MUQODDIMAH
Saudaraku, Indonesia, bumi dimana Allah mengamanahkannya kepada kita ini sungguh adalah Madiinah ats-tsaniiy, baik secara
demografis, geopolitis, maupun potensi ekonomi. Hendaknya kita kembali
mengingat firman Allah SwT:
تُكَذِّبَانِ رَبِّكُمَا ءَالَآءِ فَبِأَىِّ
Maka
nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
(TQS.Ar-Rahman: 13)
Dakwah pada majal ini benar-benar menjadi salah satu tumpuan bagi kebangkitan umat. Jika di
wilayah-wilayah lain pejuang Islam diuji dengan pemenjaraan, penyiksaan dan
tekanan, maka sesungguhnya hal tsb tidak terjadi pada diri kita. Namun tak
dapat dipungkiri bahwa dakwah ini berjalan bukan tanpa tantangan dan kesulitan.
Sebagaimana telah disebutkan oleh sang revolusioner, Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani dalam kitab at-Takattul al-Hizbiy,
terdapat banyak kesulitan yang menghambat interaksi partai dengan umat,
diantaranya adalah adanya orang-orang yang bersikap realistis/pragmatis (al-waqi’iyyin) di tengah-tengah umat.
Orang-orang ini terlahir dari rahim sistem sekuler yang telah sekian lama membelai
mereka dengan tsaqofah asing, menyusui mereka dengan racun-racun asing, serta
mendekap mereka dengan kebodohan yang berkepanjangan. Astaghfirullah…. Lalu
bagaimana mungkin partai mampu menjernihkan fikrah umat dan menghiasinya dengan
ideologi Islam sebelum dirinya benar-benar lepas dari penjara asing tsb?! Untuk
itulah, penting kiranya kita mewaspadai segala kemungkinan yang dapat
melemahkan dakwah serta berlepas diri dari apa-apa yang berasal dari ideologi
setan dengan segala topengnya!!
MEMBEDAH PRAGMATISME
Secara historis, pada abad XVII, perkembangan
Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran
Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch
Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), serta aliran Empirisme dengan
tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704).
Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah
rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah
empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Empirisme
itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran
yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme. Pada masa ini, Pragmatisme-lah
yang tengah menggurita menjadi racun mematikan bagi upaya pengembanan ideologi
Islam.
Pragmatisme
berasal dari bahasa Yunani pragma
berarti perbuatan (action) atau tindakan (practise). Isme berarti ajaran, aliran, atau paham. Dengan demikian, Pragmatisme
berarti ajaran/aliran/paham yang menekankan bahwa pemikiran itu mengikuti
tindakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pragmatisme berarti kepercayaan
bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham/doktrin/dalil/gagasan/dsb)
bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan pragmatis
berarti bersifat praktis dan berguna bagi umum, bersifat mengutamakan segi
kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan), mengenai/bersangkutan dengan
nilai-nilai praktis. Karena itu, Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran
ajaran adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap benar oleh
Pragmatisme jika membawa suatu hasil. Ide ini
merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya,
yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang
terjadi pada awal abad XIX.
Pragmatisme
mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian
dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Pragmatisme
dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan Pragmatisme,
yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam
konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu
pengetahuan.
PRAGMATISME VS DAKWAH ISLAM IDEOLOGIS
Pragmatisme
ternyata adalah anak kandung qaidah
fikriyyah Kapitalisme-Sekuler. Lalu bagaimana mungkin ia menjangkiti
pengemban ideologi Islam?
Proses
kemunduran kaum muslimin yang terjadi selama berabad-abad menjadikan Islam
adalah sesuatu dan kaum muslimin adalah sesuatu yang lain. Kaum muslimin terpisah
dari Islam seperti seorang anak kehilangan ibunya, tidak tahu arah dan tidak
punya teladan, sehingga mereka berpikir dengan cara orang lain berpikir. Bahkan
saat mereka berusaha lepas dari belenggu penjajahan, mereka mengambil pisau
dari tangan penjajah itu sendiri sebagai solusi. Sementara pengemban dakwah
adalah bagian dari mereka, berasal dari mereka, mengalami masa lalu yang persis
dengan mereka. Oleh karena itu bukanlah hal yang mudah bagi pengemban dakwah
untuk melepaskan diri selepas-lepasnya dari ide-ide asing tersebut. Dia harus
benar-benar mengkaji secara mendalam kemudian mengkontekstualisasikannya hingga
memahami mana karakter dakwah yang shahih dan mana yang batil.
