمَةِ
“ Maha Suci (Allah) Yang memiliki kemampuan untuk menundukkan, kepemilikan dan kekuasaan yang mutlak, kekuasaan, dan keagungan”
(Penjelasannya bisa anda simak kembali pada bacaan ruku’)
5) Bacaan sujud berdasarkan hadits Ali Bin Abi Tholib yang diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, AtTirmidzi, Abu Dawud, AnNasaa’I, Ibnu Majah58:
اللَّهُمَّ
لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِيَ
لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ
اللهُ أَحْسَنُ اْلخَالِقِيْنَ
“ Yaa Allah, (hanya) kepadaMu aku sujud, dan (hanya) kepadaMu aku beriman, dan (hanya) kepadaMu aku menyerahkan diriku. Wajahku
sujud kepada Yang Menciptakannya, dan membentuknya, dan Yang membuka
pendengaran dan penglihatannya. Allahlah Penentu dan Sumber segala
keberkahan yang melimpah dan Ia adalah sebaik-baik Pencipta “
Rincian makna :
اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ = Yaa Allah (hanya) kepadaMu aku sujud
وَبِكَ آمَنْتُ = dan (hanya) kepadaMu aku beriman
وَلَكَ أَسْلَمْتُ = dan (hanya) kepadaMu aku menyerahkan diriku
سَجَدَ وَجْهِيَ = wajahku sujud
لِلَّذِيْ خَلَقَهُ = kepada Yang Menciptakannya
وَصَوَّرَهُ = dan Yang Membentuknya
وَشَقَّ سَمْعَهُ = dan Yang Membuka pendengarannya
وَبَصَرَهُ = dan (Yang Membuka) penglihatannya
تَبَارَكَ اللهُ = Allahlah Penentu dan sumber keberkahan
أَحْسَنُ اْلخَالِقِيْنَ = (Dia) adalah sebaik-baik Pencipta
Penjelasan :
Kita
nyatakan bahwa hanya kepadaNyalah kita sujud karena ketundukan mutlak
kita serahkan kepadaNya tidak kepada yang lain, dan memang sujud kepada
selain Allah adalah suatu hal yang terlarang dalam syariat Islam.
Dalam sebuah hadits disebutkan :
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ
الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا
هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقَتْهُمْ يَسْجُدُوْنَ
ِلأَسَاقَفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِيْ نَفْسِيْ أَنْ
نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلاَ تَفْعَلُوْا فَإِنِّيْ لَوْ كُنْتُ آمِرًا أًحَدًا أَنْ
يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ َلأَمَرْتُ اْلمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي
اْلمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيْ حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ
سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ (رواه أحمد و
ابن ماجه)
“
Dari Abdullah bin Abi Aufa beliau berkata : ‘ketika Mu’adz (bin Jabal)
datang dari Syam ia langsung sujud pada Nabi Shollallaahu ‘alaihi
wasallam . ( Melihat hal itu) Rasulullah bertanya : ‘Apa yang kau
lakukan ini wahai Mu’adz? Mu’adz berkata: ‘Aku telah mendatangi Syam,
(dan melihat) penduduk di sana sujud kepada uskup-uskup mereka dan
pemimpin-pemimpin mereka. Maka timbul keinginan dalam diriku
untuk mengerjakan hal ini (sujud) terhadapmu’. Rasulullah Shollallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : ‘Janganlah kalian melakukannya’. Kalau
seandainya aku (boleh) memerintahkan kepada sesoerang (manusia) untuk
sujud kepada selain Allah, niscaya aku akan memerintahkan wanita untuk
sujud kepada suaminya. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangannya,
tidaklah seorang wanita menunaikan hak Tuhannya sampai ia menunaikan
hak suaminya. Kalau seandainya suaminya meminta dirinya, meskipun (saat
itu) dirinya berada di atas pelana (kendaraan) hendaknya ia tidak
menghalanginya” (H.R Ahmad dan Ibnu Majah, al-Imam Asy-Syaukani
menyatakan bahwa sanad hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah sholih
(baik))
Kemudian kita nyatakan bahwa hanya kepada Allahlah kita beriman.
Beriman kepada Allah hanya bisa tercapai jika dilakukan pula sikap
mengkufuri (tidak beriman kepada) thaghut . Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
...فَمَنْ
يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ
بِاْلعُرْوَةِ اْلوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ )البقرة :256)
“
…Barangsiapa yang kufur terhadap thaghut (segala sesuatu yang disembah
selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah
berpegang teguh dengan tali yang kokoh, yang tidak terlepaskan. Dan Allah adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “(Q.S AlBaqoroh : 256)
...يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَحَاكَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَ قَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَكْفُرُوْا بِهِ ...
“…Mereka menginginkan untuk berhukum kepada thaghut padahal mereka diperintahkan untuk mengkufurinya …”(Q.S AnNisaa’:60)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوْا اللهَ وَاجْتَنِبُوْا الطَّاغُوْتَ
“
Dan sungguh telah kami utus pada setiap umat Rasul, supaya (menyeru
ummatnya agar) menyembah Allah (semata) dan menjauhi thaghut “(Q.S
AnNahl :36)
“
Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (dengan tidak) beribadah
kepadanya, dan mereka kembali (inabah) kepada Allah, bagi mereka kabar
gembira. Berilah kabar gembira pada hambaKu yang mendengarkan
ucapan dan mengikutinya dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang
Allah beri hidayah dan mereka adalah orang-orang yang berakal “ (Q.S
AzZumar : 17-18)
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah merangkumkan penjelasan para ‘Ulama terdahulu di antaranya dari kalangan para Sahabat dan tabi’in dalam mendefinisikan thaghut : “ segala sesuatu (makhluk) yang diperlakukan melampaui batas dalam hal disembah(diibadahi), diikuti, dan ditaati”59
Segala sesuatu yang disembah selain Allah adalah thaghut. Manusia
yang dikultuskan dan diikuti secara mutlak walaupun bertentangan
dengan AlQuran dan AsSunnah, dan dia mengajak manusia secara
terang-terangan untuk mengikuti penyimpangan dari AlQuran dan
as-Sunnah, sehingga menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan
yang dihalalkan Allah, maka dia termasuk thaghut.
