~* Bagi Mereka, yang Tak Lagi Jadikan Hadits sebagai Pijakan dan Tuntunan *~ |
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Beberapa orang
mempermasalahan periwayatan hadits, sehingga putuskan: tidak jadikan dia
pegangan dalam kehidupan. Dalam bertindak, beramal, dan menafsirkan Al-Quran.
Ada kecendrungan untuk menjadikan Quran sebagai satu-satunya pegangan. Dan
untuk memahaminya, mereka jadi mufassir dadakan. Padahal belum lagi mereka
hafal Al Quran. Tahu asbab-asbab turunnya. Paham al-Lughah Al-'Arabiy. Langsung
saja maknai dari terjemahan.
Baik. Kalau mau fair, kita cross-check dengan Al-Quran. Satu-satunya sumber yang mereka "yakini" benar. Tentang perlunya hadits, agar sampai pada Allah di hari perhitungan.
Satu, bahkan Allah, lewat Al-Quran, tetapkan Rasulullah sebagai teladan. Yang tindak-tanduk dan katanya cerminkan Islam. "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Q.s. Al-Ahzab [33]: 21)
Dua, kita diperintahkan mengikuti apa pun yang disabdakannya, patuh dan tunduk padanya. Itu sebagai syarat jika kita mengaku: cinta padaNya. "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.'" (Q.s. Ali Imran [3]: 31-32)
Periwayatan hadits, pada akhirnya, adalah hal yang harus dilakukan. Oleh para sahabat. Tabi'in. Ulama. Agar kata-kata, tindak-tindak, perilaku dan sifat-sifat Rasulullah sampai pada umat akhir zaman. Jika mereka tidak melakukannya, kita akan jadi umat yang tersesat. Tidak tahu Rasul seperti apa. Apa yang utama. Cara memahami agama. Lalu, kita apa jadinya?
Dalam melakukan proses "sharing" hadits ini, memang dilakukan oleh manusia. Yang mungkin salah dan alpa. Namun, menjadikan kemungkinan khilaf sebagai faktor penolakan, sangat konyol tak terbilang. Sebab, hadits itu diriwayatkan oleh orang-orang pilihan. Yang ibadah dan ilmunya sarat-dalam. Dilakukan dengan usaha yang maksimal, pindah dari satu negeri ke negeri lain hanya untuk dapatkan. Bahkan, untuk Bukhari, satu hadits itu ditetapkan setelah shalat istikharah. Bayangkan jumlah hadits yang beliau riwayatkan dan banyaknya shalat istikharah yang beliau lakukan.
Apakah orang-orang yang menolak hadits sebagai pijakan hukum dalam Islam beramal sebanyak beliau?
Seshalih dan sesungguh beliau?
Jika bukan para ahli hadits itu yang kita jadikan rujukan dalam ber-Islam, lalu pada siapa kita mengambil petunjuk? Pada orang-orang sekarang? Yang bahkan belum jelas dari mana mereka membuat kesimpulan? Buku apa yang mereka baca? Dari mana mereka bisa-bisanya menafsirkan? Belum lagi jelas kematian mereka: apakah husnul atau su'ul. Belum nampak juga sumbangsih mereka untuk umat Islam lintas generasi. Aduhai, aduhai. Ceroboh sekali.
Yang tidak boleh kita lupa: para ahli hadits yang ikhlas akan ditolong Allah. Semua orang beriman dan sungguh-sungguh mencari ridhaNya, akan dibantu dalam upaya iqamatuddin. Periwayatan hadits dan pengkategoriannya adalah bentuk pertolongan itu, bukan sebagai dalil pelemahannya. Jika memang Allah biarkan periwayatan hadits, pasti kita akan menjumpai semua hadits itu tidak jelas siapa periwayatnya, kacau isinya, diotak-atik sesukanya. Tidak jelas mana perawi yang haq, yang dholalah, yang pernah berbohong, dan sebagainya.
Dan, tak boleh dilupa, pada nyatanya, ada hadits-hadits yang Allah tunjukkan keshahihannya secara ilmiah. Terang-benderang di depan mata. Jika memang hadits itu tertolak seluruhnya, batil semua, kenapa Allah buktikan kebenaran isinya?
Simak hadits tentang dua sayap lalat.
Simak hadits tentang berlomba-lombanya manusia membangun bangunan tinggi menjelang kiamat.
Simak hadits tentang dikepungnya generasi Islam oleh umat-umat jahat.
Semuanya terbukti. Lalu, hadits-hadits ini juga harus disingkirkan dari muka bumi?