Bila
kita bercermin dari fenomena keterjebakan aktivis dakwah sekuleris-pragmatis, dakwah
mereka adalah dakwah yang menyadari kerusakan fakta yang ada dalam kehidupan
umat, menyadari pula kewajiban untuk merubahnya, tetapi dakwahnya langsung
berpindah kepada langkah aksi tanpa terlebih dahulu memikirkan hakikat
permasalahan yang tengah menimpa masyarakat. Langkah aksi itu dilakukan tanpa
memikirkan konsep yang akan dijadikan asas dalam membangkitkan. Akhirnya
gerakan itu akan melakukan aksi-aksi tanpa perencanaan dan berputar-putar
disitu-situ saja tanpa dikaji lebih dahulu bahkan seringkali tanpa sasaran sama
sekali.
Misalnya suatu organisasi dibentuk untuk
membangkitkan Islam. Namun tujuan itu dibuat tidak dengan metode yang jelas
untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan. Maka virus Pragmatisme mudah sekali
menjangkiti aktivis dakwah dalam organisasi ini. Sehingga tujuan untuk
membangkitkan Islam ini sering berhenti jika organisasi ini berhasil membangun
sekolah, rumah sakit, dll. Dibangunnya sekolah, rumah sakit, dll itu dianggap
telah berhasil membangkitkan Islam, padahal rumah sakit, sekolah, dll yang
dibuat tersebut tetap harus mematuhi peraturan pemerintah yang tidak berasas Islam.
Akibatnya institusi-institusi yang dibangun tadi sama sekali tidak mencerminkan
kebangkitan Islam, Islam hanya menjadi simbol semata, sementara sistem yang
dijalankan tetap harus tunduk di bawah pemerintahan yang tidak berlandaskan
Islam.
Sehingga ketika aktivis dakwah masuk ke dalam pemerintahan maka aktivis
dakwah itu akan menjalankan sistem kufur. Fungsi yang haram, seperti pembuatan
hukum yang terjadi di legislatif dianggap sebagai jalan perjuangan, padahal
hukum yang dibuat tidak berlandaskan Al-Qur’an & As-Sunnah tapi
berlandaskan undang-undang buatan manusia. Aktivis dakwah ini puas dan merasa
berhasil ketika berhasil melegislasi hukum yang ‘sedikit’ islami. Padahal
melegislasi hukum seperti ini justru mengaburkan pemahaman umat, umat merasa
puas dengan kondisi seperti ini sehingga kebaikan yang sedikit pada UU yang
dilegislasi itu hanya akan mengokohkan sistem kufur yang berjalan, karena umat
akan menyangka sistem ini bagus dan masih layak dipertahankan. Itu sekelumit
realita ekstrim yang menimpa organisasi yang memang melandaskan dakwahnya pada
metode sekuler.
Lalu bagaimana dengan jama’ah dakwah
ideologis? Selamatkah ia dari racun Pragmatisme? Sudahkah ia mencapai
kegemilangan gerak sehingga menghantarkan umat pada kebangkitan hakiki?
Saya ingin
sekedar mengajak ukhtifillah rohimakumullah untuk
mencermati kembali apa yang pernah kita kaji dalam kitab at-Takattul al-Hizbiy, bahwa
penyebab gagalnya gerakan kebangkitan ditinjau dari aspek keorganisasian dapat
dikembalikan pada 4 hal:
1. Gerakan
yang berdiri di atas dasar fikrah yang kabur.
2. Gerakan
yang tidak mengetahui thariqah yang jelas.
3. Gerakan
yang bertumpu pada orang-orang yang belum sepenuhnya mempunyai kesadaran yang
benar, belum mempunyai niat dan irodah yang shohih, bahkan hanya berbekal keinginan dan semangat
belaka (maknawiyah).
4. Gerakan
yang tidak mempunyai robithoh yang benar di tengah orang-orangnya.
Pragmatisme dalam tubuh Hizbun
mabda’iy dapat muncul dari orang-orang yang kesadarannya
belum jernih terkait fikrah, thariqah, dan robithoh Hizb, mereka yang belum memahami ketiganya secara
komprehensif dan belum mampu mengkontekstualisasikannya
secara sempurna.