Hal
semacam ini serupa dengan yang disabdakan Rasulullah kepada Sahabat
‘Adi bin Hatim yang dulunya beragama Nashrani. Suatu ketika Nabi
membacakan padanya ayat :
اتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللهِ ...
“ Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah …”(Q.S AtTaubah :31)
‘Adi bin Hatim heran dan berkata : ‘kami (dulu) tidak menyembah mereka’. Rasulullah berkata :
أَلَيْسَ يُحَرِّمُوْنَ مَا أَحَلَّ اللهُ فَتُحَرِّمُوْنَهُ وَيُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ فَتُحِلُّوْنَهُ
“
Bukankah (ketika pendeta dan rahib-rahib itu) mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah, kalian (ikut) mengharamkannya, dan (ketika pendeta dan
rahib-rahib itu) menghalalkan yang diharamkan Allah, kalian (ikut)
menghalalkannya ?”
‘Adi bin Hatim menjawab : Ya, benar. Rasul bersabda :
فَتِلْكَ عِبَادَتُهُم
“ maka itulah peribadatan mereka (kepada pendeta dan rahib-rahib itu)” (H.R Ahmad ,atTirmidzi dan beliau menghasankannya).
Maka
kita mengikuti Ulama’ sebagai pewaris para Nabi ketika mereka
benar-benar konsisten dalam menjalankan AlQuran dan AsSunnah. Namun,
jika mereka justru mengajak pada penyimpangan terhadap AlQuran dan
Sunnah Rasulillah Shollallaahu ‘alaihi wasallam dan memperkenalkan
ajaran-ajaran baru dalam peribadatan yang tidak pernah dikenal oleh Nabi
dan para SahabatNya, kita tidak diperbolehkan mengikutinya. Hal ini
disebabkan kita khawatir terjerumus pada sikap menuhankan mereka ketika
seluruh yang mereka sampaikan -tidak peduli sesuai atau tidak dengan
ajaran Islam- kita ikuti sepenuhnya tanpa reserve, bahkan mengalahkan
ketundukan kita pada ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Seorang
pemimpin/ raja yang memimpin rakyatnya dengan menetapkan hukum tidak
sesuai dengan aturan dari Allah dan Rasul-Nya, dalam keadaan dia tahu
adanya penyimpangan tersebut dan dia berkeyakinan bahwa hukum yang dia
buat lebih baik dari hukum Allah, kemudian dia memaksa rakyatnya untuk
mengikutinya dan memberikan hukuman bagi yang tidak melaksanakannya, dan
dia mewajibkan secara mutlak bagi rakyatnya untuk mengikuti seluruh
aturan-aturannya walaupun bertentangan dengan AlQuran dan AsSunnah, maka
dia bisa dikategorikan sebagai thaghut.
Sungguh indah teladan dari para Khulafa’ur Rasyidin (Abu Bakr, Umar, Utsman, dan ‘Ali –radliyallaahu ‘anhum ‘ajma’iin)
dan para Sahabat Nabi yang menjadi pemimpin, mereka senantiasa
berpesan agar ditegur dan diingatkan jika dalam pelaksanaan
pemerintahannya terjadi penyimpangan terhadap AlQuran dan Sunnah Nabi.
Ketika terjadi kekhilafan dalam pemerintahan mereka dan para Sahabat
yang lain menasehati mereka dengan menyampaikan hujjah berupa firman
Allah dan Sabda Rasulullah, mereka adalah orang-orang pertama yang
langsung sadar ketika diingatkan dan kembali pada jalur yang Allah
tetapkan.Mereka tidak mengajak rakyatnya untuk patuh secara mutlak pada
aturan-aturan yang mereka buat, namun aturan yang wajib diikuti adalah
aturan yang tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya.
Sebagai rakyat, kita wajib mengikuti pemimpin-pemimpin kita (ulil amri) ketika mereka memerintahkan dalam hal-hal yang ma’ruf dan
berguna bagi kemaslahatan umat serta tidak bertentangan dengan aturan
Allah dan RasulNya. Allah Subhaanabu wa Ta’ala berfirman :
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي
اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى
اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَاْليَوْمِ
اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَّأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً (النساء : 59)
“ Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah ar-Rasul dan pemimpin (ulil amri) di antara kalian.
Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu permasalahan, maka
kembalikanlah kepada Allah (AlQuran) dan ar-Rasul (AsSunnah) jika kalian
memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian adalah lebih
baik dan lebih baik (pula) akibatnya “(Q.S AnNisaa’:59)
Selanjutnya, dalam lafadz bacaan sujud ini kita menyatakan :
وَلَكَ أَسْلَمْتُ
“ dan (hanya) kepadaMu aku berserah diri “
Seharusnya hanya kepada Allahlah kita pasrahkan hidup kita, karena
kita yakin hidup dan mati kita adalah untuk Allah, diri kita adalah
milikNya, dan kepadaNya kita akan dikembalikan. Kita bertawakkal
kepadaNya dengan mengupayakan berbagai hal yang memang Allah jadikan
hal itu sebagai sebab (syar’i maupun qodari –bisa disimak kembali penjelasannya pada bagian AlFatihah-) untuk
mencapai hal yang kita inginkan. Namun, kaum muslimin masih banyak
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab padahal hal itu tidak Allah
jadikan sebagai sebab syar’i ataupun qodari. Hal tersebut bisa menafikan kesempurnaan iman bahkan iman secara kesempurnaan.
Banyak di antara mereka yang menggunakan jimat, susuk, dan yang semisalnya. Banyak pula yang menentukan keputusannya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu secara tathoyyur. Tathoyyur adalah
menyandarkan keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat, atau merasa
pesimis atau optimis terhadap keberhasilan sesuatu berdasarkan suatu
kejadian, perilaku binatang, waktu, tempat, dan semisalnya.