Pada akhirnya, sangat wajar bila ada nasihat: mengacalah! Siapa kita berani menyingkirkan hadits-hadits dari kehidupan beragama? Apakah kita sudah lebih hebat dari Bukhari? Sudah lebih taqwa dari Muslim? Dari Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad?
Na'udzubillah. Tsumma na'udzubillah. Alangkah sombongnya sebagian manusia. Menolak kebenaran dan remehkan lainnya.[]
Baik. Kalau mau fair, kita cross-check dengan Al-Quran. Satu-satunya sumber yang mereka "yakini" benar. Tentang perlunya hadits, agar sampai pada Allah di hari perhitungan.
Satu, bahkan Allah, lewat Al-Quran, tetapkan Rasulullah sebagai teladan. Yang tindak-tanduk dan katanya cerminkan Islam. "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Q.s. Al-Ahzab [33]: 21)
Dua, kita diperintahkan mengikuti apa pun yang disabdakannya, patuh dan tunduk padanya. Itu sebagai syarat jika kita mengaku: cinta padaNya. "Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.'" (Q.s. Ali Imran [3]: 31-32)
Periwayatan hadits, pada akhirnya, adalah hal yang harus dilakukan. Oleh para sahabat. Tabi'in. Ulama. Agar kata-kata, tindak-tindak, perilaku dan sifat-sifat Rasulullah sampai pada umat akhir zaman. Jika mereka tidak melakukannya, kita akan jadi umat yang tersesat. Tidak tahu Rasul seperti apa. Apa yang utama. Cara memahami agama. Lalu, kita apa jadinya?
Dalam melakukan proses "sharing" hadits ini, memang dilakukan oleh manusia. Yang mungkin salah dan alpa. Namun, menjadikan kemungkinan khilaf sebagai faktor penolakan, sangat konyol tak terbilang. Sebab, hadits itu diriwayatkan oleh orang-orang pilihan. Yang ibadah dan ilmunya sarat-dalam. Dilakukan dengan usaha yang maksimal, pindah dari satu negeri ke negeri lain hanya untuk dapatkan. Bahkan, untuk Bukhari, satu hadits itu ditetapkan setelah shalat istikharah. Bayangkan jumlah hadits yang beliau riwayatkan dan banyaknya shalat istikharah yang beliau lakukan.
Apakah orang-orang yang menolak hadits sebagai pijakan hukum dalam Islam beramal sebanyak beliau?
Seshalih dan sesungguh beliau?
Jika bukan para ahli hadits itu yang kita jadikan rujukan dalam ber-Islam, lalu pada siapa kita mengambil petunjuk? Pada orang-orang sekarang? Yang bahkan belum jelas dari mana mereka membuat kesimpulan? Buku apa yang mereka baca? Dari mana mereka bisa-bisanya menafsirkan? Belum lagi jelas kematian mereka: apakah husnul atau su'ul. Belum nampak juga sumbangsih mereka untuk umat Islam lintas generasi. Aduhai, aduhai. Ceroboh sekali.
Yang tidak boleh kita lupa: para ahli hadits yang ikhlas akan ditolong Allah. Semua orang beriman dan sungguh-sungguh mencari ridhaNya, akan dibantu dalam upaya iqamatuddin. Periwayatan hadits dan pengkategoriannya adalah bentuk pertolongan itu, bukan sebagai dalil pelemahannya. Jika memang Allah biarkan periwayatan hadits, pasti kita akan menjumpai semua hadits itu tidak jelas siapa periwayatnya, kacau isinya, diotak-atik sesukanya. Tidak jelas mana perawi yang haq, yang dholalah, yang pernah berbohong, dan sebagainya.
Dan, tak boleh dilupa, pada nyatanya, ada hadits-hadits yang Allah tunjukkan keshahihannya secara ilmiah. Terang-benderang di depan mata. Jika memang hadits itu tertolak seluruhnya, batil semua, kenapa Allah buktikan kebenaran isinya?
Simak hadits tentang dua sayap lalat.
Simak hadits tentang berlomba-lombanya manusia membangun bangunan tinggi menjelang kiamat.
Simak hadits tentang dikepungnya generasi Islam oleh umat-umat jahat.
Semuanya terbukti. Lalu, hadits-hadits ini juga harus disingkirkan dari muka bumi?
Pada akhirnya, sangat wajar bila ada nasihat: mengacalah! Siapa kita berani menyingkirkan hadits-hadits dari kehidupan beragama? Apakah kita sudah lebih hebat dari Bukhari? Sudah lebih taqwa dari Muslim? Dari Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad?
Na'udzubillah. Tsumma na'udzubillah. Alangkah sombongnya sebagian manusia. Menolak kebenaran dan remehkan lainnya.[]
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