~* Hakikat Shalat, Tasawuf, dan Makrifat? *~
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ |
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Pernahkah
kita mendengar seseorang bertanya, "Apa hakikat shalat?"
Lumayan. Bagi saya, beberapa kali bertemu bunyi-bunyian semacam. Kadang, memikirkan bagaimana cara yang tepat menjawabnya. Kadang tidak peduli sebab sejumlah hal. Mungkin akan lebih jelas bila saya menguraikan.
Pertama, samakan persepsi dahulu. Apa itu hakikat? Setiap orang memaknai kata ini dengan berbeda-beda, sehingga jawaban yang diberikan kemudian oleh orang lain dapat tidak dimengerti karena adanya jurang perbedaan pemaknaan. Nah, untuk penyeragaman, mari kita rujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mengartikannya. Hakikat diartikan: 1. Intisari atau dasar. Contoh, "Dia yang menanamkan hakikat ajaran Islam di hatiku." 2. Kenyataan yang sebenarnya (sesungguhnya). Contoh, "Pada hakikatnya mereka orang baik-baik."
Jadi, dari sini, jika pertanyaan hakikat dikaitkan dengan shalat, berbunyi, "Apa intisari, dasar, atau kenyataan sesungguhnya dari shalat?"
Agak aneh, ya? Wajar kalau muncul ketidakjelasan dalam mencari jawaban yang sebenarnya dari pertanyaan ini, sebab pertanyaannya sendiri tidak jelas dan perlu diperjelas kembali kisi-kisi jawabannya.
Kalau mau tetap dijawab, tetap saja bingung mau dijawab di bagian mananya. Apa intisari atau dasar shalat: apakah ini rukun shalat? Syarat sah shalat? Manfaat shalat? Pakai arti yang kedua, kenyataan yang sebenarnya. Apa kenyataan yang sebenarnya dari shalat? Kenyataan sebenarnya dia adalah perintah dari Allah dan dicontohkan Rasulullah. Kenyataan yang mana lagi yang mau digali?
Ada kemungkinan pertanyaan hakikat shalat ini lebih dimaksudkan untuk mencari "kenapa manusia diperintahkan shalat?" Silakan tanya sama Allah, kalau begitu. Tapi, sebelum bertanya, cek lagi kitab suci kita. Di sana, Allah bilang apa tentang tujuan shalat. Sebagaimana zakat, puasa, haji, shalat diperintahkan agar manusia bertaqwa. Semua ibadah muara akhirnya, harusnya, adalah taqwa. Ini bukan sesuatu yang sederhana, sebab taqwa adalah proses dan perjuangan yang luar biasa. Bukti dari betapa besarnya arti kata "taqwa" di sisi Allah, dapat dilihat dari repetisi dalam Al-Quran. Seberapa sering Allah menyebutkannya? Semakin Allah mengulang-ulang satu perintah, kata, peringatan, dapat kita simpulkan betapa urgen-nya hal tersebut bagi kita.
Jika mau menggali lebih lagi tentang apa itu hakikat shalat, lantaran belum puasnya diri atas jawaban yang Allah sebutkan dalam Al Quran, lebih baik mulai istighfar. Sebab Rasulullah sendiri tidak kurang ajar, lalu kenapa kita, umat biasa, manusia banyak dosa, mendesak-desak atau mencari-cari yang tidak diterangkan? Cukupkan diri dengan penjelasan yang Allah berikan dalam Al-Quran dan Sunnah. Niscaya, jika itu penting, Allah dan RasulNya sudah share sama kita. Patokannya, Al-Maidah ayat tiga. Di mana, sebelum Rasulullah wafat, Allah turunkan ayat yang menjelaskan agama ini sudah sempurna.
" ... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Semua jawaban bisa kita dapatkan dari dua warisan utama. Kalau tidak ketemu, itu berarti ilmu pengetahuan kita yang belum sampai memahaminya. Alih-alih belajar berbagai disiplin ilmu yang tidak jelas akar-dasar-arahannya, kembali lagi pada firmanNya, sabda utusanNya. Sebab itu yang lebih menjamin kita sampai padaNya.
Lumayan. Bagi saya, beberapa kali bertemu bunyi-bunyian semacam. Kadang, memikirkan bagaimana cara yang tepat menjawabnya. Kadang tidak peduli sebab sejumlah hal. Mungkin akan lebih jelas bila saya menguraikan.
Pertama, samakan persepsi dahulu. Apa itu hakikat? Setiap orang memaknai kata ini dengan berbeda-beda, sehingga jawaban yang diberikan kemudian oleh orang lain dapat tidak dimengerti karena adanya jurang perbedaan pemaknaan. Nah, untuk penyeragaman, mari kita rujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk mengartikannya. Hakikat diartikan: 1. Intisari atau dasar. Contoh, "Dia yang menanamkan hakikat ajaran Islam di hatiku." 2. Kenyataan yang sebenarnya (sesungguhnya). Contoh, "Pada hakikatnya mereka orang baik-baik."