Tathoyyur secara bahasa berasal dari at-Thoyr yang
artinya burung. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bangsa arab terdahulu
yang bersikap pesimis atau optimis untuk berbuat sesuatu dengan cara
melepaskan seekor burung terbang ke udara. Jika burung tadi terbang
menuju tempat tertentu yang dituju atau ke arah kanan, mereka merasa
optimis untuk melakukan sesuatu, jika tidak, mereka akan pesimis
sehingga mengurungkan niatnya untuk berbuat 60.
Kepercayaan
–kepercayaan arab tersebut dihapus dengan adanya syariat Islam yang
dibawa oleh para Nabi, dan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam
melarang keras kepercayaan-kepercayaan semacam itu. Dalam sebuah hadits
disebutkan :
...لاَ طِيَرَةَ وَلاَهَامَةَ وَلاَ صَفَرَ (رواه البخاري و مسلم)
“
…tidak ada tathoyyur (dalam Islam), tidak ada (kepercayaan kesialan
akibat) burung Haamah, dan tidak ada (kepercayaan) terhadap bulan Shofar
61“(H.R AlBukhari-Muslim)
Dalam hadits yang lain disebutkan :
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ
شِرْكٌ وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهُ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“
Dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shollallaahu ‘alaihi
wasallam : at-Thiyaaroh (tathoyyur) adalah syirik, at-Thiyaaroh adalah
syirik, at-Thiyaaroh adalah syirik. (Ibnu Mas’ud menyatakan): ‘Dan itu
ada pada masing-masing kita kecuali Allah telah menggantikannya dengan
tawakkal’ “(H.R Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, at-Tirmidzi, dan beliau
menshohihkannya, dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albani dalam
‘As-Shohiihah’)
Termasuk kebiasaan Jahiliyyah sebelumnya adalah memutuskan jadi atau tidaknya melakukan sesuatu dengan meminta keputusan (mengundi) dengan azlaam. Allah Subhaanahu wa Ta’ala turunkan larangan melakukan perbuatan tersebut dalam firmanNya :
...وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِاْلأَزْلاَمِ ذلِكُمْ فِسْقٌ ...(المائدة : 3)
“ Dan diharamkan pula bagi kalian mengundi dengan azlaam. Itu semua adalah kefasiqan…”(Q.S AlMaaidah :3)
Ibnu Jarir atThobary menjelaskan : “…yang
demikian ini adalah karena dulu orang-orang di masa Jahiliyyah jika
salah seorang dari mereka hendak melakukan bepergian, berperang, atau
yang semisalnya, mereka memutar gelas yaitu azlaam dan (di bagian
tertentu pada gelas itu) ada tertulis : ‘Tuhanku melarangku’, dan di
bagian lain tertulis : ‘Tuhanku memerintahkanku’. Jika yang keluar
adalah tulisan :’Tuhanku memerintahkanku’, maka mereka meneruskan untuk
melakukan perbuatannya bepergian, berperang, menikah, dan yang
semisalnya, sedangkan jika yang keluar adalah tulisan : ‘Tuhanku
melarangku’, maka mereka mengurungkan niatnya”
Dalam Islam, semua keburukan –keburukan I’tiqad dan
persangkaan – persangkaan itu semua diganti dengan yang jauh lebih
baik dan seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai hamba Allah, yaitu
sikap tawakkal dan keyakinan Allah akan memberikan pilihan yang terbaik dengan cara melakukan sholat istikharah dan melakukan musyawarah dengan orang – orang yang sholih sebelum menentukan suatu pilihan 62, karena memang cara yang demikian inilah yang Allah perintahkan kepada kita dan 2 hal itu (istikharah dan musyawarah dengan orang-orang sholih) Allah jadikan sebagai sebab syar’i dan qodari untuk tercapainya kebaikan bagi kita.
Kemudian, dalam bacaan sujud ini :
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ
kita
nyatakan dengan penuh pengagungan kepada Allah bahwa kita sujudkan
wajah kita karenaNya, dan kita nyatakan bahwa Dialah Yang Menciptakan
wajah kita, membentuknya, dan menjadikan pendengaran dan penglihatan
kita berfungsi dengan baik, sehingga seharusnya kita fungsikan pula
sesuai dengan yang Ia perintahkan –semoga Allah memberikan taufiq dan
kekuatan kepada kita untuk senantiasa bisa memanfaatkan penglihatan
dan pendengaran kita untuk hal-hal yang diridlaiNya, dan Ia palingkan
pendengaran dan penglihatan kita dari hal-hal yang dilarangNya -.
Selanjutnya, kita nyatakan :
تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ اْلخَالِقِيْنَ
bahwa
Allahlah ‘Sebaik-baiknya Pencipta’. Dijelaskan oleh para ‘Ulama’ bahwa
Allahlah satu-satunya Pencipta secara hakiki, karena hanya Dialah yang
mampu menjadikan sesuatu ada dari keadaan sebelumnya tidak ada,
sedangkan yang lain hanya bisa mengubah sesuatu dari suatu bentuk ke
bentuk yang lain, dan dalam hal membentuk sesuatu itupun Allahlah yang
terbaik di atas segala-galanya. Sesuatu yang Allah bentuk dan rupakan
adalah yang paling sempurna, paling indah, dan paling baik dibandingkan
bentukan dan rupa yang diupayakan oleh makhlukNya.
