~* Kawan, Kenapa Kau Tidak Bertanya? Bila Kebingungan dan Resah Landa Jiwa *~
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Bila
kita biasakan diri, pasti akan terbiasa pula: lakukan yang dibiasakan.
Sesederhana itu rumus kefokusan. Semakin sering, semakin bagus. Semakin
rutin, semakin tajam. Semakin mantap, semakin tegar.
Namun kadang, persoalannya bukan apakah itu benar atau salah. Karena, saat kita sudah terbiasa, tak lagi jelas batasnya. Karena, secara emosi dan jiwa, kita telah terlibat di dalam. Sangat sulit untuk objektif di tengah situasi serupa. Lebih sering kita menjadi subjektif. Gunakan sudut pandang pribadi belaka. Dan, benarlah kata-kata berikutnya:
Kau hanya melihat
apa yang memang ingin kau lihat....
Sekali lagi, kuncinya ada di pembiasaan.
Sehingga, pertanyaannya:
"Apa yang kau biasakan?"
Repetisi itu obat mujarab. Untuk menjadikan kemunkaran sebagai kebenaran. Ubah kebenaran jadi kejahatan.
Simak:
Hari ini, membicarakan orang lain itu lumrah-lumrah saja. Padahal, di sisi Allah, amat besar bencana.
Hari ini, memakai jilbab lebar itu dianggap berlebihan. Padahal, ada yang pamer aurat berlenggak-lenggok tanpa komentar. Malah dianggap tak mengapa. Santai saja.
Hari ini, dukun pakai mantera dan baju hitam itu normal. Apalagi kiyai-kiyai bersorban besar. Yang mengaku mampu baca masa depan atau atur pengasihan. Diselingi sedikit ayat Al-Quran, langsung percaya. Dari yang memacul sawah, sampai yang berdasi tenteng laptop buatan Jepang. Tanpa tendeng aling. Sempurna benar.
Hari ini, orang berlatar belakang agama, ceramah di televisi, atau maju ke pemilihan, dianggap menjual agama. Untuk kekayaan, populer, dan tudingan lain tak berbilang. Padahal, belum lagi terbelah dada dan tersibak apa yang gaib bagi pencibirnya.
Masalah-masalah belakangan ini, adalah repetisi. Pengulangan-pengulangan. Itu karena kita membiasakan. Ceburkan diri pada sesuatu yang hati kita sendiri telah peringatkan. Bertanya pada hati, kini, jarang dilakukan. Padahal, jika hati masih hidup, itu dapat dilakukan. Sebab hati selalu mencari ketenangan. Ketentraman. Kedamaian dari apa yang kita lakukan.
Bila hatimu gelisah, itu tanda ada yang tidak beres dari apa yang kau terima. Apa yang kau kerja. Alarm dari Allah untuk menjaga. Pun Rasulullah telah berpesan. Ingatkan: jauhi syubhat, itu lebih dekat pada kebaikan. Lebih aman, sentosa.
Hari ini, banyak perbuatan ingkar yang dibiasakan. Banyak pula hal yang meragukan yang tetap dibudayakan. Semua itu, insya Allah, tidak akan mampu mengelabui hati. Hati yang bersih. Hati yang masih berserah diri. Jika memang benar suatu perkara, hati akan mengenali. Tidak dipaksakan tenteram yang muncul. Tidak pula direkayasa senyum yang timbul. Semua dari hati, akan sampai ke hati. Semua yang benar, akan dikenali jiwa dan diri.
Teman, sucikan hati. Sebelum memutuskan, bersihkan hati. Sebab hati yang kotor kan bimbing dirimu ke mana-mana. Sebab hati yang bersih kan tuntun hidupmu pada DzatNya.
Tidak perlu ragu bila memang tidak gelisah.
Tidak perlu resah jika memang tidak buatan kata.
Karena hatimu akan jujur, apa pun keadaannya.
Marilah meminta fatwa padanya. Atas perkara-perkara yang menimpa. Dan dengarkan bisiknya. Jangan kau interupsi sebelum ia selesaikan. Sekali saja, dalam hidupmu, renungkan. Dalam malam atau pagi yang tenang.