Jadi, dari sini, jika pertanyaan hakikat dikaitkan dengan shalat, berbunyi, "Apa intisari, dasar, atau kenyataan sesungguhnya dari shalat?"
Agak aneh, ya? Wajar kalau muncul ketidakjelasan dalam mencari jawaban yang sebenarnya dari pertanyaan ini, sebab pertanyaannya sendiri tidak jelas dan perlu diperjelas kembali kisi-kisi jawabannya.
Kalau mau tetap dijawab, tetap saja bingung mau dijawab di bagian mananya. Apa intisari atau dasar shalat: apakah ini rukun shalat? Syarat sah shalat? Manfaat shalat? Pakai arti yang kedua, kenyataan yang sebenarnya. Apa kenyataan yang sebenarnya dari shalat? Kenyataan sebenarnya dia adalah perintah dari Allah dan dicontohkan Rasulullah. Kenyataan yang mana lagi yang mau digali?
Ada kemungkinan pertanyaan hakikat shalat ini lebih dimaksudkan untuk mencari "kenapa manusia diperintahkan shalat?" Silakan tanya sama Allah, kalau begitu. Tapi, sebelum bertanya, cek lagi kitab suci kita. Di sana, Allah bilang apa tentang tujuan shalat. Sebagaimana zakat, puasa, haji, shalat diperintahkan agar manusia bertaqwa. Semua ibadah muara akhirnya, harusnya, adalah taqwa. Ini bukan sesuatu yang sederhana, sebab taqwa adalah proses dan perjuangan yang luar biasa. Bukti dari betapa besarnya arti kata "taqwa" di sisi Allah, dapat dilihat dari repetisi dalam Al-Quran. Seberapa sering Allah menyebutkannya? Semakin Allah mengulang-ulang satu perintah, kata, peringatan, dapat kita simpulkan betapa urgen-nya hal tersebut bagi kita.
Jika mau menggali lebih lagi tentang apa itu hakikat shalat, lantaran belum puasnya diri atas jawaban yang Allah sebutkan dalam Al Quran, lebih baik mulai istighfar. Sebab Rasulullah sendiri tidak kurang ajar, lalu kenapa kita, umat biasa, manusia banyak dosa, mendesak-desak atau mencari-cari yang tidak diterangkan? Cukupkan diri dengan penjelasan yang Allah berikan dalam Al-Quran dan Sunnah. Niscaya, jika itu penting, Allah dan RasulNya sudah share sama kita. Patokannya, Al-Maidah ayat tiga. Di mana, sebelum Rasulullah wafat, Allah turunkan ayat yang menjelaskan agama ini sudah sempurna.
" ... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Semua jawaban bisa kita dapatkan dari dua warisan utama. Kalau tidak ketemu, itu berarti ilmu pengetahuan kita yang belum sampai memahaminya. Alih-alih belajar berbagai disiplin ilmu yang tidak jelas akar-dasar-arahannya, kembali lagi pada firmanNya, sabda utusanNya. Sebab itu yang lebih menjamin kita sampai padaNya.
Jauh
sebelum adanya berbagai disiplin ilmu, di zaman Rasulullah masih hidup, tidak
ada ilmu-ilmu semacam yang kita temukan hari ini. Semuanya lebih menyatu dalam
diri Rasulullah. Dari perilaku beliaulah, justru lahir berbagai disiplin ilmu,
sehingga umat lebih paham memelajarinya. Sehingga, jika ada ilmu Islam yang
mengalami pengembangan di luar konteks kehidupan beliau, tidak beliau contohkan,
tidak juga termaktub dalam hadits-haditsnya, perilaku dan sifatnya, kita selalu
dapat memilih: menjadikannya sebagai pilihan hidup, atau meninggalkannya sama
sekali.
Terkait
tasawuf, mencapai hakikat, tarekat, ma'rifat, mudah saja. Ini adalah ilmu yang
muncul pasca Rasulullah. Rasulullah sendiri tidak mengajarkannya, sehingga
pemaknaan terhadap Islam melalui metode ini perlu dipertanyakan: benarkah ia
akan membimbing kita sampai kepada Allah Swt.? Yang paling bisa kita pegang:
Rasulullah ada orang yang bertaqwa. Tiada manusia lain yang bisa seperti
beliau. Kalau kita mau belajar tentang jadi manusia yang beribadah dengan
benar, memaknai agama ini dengan benar, cukup tengok saja beliau. Contoh
beliau. Dengar dan ikuti kata-katanya.
"Katakanlah,
'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"
(Q.s. Ali Imran [3]: 31).
Islam
itu sederhana, manusia saja yang merumitkannya.
"Kami
tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah" (Q.s.
Thaahaa [20]: 2).
Allahu
a'lam.[]
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
.......~*~......