6) Bacaan sujud yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ دِقَّهَ وَجِلَّهَ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ
“
Yaa Allah ampunilah dosaku seluruhnya : yang sedikit maupun yang
banyak, yang awal sampai yang akhir, yang (dilakukan) secara
terang-terangan ataupun tersembunyi”
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ = Yaa Allah ampunilah aku
ذَنْبِيْ كُلَّهُ = dosaku seluruhnya
دِقَّهَ وَجِلَّهَ = yang sedikit maupun yang banyak
وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ = yang awal sampai yang akhir
وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ =
yang terang-terangan maupun yang tersembunyi
Penjelasan :
Segala
puji untuk Allah, Maha Suci Ia, Yang dengan kebaikan dan rahmatNya
telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi hambaNya yang senantiasa
berbuat dosa untuk menghapus dosa-dosanya. Sungguh sholat merupakan
sarana pelebur dosa seorang hamba dengan Allah yang sangat Pemurah.
Rasul mengibaratkan sholat 5 waktu sebagai air sungai jernih yang lewat
di depan pintu rumah seseorang yang digunakan mandi 5 kali sehari,
sehingga bersihlah tubuh seseorang tersebut dari kotoran, daki-daki
yang ada pada tubuhnya.
Sholat memang sarat dengan permohonan ampun kepada Allah atas
kesalahan-kesalahan kita. Dalam doa iftitah, dalam bacaan surat yang
mengandung istighfar, ruku’, sujud, duduk di antara dua sujud, hampir
semuanya berisi doa-doa istighfar, yang salah satunya adalah bacaan
dalam sujud ini. Dalam doa ini kita memohon ampun kepada Allah atas
seluruh dosa-dosa kita, baik yang sedikit ataupun banyak, awal dulu
sampai akhir hayat kita, yang kita lakukan secara terang-terangan maupun
tersembunyi, semuanya kita minta kepada Allah untuk diampuni, karena
kita yakin bahwa tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Allah, dan
Dialah yang memerintahkan kepada kita untuk banyak beristighfar sebagai
salah satu amalan ibadah yang diridlaiNya.
7)
Bacaan sujud yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan
Muslim, AtTirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, AnNasaa’i 63:
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ
عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ
كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Yaa
Allah sesungguhnya aku berlindung kepada ridla-Mu dari kemurkaanMu,
dan (aku berlindung) kepada ampunanMu dari adzabMu, dan (aku
berlindung) kepadaMu dariMu, aku tidaklah mampu membatasi pujian
untukMu sebagaimana Engkau puji diriMu sendiri “
Rincian Makna :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ = Yaa Allah sesungguhnya aku berlindung
بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِك = kepada ridlaMu dari kemurkaanMu
وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ = dan kepada ampunanMu dari adzabMu
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ = dan aku berlindung kepada Mu dari Mu
لاَ أُحْصِيْ = aku tidak mampu membatasi
ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ = pujian untuk Mu
كَمَا أَثْنَيْتَ = sebagaimana Engkau puji
عَلَى نَفْسِكَ = atas diriMu (sendiri)
Allah
Subhaanahu wa Ta’ala telah menggariskan tujuan hidup manusia adalah
untuk beribadah kepadaNya. Seseorang yang beribadah kepada Allah
seharusnya dimotivasi oleh keinginan mencapai ridlaNya dan menjauhi
kemurkaanNya.
Seringkali dalam kehidupan ini kita dihadapkan dengan pilihan yang
sulit dan dilematis. Di satu sisi, kita ingin mengerjakan suatu
perbuatan yang memang diperintahkan dan diwajibkan Allah untuk
dikerjakan, namun hal itu bertentangan dengan kebiasaan dan adat
masyarakat tertentu, atau aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh
manusia. Atau justru lebih sering lagi, ada aturan-aturan yang dibuat
manusia yang bersinggungan langsung dengan kehidupan kita yang
sebenarnya kita tahu dengan jelas bahwa hal itu dilarang oleh Allah.
Ada
banyak keadaan di mana kita dihadapkan pada pilihan sulit. Akankah
kita mengharapkan keridlaan manusia dengan mengorbankan keridlaan
Allah, atau sebaliknya kita pilih keridlaan Allah, yang dengan
resikonya kita mengorbankan keridlaan manusia, bahkan justru mengundang
sindiran, celaan, dan cacian dari mereka?
Jika
memang memungkinkan, seharusnya kita berupaya untuk senantiasa bergaul
akrab dengan sesama manusia, khususnya saudara kita sesama muslim,
menerapkan akhlaqul kariimah, berbaur dengan mereka dalam hal-hal yang
tidak ada unsur kemaksiatan di dalamnya. Mengajak pada kebaikan dan
mencegah dari kemunkaran. Itu adalah keadaan yang terbaik, saat kita
diberi kemampuan oleh Allah untuk mampu bersikap secara tepat pada saat
yang tepat. Kita masih mampu untuk berkata ‘tidak’ untuk hal-hal yang
kita tidak boleh terlibat di dalamnya, bahkan lebih dari itu kita
masih mampu untuk mengajak saudara kita muslim untuk tidak terjerumus
padanya. Kita mampu mewarnai pergaulan itu dengan baik, bukan justru
kita yang diwarnai dan hanyut dalam pergaulan tersebut. Suatu kekuatan
yang Allah anugerahkan kepada kita baik dengan tangan maupun lisan
untuk beramar ma’ruf nahi munkar.
Kita
mampu bersabar ketika saudara-saudara kita menyindir dan mengejek kita
untuk hal-hal yang berhubungan dengan pribadi kita sendiri dan
bersikap memafkan mereka. Kita bisa bersabar ketika sebagian hak-hak
kita diambil tidak secara haq, dan kita pun memaafkannya. Pada saat
lain, ketika syariat – syariat Allah dan Sunnah RasulNya dijadikan
bahan tertawaan, cacian, dan ledekan, atau ketika nampak jelas
kebanggan yang ditunjukkan di hadapan kita saat hal-hal yang diharamkan
Allah dilanggar, kita seharusnya mampu bersikap marah semata-mata
karena Allah.
Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radliyallaahu ‘anha- mengisahkan kepada kita tauladan dari Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam :
مَا
خَيَّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
أَمْرَيْنِ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ
كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلاَّ أَنْ
تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهُ فَيَنْتَقِمُ ِللهِ بِهَا
“
Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam memilih di antara 2
hal kecuali beliau ambil yang paling mudah di antara keduanya selama
tidak ada (unsur) dosa. Jika ada(unsur) dosa, beliau adalah manusia yang
paling jauh darinya. Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam
membalas (ketika disakiti) untuk dirinya sendiri, namun jika hal-hal
yang diharamkan Allah dilanggar, beliau membalas untuk Allah ‘Azza wa
Jalla “(H.R AlBukhari-Muslim)
Jika
kita senantiasa bisa bersikap konsisten seperti yang ditunjukkan
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam ini, mampu bergaul secara luas
tanpa mengorbankan prinsip-prinsip, mampu ‘mewarnai’ bukan ‘diwarnai’,
bersikap sabar atas gangguan terhadap pribadi kita, menunjukkan
akhlaqul kariimah, mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, amar ma’ruf
nahi munkar, maka seharusnya kita tidak boleh menyendiri, memisahkan
diri dari masyarakat. Justru dalam kondisi semacam ini kita harus
berada di tengah-tengah mereka secara aktif dengan upaya menyebarkan
kemaslahatan dan manfaat bagi sesama. Dalam hal ini Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اْلمُؤْمِنُ
الَّذِيْ يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُعَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا
مِنَ اْلمُؤْمِنِ الَّذِيْ لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى
أَذَاهُمْ
“
Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan
mereka mendapatkan pahala yang lebih besar dibandingkan mukmin yang
tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar dari gangguan mereka
“(H.R Ahmad, Ibnu Majah, al-Hafidz menyatakan bahwa sanad hadits ini
hasan, asy-Syaikh Al-Albaani menshahihkannya dalam ‘Shahiihul Jaami’)
Al-Ahnaf bin Qoys (salah seorang Sahabat Nabi) menyatakan :
اْلكَلاَمُ
بِالْخَيْرِ أَفْضَلُ مِنَ السُّكُوْتِ وَالسُّكُوْتُ خَيْرٌ مِنَ
اْلكَلاَمِ بِاللَّغْوِ وَاْلبَاطِلِ وَاْلجَلِيْسُ الصَّالِحُ خَيْرٌ مِنَ
اْلوِحْدَةِ وَاْلوِحْدَةُ خَيْرٌ مِنْ جَلِيْسِ السُّوْءِ
“Mengucapkan
kalimat yang baik lebih baik dari diam, dan diam lebih baik dari
ucapan yang sia-sia dan batil. Duduk bersama orang sholih lebih baik
dari menyendiri. Menyendiri lebih baik dari duduk bersama orang yang
jahat “(‘atsar ini disebutkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitab ‘At-Tamhiid’ juz 17 hal 447)
Namun,
jika kita merasa akan tidak mampu bersikap tegar, kuat, dan khawatir
justru kita yang terpengaruh serta hanyut dalam kesalahan-kesalan yang
dilegalkan, terjerumus ke dalam prevalensi (kelaziman) normatif
yang seakan – akan benar, walaupun pada dasarnya salah namun terus
menerus dikesankan benar, maka sebaiknya kita memilih menyendiri (‘uzlah) ,
berupaya menyelamatkan diri kita sendiri. Bukankah banyak sekali
hal-hal yang sesungguhnya salah dan terlarang dalam syariat, namun
karena kemudian berhasil dikesankan baik sedemikian rupa sehingga
berhasil menggiring opini umum untuk bersama-sama melakukan pembenaran,
akhirnya dianggap sebagai suatu kelaziman, bahkan kemudian menjadi
norma baru yang diterima masyarakat tersebut ?
Kita
yang mengetahui bahwa sebenarnya hal tersebut terlarang dalam syari’at
harus menghindarinya, tidak mendukung, dan tidak terlibat di dalamnya.
Kita tidak boleh terlibat tolong menolong dalam hal – hal yang
mengandung dosa padanya :
...وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَ اْلعُدْوَانِ...
“ …dan janganlah kalian tolong menolong dalam hal-hal (yang mengandung) dosa dan permusuhan “(Q.S AlMaaidah :2)
Jika
kemudian orang-orang marah pada kita karena tidak mau terlibat dalam
kelaziman yang dibuat-buat, dan pembenaran yang dipaksakan tersebut,
semoga kita bisa meninggalkan hal itu ikhlas karena Allah, mengharap
ridlaNya, walaupun mendapat murka manusia. Semoga kita mendapatkan
kebaikan seperti yang tersebut dalam sebuah hadits :
مَنِ
الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى
النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ اْلتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِط
اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاس
“Barangsiapa
yang mencari keridlaan Allah dengan (risiko) mendapat kemurkaan
manusia, maka Allah akan meridlainya dan menjadikan manusia nanti ridla
padanya, dan barangsiapa yang mencari keridlaan manusia dengan sesuatu
yang dimurkai Allah, Allah akan murka padanya dan akan menjadikan
manusia murka padanya (H.R Ibnu Hibban dalam Shahihnya, AtTurmudzi dalam
Sunannya, AlHaitsami dalam Mawaariduz Dzhom’aan)
Ridla
Allah adalah suatu hal yang harus menjadi prioritas utama kita untuk
dicapai, dan kemurkaan Allah seharusnya menjadi urutan terdepan dalam
hidup kita untuk dijauhi. Sungguh mulya teladan manusia terbaik
–Rasulullah- yang mengajarkan dalam bacaan sujud ini kita memohon kepada
Allah : “ Yaa Allah sesungguhnya aku berlindung kepada keridlaanMu dari kemurkaanMu“
Kemudian, kita mengucapkan dalam doa ini :
وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ
“ Dan aku (berlindung) kepada pemberian maaf dariMu (ampunanMu) dari adzab(hukuman)Mu”
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan :” (اْلعَفْوُ) artinya adalah memaafkan kesalahan-kesalahan hambaNya. Seringkali (kata):(اْلعَفْوُ) (pemberian maaf) digunakan terhadap perbuatan-perbuatan meninggalkan kewajiban, sedangkan (kata) : (اْلمَغْفِرَةُ) (ampunan) sering digunakan terhadap perbuatan – perbuatan melakukan hal-hal yang dilarang.