MEMBUANG
RACUN PRAGMATISME
Upaya mengembalikan ideologi Islam ke tengah-tengah umat mustahil
akan terealisasi jika dalam tubuh kutlah bercampur
pemikiran dua ideologi, Islam dan Kapitalisme. Ibarat menuangkan air bersih ke
dalam bejana berkarat, ketika air itu diminum oleh seseorang, justru ia akan
terkena racun karat tersebut.
Pengemban mabda’ Kapitalisme bangkit (meski dengan kebangkitan
yang batil) dengan mengambil Pragmatisme secara totalitas, karena memang itulah
bagian dari fikrahnya. Namun apa jadinya jika pengemban mabda’ Islam mencuil Pragmatisme
yang jelas-jelas bukan bagian dari fikrahnya? Mustahil ia akan bangkit, apalagi
membangkitkan umat. Yang ada justru ia akan semakin terpuruk dan terjerembab
dalam jurang kegamangan. Dampak lebih jauh lagi, orang-orang semacam itu akan
mengancam eksistensi Hizbun mabda’iy,
mengotori perjuangannya, dan menghambat tercapainya tujuan Hizb.
Dalam nasyrah Dukhul Mujtama’ disebutkan
bahwa setiap kesalahan Hizbiyyin
--meskipun tidak disengaja-- dalam usaha (mengeluarkan pendapat-pen) untuk
melaksanakan semua jenis pemikiran, baik menyangkut fikrah, thariqah, ataupun
uslub yang dipilih dan ditentukannya, dapat dianggap sebagai kesalahan yang
berbahaya. Apabila dilakukan dengan sengaja dan terus menerus, maka dapat
dianggap sebagai bentuk penyelewengan yang disengaja. Pada marhalah tafaul, Hizb
akan dihadapkan kepada penyimpangan terhadap pandangan-pandangannya, dan
banyaknya usulan serta nasehat yang berasal dari syabab maupun masyarakat,
terutama ketika Hizb berdiri lama di depan pintu masyarakat, dan tidak kunjung
berhasil memasukinya dengan mudah dan cepat. Kadang-kadang realitas parpol
sekuler dijadikan bukti bagaimana partai-partai tersebut mampu masuk dan
mengambil kendali langsung mengalahkan Hizb. Adakalanya faktor yang memacu
semuanya itu adalah keikhlasan syabab kepada Hizb, dan ada juga sebagian yang
didorong oleh desakan kuat dari luar Hizb yang telah mempengaruhi banyak
kalangan. Oleh karena itu akan muncul banyak usulan seputar uslub supaya
diganti dengan sarana yang lebih kuat dan lebih diperlukan, tanpa memperhatikan
lagi apakah uslub itu bertentangan atau tidak dengan pemikiran yang dipilih dan
ditentukan oleh Hizb.
Menyikapi kemungkinan-kemungkinan tersebut, Hizb sebagai parpol
Islam ideologis telah mengadopsi seperangkat metode perjuangan yang dihasilkan
dari irtifa’ul fikri seorang mujtahid
muthlaq. Hizb sangat memahami bahwa
bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang kehidupan. Jika
pemahaman ini diimplementasikan dalam konteks kebangkitan masyarakat, maka
sebagaimana yang tertulis dalam kitab Mafahim
Hizbut Tahrir, titik sentral dakwah tergantung dari kesiapan masyarakatnya.
Tempat dimana dakwah belum berhasil mengubah masyarakat dan belum menunjukkan
suasana dakwah yang kondusif, tidak cocok dijadikan sebagai titik sentral,
walaupun disana terdapat pengemban mabda’ Islam dalam jumlah yang banyak.
Sedangkan tempat yang telah menerima fikrah dan thariqah mabda’ ini, serta
kondisi masyarakatnya kondusif, juga fikrah dan thariqah tadi telah mendominasi
lingkungan tsb, maka tempat itu cocok sebagai titik sentral, tanpa
memperhatikan lagi jumlah pengemban mabda’ Islam di dalamnya. Dengan kata lain,
pengemban dakwah akan mampu membangkitkan umat ketika Islam telah menjadi ro’yul ‘am di majal tsb, pemikiran dan
perasaan umat telah mengerucut pada Islam, kesadaran politik umat telah menjadi
Islam, tidak selalu dengan banyaknya agen. Terbukti seorang Mush’ab bin Umair
menjadi pelopor terwujudnya opini Islam di Madinah, tentunya dengan memegang
simpul-simpul umat.
