~* Aku dekat Engkau dekat *~
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْمِ اللّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Berikut adalah hadits yang dipahami oleh mereka bahwa Allah Azza wa Jalla berada di suatu tempat.
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin ash-Shabbah
dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan keduanya berdekatan dalam lafazh
hadits tersebut, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail
bin Ibrahim dari Hajjaj ash-Shawwaf dari Yahya bin Abi Katsir dari
Hilal bin Abi Maimunah dari ‘Atha’ bin Yasar dari Muawiyah bin al-Hakam
as-Sulami dia berkata, Ketika aku sedang shalat bersama-sama Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari suatu
kaum bersin. Lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah (semoga Allah memberi
Anda rahmat) ‘.
Maka seluruh jamaah menujukan pandangannya kepadaku. Aku
berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memelototiku? Mereka
bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah
aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Tetapi aku telah diam. Tatkala
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam selesai shalat, Ayah dan ibuku
sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu
seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya
daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul
dan tidak memakiku. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya shalat ini, tidak
pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah
tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.’ -Atau sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam, sesungguhnya aku dekat dengan masa
jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah mendatangkan agama Islam, sedangkan
di antara kita ada beberapa laki-laki yang mendatangi dukun.’ Beliau
bersabda, ‘Janganlah kamu mendatangi mereka.’ Dia berkata, ‘Dan di
antara kita ada beberapa laki-laki yang bertathayyur (berfirasat sial).’
Beliau bersabda, ‘Itu adalah rasa waswas yang mereka dapatkan dalam
dada mereka yang seringkali menghalangi mereka (untuk melakukan
sesuatu), maka janganlah menghalang-halangi mereka. -Ibnu Shabbah
berkata dengan redaksi, ‘Maka jangan menghalangi kalian-. Dia berkata,
Aku berkata, ‘Di antara kami adalah beberapa orang yang menuliskan garis
hidup.’ Beliau menjawab, ‘Dahulu salah seorang nabi menuliskan garis
hidup, maka barangsiapa yang bersesuaian garis hidupnya, maka itulah
(yang tepat, maksudnya seorang nabi boleh menggambarkan masa yang akan
datang, pent) ‘. Dia berkata lagi, Dahulu saya mempunyai budak wanita
yang menggembala kambing di depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyah. Pada
suatu hari aku memeriksanya, ternyata seekor serigala telah membawa
seekor kambing dari gembalaannya. Aku adalah laki-laki biasa dari
keturunan bani Adam yang bisa marah sebagaimana mereka juga bisa marah.
Tetapi aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah
masalah besar. Aku berkata, (Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih
baik aku memerdekakannya? ‘ Beliau bersabda, ‘Bawalah dia kepadaku.’
Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, ‘Di manakah
Allah? ‘ Budak itu menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya, ‘Siapakah
aku? ‘ Dia menjawab, ‘Kamu adalah utusan Allah.’ Beliau bersabda,
‘Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah’. Telah
menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami
Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami al-Auza’i dari Yahya bin
Abi Katsir dengan isnad ini hadits semisalnya. (HR Muslim 836)
Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang baru masuk Islam.
Dapat diketahui dari ungkapanya “Lalu aku mengucapkan, ‘Yarhamukallah
(semoga Allah memberi Anda rahmat) ‘. Maka seluruh jamaah menujukan
pandangannya kepadaku. Aku berkata, Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda
semua memelototiku? Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha
mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam”
Hal pokok yang disampaikan oleh hadits ini adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya, “Sesungguhnya
shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena
shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim
(Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis
Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina
Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat
Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan
maqam (tempat) dan juga bisa digunakan untuk menanyakan makanah
(kedudukan/derajat). Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi)
Tentang pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada budak, lebih baik berpegang pada hadits lain seperti,
Disampaikan kepadaku oleh Imam Malik: dari Syihab dari `Ubaidillah
Bin Abdullah Bin `Uthbah Bin Mas`ud bahwasanya seorang laki-laki dari
kalangan Anshar mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. ia
memiliki seorang budak wanita berkulit hitam dan berkata: Wahai
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sesungguhnya saya mesti
membebaskan seorang budak beriman, jikalau engkau melihatnya beriman,
maka bebaskanlah ia. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
berkata kepadanya (budak wanita) “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah?” Ia menjawab: “Iya”. Dan “apakah engkau bersaksi
bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” ia menjawab: “Iya”. Dan
“apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah kematian?! Ia
menjawab: “Iya”. Rasululullah Shallallahu alaihi wasallam kemudian
mengatakan : “bebaskanlah ia”
Oleh karena adanya perbedaan redaksi/matan pada bagian pertanyaan
Rasulullah kepada seorang budak maka hadits tentang kisah budak wanita
di dalam kitab Sahih Muslim pada bagian pertanyaan Nabi kepadanya
merupakan riwayat yang mudltharib secara redaksional. Jikalau kita ambil
dengan cara mentarjih dengan berdasarkan syahid dan indikasi yang
mendukungnya, maka riwayat dengan redaksi: أَتَشْهَدِينَ (apakah engkau
bersaksi)?” adalah riwayat yang rajih (terkuat). Karena riwayat ini
sesuai dengan akidah Islam secara yakin dan merupakan hadits yang paling
sahih jika di pandang dari sisi sanad.