Dijelaskan pula oleh Asy-Syaikh al-‘Utsaimin bahwa dalam AlQuran Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
...فَإِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيْرًا (النساء : 149)
“ sesungguhnya Allah adalah yang Maha Pemaaf lagi Maha Berkuasa”
Dalam
ayat ini Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menggabungkan sifat ‘Pemaaf’
dengan sifat ‘Maha Berkuasa’, karena Allah Ta’ala memang memaafkan
kesalahan-kesalahan hambaNya dalam keadaan Ia sangat mampu dan sangat
berkuasa untuk mengadzab/ memberi hukuman, sehingga Sifat ‘Pemaaf’ Allah
adalah sempurna.
Berbeda
dengan manusia yang mungkin memaafkan kesalahan orang lain, karena dia
memang tidak ada pilihan lain kecuali memaafkannya. Jika tidak
dimaafkan, dia khawatir akan ada akibat-akibat buruk akan menimpanya.
Manusia tersebut dalam posisi yang lemah, karena dia memang masih
membutuhkan orang lain. Berbeda dengan Allah yang sangat tidak butuh
dengan segala sesuatu sedangkan segala sesuatu sangat butuh kepadaNya.
Dia Maha Berkuasa untuk memaafkan atau mengadzab hambaNya, dan jika Dia
menghendaki untuk mengadzab seorang hamba, tidak ada yang bisa
menghalangi dan tidak akan ada efek – efek
buruk bagiNya setelahNya, karena semua tunduk di bawah KekuasaanNya.
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala melindungi kita dari adzabNya dengan
melimpahkan pemberian maaf dan ampunanNya.
Selanjutnya, kita menyatakan dalam bacaan sujud ini :
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ
“ Dan aku berlindung kepadaMu dari Mu”
Sesungguhnya keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki didapatkan oleh
orang-orang yang mendapatkan keridlaan, pemberian maaf, dan ampunan
dari Allah, serta terjauhkan dari kemurkaan dan adzab dari Allah.
Sehingga, tidak ada jalan lain kecuali ‘lari dari Allah’ menuju
‘Allah’. Tidak ada jalan untuk selamat dari kemurkaan dan adzab Allah
kecuali dengan berlindung kepada Allah semata.
Kemudian dalam bacaan sujud ini kita nyatakan bahwa segenap pujian
kembalinya hanya kepada Allah semata, dengan pujian yang sangat
berlimpah nan banyak, namun kita tidak sanggup menghitung segenap
pujian bagi Allah. Hanya Dialah semata yang Mengetahui dan mampu secara
tepat memuji Diri-Nya sendiri.
Catatan Kaki :
56. Lafadz hadits Hudzaifah :
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ اْلبَقَرَةَ ثُمَّ اْلمِائَةَ ثُمَّ مَضَى بِهَا
فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِيْ رَكْعَةٍ فَمَضَى بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ
النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا
يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيْهَا تَسْبِيْح سَبَّحَ
وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ
رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُوْلُ
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلعَظِيْم فَكَانَ رُكُوْعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ
ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَامَ طَوِيْلاً
قَرِيْبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ
اْلأَعْلَى فَكَانَ سُجُوْدُهُ قَرِيْبًا مِنْ قِيَامِهِ
“
Aku sholat bersama Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam pada suatu
malam, beliau mulai membaca AlBaqoroh, ketika sampai pada ayat
ke-seratus beliau meneruskannya, aku berkata(dalam hati):’ mungkin
beliau akan menyelesaikannya dalam dua rokaat’, ternyata beliau
meneruskan dengan membaca AnNisaa’, kemudian membaca Aali Imraan,
beliau membacanya dengan
perlahan. Jika beliau sampai pada ayat yang mengandung tasbih, beliau
bertasbih, jika sampai pada ayat yang berisi permintaan, beliau meminta
(berdoa), jika sampai pada ayat yang mengandung permintaan
perlindungan, beliau meminta perlindungan, kemudian beliau ruku’ dengan
membaca : Subhaana robbiyal ‘adzhiim. Lama ruku’nya hampir sama dengan
lama berdirinya. Kemudian membaca : Sami’allaahu liman hamidah,
kemudian beliau berdiri dalam keadaan lamanya mendekati lama ruku’,
kemudian beliau sujud mengucapkan : Subhaana Robbiyal a’laa, dan lama sujudnya mendekati lama berdirinya “ (H.R Ahmad, Muslim, dan AnNasaa’i).
57. Lafadz hadits ‘Auf bin Malik al-‘Asyja’i :
قُمْتُ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَامَ
فَقَرَأَ سُوْرَةَ اْلبَقَرَةَ لاَ يَمُرُّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ إِلاَّ وَقَفَ
فَسَأَلَ وَلاَ يَمُرُّ بِآيَةِ عَذَابٍ إِلاَّ وَقَفَ فَتَعَوَّذَ قَالَ
ثُمَّ رَكَعَ بِقَدْرِ قِيَامِهِ يَقُوْلُ فِيْ رُكُوْعِهِ سُبْحَانَ
ذِيْ اْلجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ وَاْلكِبْرِيَاءِ وَاْلعَظَمَةِ ثُمَّ
سَجَدَ بِقَدْرِ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ فِيْ سُجُوْدِهِ مِثْلَ ذَلِكَ
“
Pada suatu malam saya melakukan qiyaamul lail bersama Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau membaca surat AlBaqoroh, tidaklah
beliau sampai pada ayat rahmat kecuali beliau berhenti dan memohon
kepada Allah, tidaklah beliau sampai pada ayat tentang adzab kecuali
berhenti dan memohon perlindungan, kemudian beliau ruku sesuai kadar
lama berdirinya dengan mengucapkan : Subhaana dzil jabaruuti walmalakuuti walkibriyaa’i wal ‘Adzhomah.