Karena itu, para pengemban mabda’ tidak boleh mengukur
keberhasilan dakwahnya dengan jumlah pengikutnya. Ukuran seperti ini jelas
salah dan membahayakan dakwah karena akan mengalihkan perhatian para pengemban
dakwah dari masyarakat ke individu-individu. Keadaan ini bisa mengakibatkan
kelambanan, bahkan bisa mengakibatkan kegagalan dakwah di tempat itu.
Rahasianya mengapa hal ini bisa terjadi, karena masyarakat itu tidak tersusun
dari individu-individu saja. Individu adalah bagian dari kelompok masyarakat,
sedangkan yang mempersatukan individu-individu dalam suatu kelompok masyarakat
adalah faktor-faktor lain, yaitu berupa pemikiran, perasaan, dan aturan. Oleh
karenanya, dakwah harus ditujukan untuk meluruskan pemikiran, perasaan, dan
aturan hidup.
Usaha memperbaiki individu dilakukan tidak lain untuk menjadikan
mereka bagian dari kutlah dakwah, agents
of change yang akan mengemban dakwah di masyarakat, bukan memperbaiki
individu itu sendiri. Seringkali terjadi di tengah para pengemban dakwah, mereka belum mampu mengimplementasikan robithoh mabda’ dengan sempurna.
Di antara mereka masih memilih-milih teman, mengikat satu sama lain dengan
ikatan yang tidak berdasar pemikiran (entah kepentingan, golongan, maupun
spiritual/perasaan). Bahayanya, ketika membina mad’u, mereka menjalin kedekatan
secara perasaan belaka, merasa puas jika mad’u sudah bisa “cair”, melebur
secara fisik, bercanda tawa, bisa mereview materi ngaji di tengah-tengah
perbincangan, sudah berjilbab, banyak berinteraksi, dan ukuran-ukuran inderawi
lainnya. Merekapun akhirnya mengukur kebenaran/integritas seseorang dari
kepandaian komunikasinya, analisis politisnya, pengalaman-pengalamannya,
figurnya, dsb, bukan keterikatannya pada hukum syara’.
Dampak lebih buruknya
lagi, pragmatisme ini akan menjebak mereka pada dzan-dzan yang sama sekali tidak berdasar. Cepat menjustifikasi
sesuatu sesuai dengan rekaman-rekaman di benaknya, bahkan sering terjerembab
pada labelling terhadap
individu-individu tertentu tanpa terlebih dahulu menelaah, meng-cross check kebenarannya. Pengemban dakwah juga
seringkali khawatir aktivitasnya dinilai oleh orang lain begini dan begitu,
khawatir akan disalahkan, khawatir nampak kekurangannya, dan
kekhawatiran-kekhawatiran yang lain yang bermuara pada ketakutan akan pandangan
makhluk. Sehingga tak jarang ia berusaha mendistorsi kebenaran, membohongi
dirinya sendiri, ingin selalu tampak tiada cacat dihadapan orang lain,
menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi, menutupinya dengan aksi-aksi
praktis agar tidak diketahui orang lain. Ketika ada fenomena tertentu, dia
terjebak dengan pertanyaan “siapa” pelakunya, “siapa” orang itu, “siapa” yang
berhasil melakukan ini dan menghasilkan itu, bukan fokus kepada apa
permasalahnnya, apa yang melandasi seseorang melakukan ini.
Hal tersebut
menyeret dirinya pada asumsi-asumsi tak berdasar, yang membuatnya tidak mampu
berempati kepada orang lain, hanya menuntut orang lain dengan target-target
tinggi, menstandarkan sesuatu pada dirinya atau fakta empiris yang pernah
dilalui, “aku saja bisa, kok kamu ga’ bisa sih”, atau justru memaklumi dirinya,
“wajar aku begini, ga’ bisa seperti kamu, kan memang kita punya track record/masa lalu yang jauh
berbeda, please jangan tuntut aku
macem-macem”, atau berpikir ilmiah, “jika aku menjadi dosen, pasti dakwah ini
berkembang”, “jika aku banyak ma’lumat tentang kultur mahasiswa pertanian,
pasti dakwah di pertanian akan berkembang, dan sebaliknya”, padahal tidak
demikian. Sampai-sampai, karena lebih percaya pada apa-apa yang diinderanya,
mereka lupa dengan kekuatan Dzat Yang
tidak terindera. Tentu
ini sangat berbahaya bagi dakwah itu sendiri. Pragmatisme yang tidak disadari
ini akan mengantarkan kita pada bahaya thobaqot (bahaya kelas), bahaya ideologis, penyakit hati,
mengancam kesatuan jamaah dan tentunya menjerumuskan pengemban dakwah pada
sekulerisme itu sendiri, yang pada akhirnya menjauhkan dakwah dari keberkahan
dan nashrulloh.