Begitupula hadits tentang kisah budak wanita di dalam kitab Sahih
Muslim dikatakan syadz untuk dijadikan landasan menyangkut masalah
akidah (i’tiqod) karena tidak dapat dikatakan “di mana” atau bagaimana
bagi Allah Azza wa Jalla.
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221: “Karena
sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu
terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada
ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh
juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-nya: Di mana?.”
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya
yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana
(pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat
makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi,
Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”.
Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu
menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan
aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan
Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat
Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Salah satu hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang
dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi dan menerpa mereka adalah
menjadikan hadits tentang kisah budak wanita di dalam kitab Sahih
Muslim sebagai landasan dalam i’tiqod dan memaknai “di mana Allah”
secara dzahir mengikuti pola pemahaman orang yang baru masuk Islam.
Tujuan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan
oleh kaum Zionis Yahudi adalah untuk menjauhkan kaum muslim dari Allah
Azza wa Jalla. Dengan berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla
bertempat atau meninggi (dalam arti jarak) di atas ‘Arsy (tempat yang
jauh , beratus-ratus tahun perjalanan). Secara alam bawah sadar akan
berakibat bahwa Allah ta’ala adalah jauh.
Kalau kita coba ingat bagian lirik lagu berjudul Tuhan dari group musik Bimbo berbunyi
Aku jauh, Engkau jauh
Aku dekat, Engkau dekat
Hati adalah cermin
Tempat pahala dosa bertaruh
Aku dekat, Engkau dekat
Hati adalah cermin
Tempat pahala dosa bertaruh
Syeikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhidnya berjudul “Hasyiyah
ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” pada halaman 109 baris 9 s/d 12 mengatakan
“i’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim
(bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat
mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.”
Allah Azza wa Jalla, bukanlah sifatNya, bukanlah namaNya, bukanlah af’alNya.
Allah Azza wa Jalla, ada sebagaimana awalnya , sebagaimana akhirnya,
sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan
langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Dia tidak berubah,
tidak berpindah, tidak berbentuk, tidak berbatas, tidak ada yang
menyerupaiNya. Dia dekat tidak bersentuh dan Dia jauh tidak berjarak
maupun tidak berarah.
Pada hakikatnya kita tidak perlu memikirkan tentang keberadaan DzatNya namun pikirkanlah segala nikmat yang telah diberikanNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah”
Kita kembalikan saja kepada firmanNya yang artinya
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“.( Al Baqarah [2]:186 ).
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf [50] :16 )
“Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat” (QS Al-Waqi’ah [56]: 85 ).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah
engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab:
“Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. “Bagaimana anda
melihat-Nya?” dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang,
tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh)
adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat
kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang
hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)”
Andaikan mereka mengamalkan tasawuf sebagaimana kaum sufi tentulah
mereka tidak termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang
dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi.
Ulama tasawuf, Syaikh Ibnu Athoillah mengatakan, “Sesungguhnya yang
terhalang adalah anda, hai kawan. Karena anda sebagai manusia menyandang
sifat jasad, sehingga terhalang untuk dapat melihat Allah. Apabila anda
ingin sampai melihat Allah, maka intropeksi ke dalam, lihatlah dahulu
noda dan dosa yang terdapat pada diri anda, serta bangkitlah untuk
mengobati dan memperbaikinya, karena itu-lah sebagai penghalang anda.
Mengobatinya dengan bertaubat dari dosa serta memperbaikinya dengan
tidak berbuat dosa dan giat melakukan kebaikan“.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany menyampaikan, “mereka yang sadar diri
senantiasa memandang Allah Azza wa Jalla dengan qalbunya, ketika terpadu
jadilah keteguhan yang satu yang mengugurkan hijab-hijab antara diri
mereka dengan DiriNya. Semua banungan runtuh tinggal maknanya. Seluruh
sendi-sendi putus dan segala milik menjadi lepas, tak ada yang tersisa
selain Allah Azza wa Jalla. Tak ada ucapan dan gerak bagi mereka, tak
ada kesenangan bagi mereka hingga semua itu jadi benar. Jika sudah benar
sempurnalah semua perkara baginya. Pertama yang mereka keluarkan adalah
segala perbudakan duniawi kemudian mereka keluarkan segala hal selain
Allah Azza wa Jalla secara total dan senantiasa terus demikian dalam
menjalani ujian di RumahNya”.
Nasehat Syaikh Ibnu Athoillah, “Seandainya Anda tidak dapat sampai /
berjumpa kehadhirat Allah, sebelum Anda menghapuskan dosa-dosa kejahatan
dan noda-noda keangkuhan yang melekat pada diri anda, tentulah anda
tidak mungkin sampai kepada-Nya selamanya. Tetapi apabila Allah
menghendaki agar anda dapat berjumpa denganNya , maka Allah akan
menutupi sifat-sifatmu dengan sifat-sifat Kemahasucian-Nya ,
kekuranganmu dengan Kemahasempurnaan-Nya. Allah Ta’ala menerima engkau
dengan apa yang Dia (Allah) karuniakan kepadamu, bukan karena amal
perbuatanmu sendiri yang engkau hadapkan kepada-Nya.”
Manusia terhalang / terhijab melihat Rabb adalah karena dosa mereka.
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati (ketiadaan cahaya), sedangkan
setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam
memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat Allah
(bermakrifat). Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam
dada.” (al Hajj 22 : 46)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad).
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa kaum sufi adalah “mereka yang bergembira bersama Allah dalam setiap saat”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran
tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai,
mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk
di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari
pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah
saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa
Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