Kemudian beliau sujud sesuai kadar lama berdirinya, dan mengucapkan
(dalam sujudnya) dengan bacaan seperti itu juga” (H.R Abu Dawud, Ahmad,
AnNasaa’i)
58. Lafadz hadits ‘Ali bin Abi Tholib :
...وَإِذَا
سَجَدَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ
وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ اْلخَالِقِيْنَ...
“ …dan jika beliau sujud membaca : Allaahumma
laka sajadtu wa bika aamantu wa laka aslamtu sajada wajhiya lilladzii
kholaqohu washowwarohu wa syaqqo sam’ahu wa bashorohu tabaarokalaahu
ahsanul khooliqiin…”(H.R Muslim, Ahmad, AtTirmidzi, Abu Dawud, AnNasaa’i,Ibnu Majah sesuai lafadz Muslim)
59. Umar ibn al-Khoththob, Mujahid, Asy-Sya’bi, Qotadah, ad-Dlohhak menyatakan : thaghut adalah syaitan. Abul ‘Aaliyah menyatakan bahwa taghut adalah tukang sihir. Al-Jauhary menjelaskan : thaghut adalah dukun/tukang ramal, syaitan, dan seluruh pemimpin (ajaran) kesesatan.( Lihat tafsir AlQurthuby juz 3 hal 282 cetakan Daaru sya’b Kairo tahun 1372 H dan tafsir at-Thobary juz 3 hal 19 ).
Penjelasan Ibnul Qoyyim bisa disimak dalam syarh tsalaatsatil ushuul hal 151 cetakan Daaru at-Tsurayya tahun 1421 H.
60. Silakan disimak penjelasan makna tathoyyur tersebut dalam kitab al-Qoulul Mufiid syarh Kitaabit Tauhid karya Asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin juz 1 hal 346.
61. Dijelaskan oleh para ‘Ulama’ bahwa makna Haamah dalam
hadits ini adalah nama seekor burung yang dikenal oleh orang Arab.
Mereka berkeyakinan bahwa burung ini adalah jelmaan dari ruh orang yang
sudah meninggal, dan keyakinan sial jika burung ini hinggap pada rumah
seseorang kemudian berkicau/berbunyi, maka hal itu dianggap sebagai
pertanda kematian (penghuni rumah) itu sudah dekat. Keyakinan ini
dilarang oleh Rasulullah dalam hadits tersebut. Demikian juga Rasul
melarang keyakinan-keyakinan semisalnya, seperti dalam lafadz hadits: وَلاَ صَفَرَ , tidak
ada keyakinan sial terhadap bulan Shafar dan bulan-bulan lainnya.
Karena orang-orang arab sebelumnya berkeyakinan adanya bulan yang baik
untuk melakukan sesuatu dan adanya bulan yang buruk dan berakibat
kesialan jika melangsungkan sesuatu seperti pernikahan, berdagang, dan
semisalnya. Keyakinan ini semua dilarang oleh nabi dalam hadits ini dan
sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud yang disebutkan kemudian bahwa
hal-hal semacam ini adalah kesyirikan (Silakan disimak penjelasan hadits
ini dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi karya AlMubarakfury (6/295) , Aunul Ma’ud karya AbutThoyyib Muhammad Syamsul haq al-‘Adzhiim(10/290), dan al-Qoulul Mufiid karya Asy-Syaikh al-‘Utsaimin juz 1 hal 348-349)
62. Dalil tentang disyariatkannya sholat istikharah adalah :
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا اْلإِسْتِخَارَةَ
فِيْ اْلأُمُوْرِ كُلِّها كَمَا
يُعَلِّمُنَا السُّوْرَةَ مِنَ اْلقُرْآنِ يَقُوْلُ إِذَا هَمَّ
أَحَدُكُمْ بِاْلأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ
غَيْرِاْلفَرِيْضَةِ ثُمَّ لْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ
بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
اْلعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدُرُ
وَلاَ أَقْدُرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ اْلغُيُوْبِ
اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِيْ فِيْ
دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِيْ
وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ
وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرُّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ
وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ أَوْ قَالَ فِيْ عَاجِلِ أَمْرِيْ
وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ
الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
“
Dari Sahabat Jabir bin Abdillah, beliau berkata : “ Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengajari kami istikharah dalam
segala urusan sebagaimana beliau mengajari kami surat AlQuran. Beliau
berkata : ‘ Apabila salah seorang di antara kamu menghajatkan sesuatu,
maka hendaknya dia sholat dua rokaat bukan sholat fardlu kemudian
hendaklah mengucapkan : ‘ Allaahumma inni astakhiiruka bi ‘ilmika wa
astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadl-likal ‘adzhiim fainnaka
taqduru walaa aqduru wa ta’lamu walaa a’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub.
Allaahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amro khoyrun lii fii diinii
wa ma’aasyii wa ‘aaqibati amrii - --‘aajili amrii wa aajilihi –
faqdurhu lii wa yassirhu lii tsumma baariklii fiihi. Wa in kunta ta’lamu
anna haadzal amro khoyrun lii syarrun lii fii diinii wa ma’aasyii wa
‘aaqibati amrii --- ‘aajili amrii wa aajilihii-fashrifhu ‘annii
washrifnii ‘anhu—waqdur liyal khoyro haytsu kaana tsumma ardlinii bihi
(Yaa Allah sesungguhnya aku meminta pilihan kepadaMu dengan Ilmu-Mu,
dan aku meminta kebaikanMu dengan taqdirMu karena sesungguhnya Engkau
yang mentaqdirkan, sedang aku tidaklah kuasa mentaqdirkan sesuatu, dan
Engkaulah Yang Maha Mengetahui hal-hal ghaib. Yaa Allah, jika Engkau
Mengetahui bahwa urusanku ini baik bagiku dalam Dien-ku, kehidupanku,
dan akibat urusanku (ini), taqdirkanlah itu untukku, dan mudahkan aku
padanya. Dan jika Engkau Mengetahui bahwa urusanku ini buruk bagiku
dalam Dienku, kehidupanku, dan akibat urusanku (ini), jauhkan ia dariku
dan jauhkan aku darinya, dan taqdirkanlah bagiku yang terbaik
walaupun dari mana saja datangnya, dan jadikan aku rida
atasnya)..kemudian ia sebutkan hajat (kepentingannya) “(H.R AlBukhari)
Sedangkan dalil tentang disyariatkannya syuuro (musyawarah) dengan orang-orang yang sholih :
وَالَّذِيْنَ
اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى
بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“ dan orang-orang yang memenuhi (panggilan) Tuhan mereka, dan mereka menegakkan sholat, dan pada urusan mereka saling bermusyawarah, dan terhadap apa yang kami rizkikan, mereka menginfaqkannya..” (Q.S.Asy-yuuroo: 38)
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ
اْلقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَّكَلْ عَلَى
اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلمُتَوَكِّلِيْنَ
“ Maka
dengan Rahmat dari Allah, engkau bersikap lembut terhadap mereka. Jika
engkau bersikap keras niscaya mereka akan lari dari sekelilingmu.
Maafkanlah mereka dan mintakan ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dalam urusan(mu).
Jika engkau telah menguatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah,
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal (kepadaNya) “(Q.S Ali Imran :159)
Dijelaskan
oleh para ‘Ulama’ bahwa istikharah dan musyawarah adalah untuk hal-hal
yang tidak ada perintah dan larangan secara tegas dalam AlQuran dan
AsSunnah as-Shohiihah untuk berbuat atau meninggalkan sesuatu. Jika ada
larangan atau keharusan dari dalil-dalil syar’i (nash), maka tidak ada
pilihan lain kecuali mengikuti dalil tersebut.
63. Lafadz hadits ‘Aisyah tersebut adalah :
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ
قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِيْ اْلمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ
يَقُوْلُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ
وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِيْ
ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“
Dari ‘Aisyah beliau berkata : ‘Aku pernah kehilangan Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, maka kemudian aku
mencarinya, tiba-tiba tanganku mengenai perut telapak kaki beliau, dan
beliau waktu itu berada di masjid dalam keadaan kedua telapak kaki
tersebut tegak. Beliau mengucapkan : Allaahumma innii a’uudzu
biridlooka min sakhotika wa bi mu’aafaatika min ‘uquubatika wa a’uudzu
bika minka laa uhshii tsanaa-an ‘alaika anta kamaa atsnayta ‘alaa
nafsika (Yaa Allah sesungguhnya aku
berlindung kepada ridla-Mu dari kemurkaanMu, dan (aku berlindung)
kepada ampunanMu dari adzabMu, dan aku berlindung kepadaMu dariMu, aku
tidaklah mampu menghitung pujian untukMu sebagaimana Engkau puji diriMu
sendiri)”(H.R Muslim, AtTirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah,
AnNasaa’i)
64.
Dijelaskan oleh para ‘Ulama bahwa pemberian maaf yang akan mendapatkan
pahala dari Allah adalah pemberian maaf yang menimbulkan maslahat
(kebaikan).Salah satu maslahat yang dicapai adalah jika sang pembuat
kesalahan menjadi insyaf dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Tapi,
kalau seandainya pemberian maaf tersebut justru akan menjadikan
seseorang yang berbuat salah tersebut semakin menjadi-jadi dan tidak
bermanfaat baginya, maka tidaklah dianjurkan memberikan maaf padanya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’ala :
...فَمَنْ عَفَا وَ أَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ ...(الشورى : 40)
“ Barangsiapa yang memaafkan dan menimbulkan kebaikan (maslahat), maka
pahalanya (akan diberikan) Allah “(Q.S AsySyuura:40)
وَ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Salam Ukhuwah Islamiyah sahabatku semua
~* Allah Selalu Ada Untukku,Untukmu dan Untuk Kita Semua *~
Keep Istiqomah + Keep Smile it's a Sunnah Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡
ƸӜƷ.¸¸¸.••..ƸӜƷ..••.¸¸¸.ƸӜ Ʒ..••.¸¸¸.ƸӜƷ
"Cinta ALLAH di atas segalanya"
´´´¶¶¶¶¶¶´´´´´´¶¶¶¶¶¶´´´
´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´ ´
´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´´´¶¶¶¶´ ´´
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´´´¶¶¶¶ ´´´
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´¶¶¶¶¶ ´´´
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶ ´¶¶¶¶¶´´´
´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´ ´
´´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´ ´
´´´´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´´
´´´´´´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´´
´´´´´´´´´¶¶¶¶¶¶¶¶´´´
´´´´´´´´´´´¶¶¶¶´´´
´´´´´´´´´´´´¶¶ ´´´
~* Allah Selalu Ada Untukku,Untukmu dan Untuk Kita Semua *~
Keep Istiqomah + Keep Smile it's a Sunnah Ơ̴̴̴̴̴̴͡.̮Ơ̴̴͡
ƸӜƷ.¸¸¸.••..ƸӜƷ..••.¸¸¸.ƸӜ
"Cinta ALLAH di atas segalanya"
´´´¶¶¶¶¶¶´´´´´´¶¶¶¶¶¶´´´
´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´
´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´´´¶¶¶¶´
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´´´¶¶¶¶
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´¶¶¶¶¶
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶ ´¶¶¶¶¶´´´
´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´
´´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´
´´´´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´´
´´´´´´´¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶´´´
´´´´´´´´´¶¶¶¶¶¶¶¶´´´
´´´´´´´´´´´¶¶¶¶´´´
´´´´´´´´´´´´¶¶ ´´´
***
Al Faqir ‘ila Maghfirati Rabbihi ‘Azza wa Jalla
Maya risma......
Al Faqir ‘ila Maghfirati Rabbihi ‘Azza wa Jalla
Maya risma......