~* Bahagia dalam diri adalah... *~
Menjadi
bahagia, buknlah karena sikap orang lain yang menyenangkan atau
menyakiti kita. Tetapi menjadi bahagia adalah karena pilihan kita
sendiri untuk menjadi bahagia.
Menjadi bahagia adalah tentang bagaimana kita mensetting hati, pikiran dan laku dan keseharian kita, dan semua itu adalah terletak diatas keinginan dan kemauan kita sendiri.
Ketika definisi tentang bahagia kita letakkan dengan cara banyak menguliti orang lain dan meminta mereka bersikap begini dan begitu, yang tentunya mengharuskan mereka mengikuti apa yang kita mau, saat itulah sebenarnya kekurangan adalah menjadi milik kita dan bukan mereka.
Betapa tidak, dalam menyusun rencana pembahagiaan diri kita tersebut, maka harus dihadirkan adanya sikap memaksa, tak jarang malah berakhir dengan konflik. Padahal dengan bersabar, hal itulah yang bukan hanya menjadikan kita lebih bahagia, tapi sekaligus memberi peluang kita untuk lebih mulia.
Lalu, apakah ada kebahagiaan dalam kesabaran? Tentu saja ada. Seseorang yang beriman kepada Allah, akan selalu bahagia dalam sabarnya. Hal ini wajar, karena pikirannya akan tertuju kepada nikmat pahala dan kebahagiaan akherat yang pasti Allah berikan sebagai balasannya. Dan sekali lagi, hal ini hanya berlaku hanya untuk para hati yang benar- benar beriman kepada Allah.
Selanjutnya, dalam kesabaranpun juga terkandung kebahagiaan yang lain. Seperti kata pepatah, bahkan batupun bisa akan berlubang jika ditetesi air secara terus menerus. Garis hidup yang memang tidak mudah di lalui pada awalnya dengan sikap yang bernama sabar, namun di episode akhir, InsyaAllah kita akan berhasil mengubah seseorang, yang tanpa sadar justru akan mencontoh banyak hal baik yang telah kita lakukan, hanya karena kita mampu bersabar. Dan adalah sebuah kepastian bagi siapapun yang akhirnya menemui dirinya di masa depan menjadi pribadi yang disegani dihadapan kawan maupun lawan.
Selain itu, ada sebagian orang yang mampu untuk bahagia dengan mensyaratkan ini dan itu kepada dirinya sendiri dan orang lain, dimana semua itu seakan melampaui batas kewajaran. Atau dalam kata lain, tiada rasa syukur dalam kamus hidupnya. Dan apakah sebenarnya dia bahagia ketiika telah terpenuhi segala yang dia inginkan ?. Mungkin tidak. Karena yang ada, bahkan sebenarnya dia menjadikan hidup yang sekali kali nya ini, menjadi budak dari ambisinya yang tiada habis dan dan tidak ada ujungnya.
Nafsunya merongrong terus tanpa batas dan waktu. Sungguh, sebenarnya dia adalah orang yang paling sengsara, banyak tertipu dan paling pantas dikasihani. Dan tidak mustahil, justru bahkan dalam akhir kisah hidupnya, dia belum sempat menikmati kebahagiaan yang hakiki, yaitu berada dekat Allah subhanahu wataala, karena jatah hidupnya sudah habis untuk keperluan nafsunya sendiri. Padahal ketika maut telah merenggutnyapun, dunia yang selama ini di belanya, tidak serta merta akan mati dan mengikutinya, kecuali meninggalkannya dan hanya mengingatnya dalam nama "kenangan".
Maka jadilah pahlawan bagi diri sendiri, yaitu yang mampu mengangkat derajat diri sendiri lewat kesabaran, dan hadiahi diri kita selalu dengan sebuah rasa syukur kepada Allah. Sungguh, orang yang damai dan bahagia dengan dirinya, sesungguhnya tidak memerlukan apa- apa lagi, Kecuali Allah, yang Maha membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dan selalu akan menyertai hari- harinya. Dan dengan begitu, bisa disimpulkan pula, bahwa dia telah menjadi pemimpin terbaik atas dirinya, yaitu dengan menyandarkan pilihan dan keluh kesahnya dengan yang Maha Menyelesaikan, saja. Dan ketika kita sudah merasa memiliki dan begitu dekat dengan Allah, maka semudah itu kita akan mutuskan, ternyata gampang mendapatkan sebuah bahagia.