Maka, kau akan temukan: hatimu tidak akan berbohong, insya Allah.
Namun kadang, persoalannya bukan apakah itu benar atau salah. Karena, saat kita sudah terbiasa, tak lagi jelas batasnya. Karena, secara emosi dan jiwa, kita telah terlibat di dalam. Sangat sulit untuk objektif di tengah situasi serupa. Lebih sering kita menjadi subjektif. Gunakan sudut pandang pribadi belaka. Dan, benarlah kata-kata berikutnya:
Kau hanya melihat
apa yang memang ingin kau lihat....
Sekali lagi, kuncinya ada di pembiasaan.
Sehingga, pertanyaannya:
"Apa yang kau biasakan?"
Repetisi itu obat mujarab. Untuk menjadikan kemunkaran sebagai kebenaran. Ubah kebenaran jadi kejahatan.
Simak:
Hari ini, membicarakan orang lain itu lumrah-lumrah saja. Padahal, di sisi Allah, amat besar bencana.
Hari ini, memakai jilbab lebar itu dianggap berlebihan. Padahal, ada yang pamer aurat berlenggak-lenggok tanpa komentar. Malah dianggap tak mengapa. Santai saja.
Hari ini, dukun pakai mantera dan baju hitam itu normal. Apalagi kiyai-kiyai bersorban besar. Yang mengaku mampu baca masa depan atau atur pengasihan. Diselingi sedikit ayat Al-Quran, langsung percaya. Dari yang memacul sawah, sampai yang berdasi tenteng laptop buatan Jepang. Tanpa tendeng aling. Sempurna benar.
Hari ini, orang berlatar belakang agama, ceramah di televisi, atau maju ke pemilihan, dianggap menjual agama. Untuk kekayaan, populer, dan tudingan lain tak berbilang. Padahal, belum lagi terbelah dada dan tersibak apa yang gaib bagi pencibirnya.
Masalah-masalah belakangan ini, adalah repetisi. Pengulangan-pengulangan. Itu karena kita membiasakan. Ceburkan diri pada sesuatu yang hati kita sendiri telah peringatkan. Bertanya pada hati, kini, jarang dilakukan. Padahal, jika hati masih hidup, itu dapat dilakukan. Sebab hati selalu mencari ketenangan. Ketentraman. Kedamaian dari apa yang kita lakukan.
Bila hatimu gelisah, itu tanda ada yang tidak beres dari apa yang kau terima. Apa yang kau kerja. Alarm dari Allah untuk menjaga. Pun Rasulullah telah berpesan. Ingatkan: jauhi syubhat, itu lebih dekat pada kebaikan. Lebih aman, sentosa.
Hari ini, banyak perbuatan ingkar yang dibiasakan. Banyak pula hal yang meragukan yang tetap dibudayakan. Semua itu, insya Allah, tidak akan mampu mengelabui hati. Hati yang bersih. Hati yang masih berserah diri. Jika memang benar suatu perkara, hati akan mengenali. Tidak dipaksakan tenteram yang muncul. Tidak pula direkayasa senyum yang timbul. Semua dari hati, akan sampai ke hati. Semua yang benar, akan dikenali jiwa dan diri.
Teman, sucikan hati. Sebelum memutuskan, bersihkan hati. Sebab hati yang kotor kan bimbing dirimu ke mana-mana. Sebab hati yang bersih kan tuntun hidupmu pada DzatNya.
Tidak perlu ragu bila memang tidak gelisah.
Tidak perlu resah jika memang tidak buatan kata.
Karena hatimu akan jujur, apa pun keadaannya.
Marilah meminta fatwa padanya. Atas perkara-perkara yang menimpa. Dan dengarkan bisiknya. Jangan kau interupsi sebelum ia selesaikan. Sekali saja, dalam hidupmu, renungkan. Dalam malam atau pagi yang tenang.
Maka, kau akan temukan: hatimu tidak akan berbohong, insya Allah.
اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ
اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