Karenanya maka, penting bagi pengemban dakwah, menjaga kemurnian (shofiyah), kejernihan (naqiyah) dan mengkristalnya (mubalwarah) fikroh Islam serta mempunyai tsawabit (prinsip), maka menjaga jama'ah dakwah harus dengan menjaga tsawabit-nya. Sebagai individu, kita harus
senantiasa muhasabah diri, mengevaluasi standar khoir-syar & hasan-qobih,
fokus pada penegakan qoidah dan qiyadah fikriyah,
menjadikan
ideologi Islam SAJA sebagai sesuatu hal yang wajib ditegakkan tanpa
penyimpangan, dan tidak terjebak pada hal-hal lain di luar itu yang bisa
memecah-belah jamaah. Kita juga harus proporsional dan tepat
menempatkan “analisa politik” pada obyek eksternal kaum muslimin (musuh
Islam)
SAJA.
MERAIH
KESADARAN POLITIK ISLAM SEUTUHNYA
Dalam kitab Mafahim
Siyasiyah li Hizbit Tahrir dijelaskan bahwa kesadaran politik (al-wa’yu as-siyasiy) bukan berarti kesadaran akan situasi-situasi politik, konstelasi
internasional, peristiwa-peristiwa politik, mengikuti politik internasional,
atau mengikuti aktivitas-aktivitas politik. Itu semua adalah hal-hal yang
melengkapi kesempurnaannya saja. Kesadaran politik tidak lain adalah
pandangan terhadap dunia dengan sudut pandang khusus. Bagi kita (kaum
Muslim) sudut pandang itu adalah aqidah Islam, yaitu sudut pandang Laa ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Inilah
kesadaran politik. Maka, memandang dunia tanpa sudut pandang khusus dianggap
pandangan yang dangkal dan bukan kesadaran politik. Memandang dunia hanxa pada
wilayah lokal atau regional saja adalah sesuatu yang kualitasnya rendah dan
bukan kesadaran politik. Kesadaran politik tidak akan sempurna kecuali dengan
terpenuhinya dua unsur, yakni adanya pandangan pada dunia secara keseluruhan,
dan pandangan ini bertolak dari sudut pandang khusus yang jelas batasannya,
apapun sudut pandangnya, bisa berupa ideologi tertentu, pemikiran tertentu,
kepentingan tertentu, atau yang lainnya.
Orang
memiliki kesadaran politik akan mewajibkan dirinya untuk terjun dalam
perjuangan melawan semua orientasi (arah pandang) yang bertentangan dengan
orientasinya, dan melawan semua pemahaman yang bertentangan dengan pemahamannya.
Pada waktu yang sama, dia terjun dalam perjuangan tersebut untuk memperkokoh
pemahamannya dan menanamkan orientasinya. Dia berjalan dengan dua arah pada
saat yang sama, yang tidak terpisah satu dengan lainnya dalam perjuangan, walau
seutas rambut pun, karena keduanya adalah satu hal yang sama. Dia meruntuhkan
dan juga menegakkan, menghancurkan dan juga membangun, memupuskan kegelapan dan
juga menyalakan cahaya. Dia bagaikan “api yang membakar kerusakan, dan cahaya yang
menerangi jalan petunjuk”. Dia juga akan terjun dalam upaya mengokohkan
pemahaman, menanamkan orientasi, menerapkan pemikiran atas fakta, tidak
melepaskan suatu peristiwa politik dari konteks situasi dan kondisinya, dan
tidak pula menggunakan logika untuk menggeneralisir berbagai peristiwa politik.
Demikian
pula dia akan terjun dalam perjuangan melawan semua orientasi yang lain,
melawan semua kritikan yang menyerang pemahamannya tentang kehidupan, dan
melawan semua pemahaman yang sudah mengakar yang muncul pada masa-masa
kemunduran. Dia juga akan melawan pengaruh menyesatkan yang disebarkan oleh
para musuhnya baik tentang pemikiran maupun tentang fakta, serta melawan
pembatasan tujuan-tujuan yang tinggi dan target-target yang jauh dengan tujuan-tujuan
parsial dan target-target kekinian.