Menjadi bahagia adalah tentang bagaimana kita mensetting hati, pikiran dan laku dan keseharian kita, dan semua itu adalah terletak diatas keinginan dan kemauan kita sendiri.
Ketika definisi tentang bahagia kita letakkan dengan cara banyak menguliti orang lain dan meminta mereka bersikap begini dan begitu, yang tentunya mengharuskan mereka mengikuti apa yang kita mau, saat itulah sebenarnya kekurangan adalah menjadi milik kita dan bukan mereka.
Betapa tidak, dalam menyusun rencana pembahagiaan diri kita tersebut, maka harus dihadirkan adanya sikap memaksa, tak jarang malah berakhir dengan konflik. Padahal dengan bersabar, hal itulah yang bukan hanya menjadikan kita lebih bahagia, tapi sekaligus memberi peluang kita untuk lebih mulia.
Lalu, apakah ada kebahagiaan dalam kesabaran? Tentu saja ada. Seseorang yang beriman kepada Allah, akan selalu bahagia dalam sabarnya. Hal ini wajar, karena pikirannya akan tertuju kepada nikmat pahala dan kebahagiaan akherat yang pasti Allah berikan sebagai balasannya. Dan sekali lagi, hal ini hanya berlaku hanya untuk para hati yang benar- benar beriman kepada Allah.
Selanjutnya, dalam kesabaranpun juga terkandung kebahagiaan yang lain. Seperti kata pepatah, bahkan batupun bisa akan berlubang jika ditetesi air secara terus menerus. Garis hidup yang memang tidak mudah di lalui pada awalnya dengan sikap yang bernama sabar, namun di episode akhir, InsyaAllah kita akan berhasil mengubah seseorang, yang tanpa sadar justru akan mencontoh banyak hal baik yang telah kita lakukan, hanya karena kita mampu bersabar. Dan adalah sebuah kepastian bagi siapapun yang akhirnya menemui dirinya di masa depan menjadi pribadi yang disegani dihadapan kawan maupun lawan.
Selain itu, ada sebagian orang yang mampu untuk bahagia dengan mensyaratkan ini dan itu kepada dirinya sendiri dan orang lain, dimana semua itu seakan melampaui batas kewajaran. Atau dalam kata lain, tiada rasa syukur dalam kamus hidupnya. Dan apakah sebenarnya dia bahagia ketiika telah terpenuhi segala yang dia inginkan ?. Mungkin tidak. Karena yang ada, bahkan sebenarnya dia menjadikan hidup yang sekali kali nya ini, menjadi budak dari ambisinya yang tiada habis dan dan tidak ada ujungnya.
Nafsunya merongrong terus tanpa batas dan waktu. Sungguh, sebenarnya dia adalah orang yang paling sengsara, banyak tertipu dan paling pantas dikasihani. Dan tidak mustahil, justru bahkan dalam akhir kisah hidupnya, dia belum sempat menikmati kebahagiaan yang hakiki, yaitu berada dekat Allah subhanahu wataala, karena jatah hidupnya sudah habis untuk keperluan nafsunya sendiri. Padahal ketika maut telah merenggutnyapun, dunia yang selama ini di belanya, tidak serta merta akan mati dan mengikutinya, kecuali meninggalkannya dan hanya mengingatnya dalam nama "kenangan".
Maka jadilah pahlawan bagi diri sendiri, yaitu yang mampu mengangkat derajat diri sendiri lewat kesabaran, dan hadiahi diri kita selalu dengan sebuah rasa syukur kepada Allah. Sungguh, orang yang damai dan bahagia dengan dirinya, sesungguhnya tidak memerlukan apa- apa lagi, Kecuali Allah, yang Maha membantu dalam menyelesaikan masalahnya, dan selalu akan menyertai hari- harinya. Dan dengan begitu, bisa disimpulkan pula, bahwa dia telah menjadi pemimpin terbaik atas dirinya, yaitu dengan menyandarkan pilihan dan keluh kesahnya dengan yang Maha Menyelesaikan, saja. Dan ketika kita sudah merasa memiliki dan begitu dekat dengan Allah, maka semudah itu kita akan mutuskan, ternyata gampang mendapatkan sebuah bahagia.