Jadi, dia
berjuang dalam dua front, yaitu internal
(kontekstualisasi & integritas diri) dan eksternal (siyasiy); berjuang dengan dua arah, yaitu menghancurkan dan membangun;
serta beraktivitas dalam dua bidang, yaitu politik dan pemikiran. Ringkasnya,
dia terjun dalam kancah kehidupan pada medan yang paling luhur dan paling
tinggi.
Maka dari
itu, adalah suatu kepastian bahwa orang yang memiliki kesadaran politik akan
berbenturan dengan berbagai problem pada saat dia bersinggungan dengan fakta,
manusia, dan juga problem-problem kehidupan. Tidak ada bedanya antara wilayah
regional internal dengan wilayah dunia internasional. Dalam benturan ini akan
terlihat kekuatan yang akan menjadikan risalah yang diembannya dan sudut
pandang khusus yang digunakannya untuk memandang dunia —sesuai pemahaman yang
dia adopsi— sebagai asas dan juga pemutus. Inilah tujuan yang hendak dia capai
dan target yang hendak dia wujudkan dengan sungguh-sungguh.
Hanya
saja, karena dia berpegang teguh dengan sudut pandang yang khusus, juga karena
adanya perasaan dan kecenderungan tertentu terhadap sudut pandang itu, baik kecenderungan
itu muncul secara alamiah maupun ideologis, maka dikhawatirkan –jika dia tidak
menyadari— dia akan memberi warna atas realitas dengan warna yang dia inginkan,
akan menafsirkan pemikiran sesuai dengan yang dia kehendaki, atau akan memahami
berita sesuai dengan kesimpulan yang ingin dia peroleh. Karenanya, dia wajib
berhati-hati dari dominasi kecenderungannya terhadap berbagai pendapat dan
berita. Sebab, kecintaan dirinya pada sesuatu, atau pada sebuah partai, atau
pada sebuah ideologi, mungkin saja mengakibatkan dia menafsirkan suatu pendapat
sebagai benar padahal dusta, atau mengkhayalkannya sebagai dusta padahal benar.
Karena itu, seseorang yang berkesadaran politik harus mempunyai kejelasan akan
perkataan yang dia ucapkan atau aktivitas yang dia lakukan.
Adapun yang berkaitan dengan fakta, baik berupa benda-benda maupun
kejadian-kejadian, dia harus memahaminya secara inderawi dan menginderanya
secara logis, namun harus tetap objektif sebagaimana adanya, bukan sebagaimana
yang dia kehendaki. Adapun yang berkaitan dengan pemikiran, dia harus memahaminya
secara objektif lalu memindahkan dari benaknya ke luar benak dan melihat dengan
mata hatinya fakta yang dia gambarkan mengenai pemikiran itu, lalu memahami
pemikiran itu sesuai dengan pandangannya terhadap fakta yang ditunjukkan pemikiran,
secara objektif sesuai dengan apa yang ada, bukan sesuai dengan apa yang
dikehendakinya.
Memang
benar terkadang suatu ungkapan bisa berupa ungkapan metaforis (majas), alegoris
(perumpamaan), atau sindiran (kinayah). Suatu ungkapan kadang berupa sebuah kalimat
yang maknanya terdapat dalam kalimat itu, bukan terdapat dalam kata-kata yang
menyusunnya. Namun semua itu tidak menghalanginya untuk memindahkan ungkapan
itu ke luar benak, dan melihat fakta yang ditunjukkan oleh ungkapan itu sesuai
dengan makna bahasa dan apa yang dikatakan oleh ahli bahasa tentang maknanya. Maka,
orang yang berkesadaran politik harus tetap berpegang pada kebenaran (fakta,
sesuatu yang benar-benar terjadi), akan tetapi sesuai dengan cara pandang yang
dia ambil dengan pasti dan yakin. Maksudnya, orang yang berkesadaran politik
bukan berarti menafikan fakta/ma’lumat
sabiqoh, namun memposisikan fakta itu sebagai objek yang harus dihukumi,
tidak diambil sebagai sumber kebenaran. Dia melihat fakta secara objektif,
tetapi sesuai dengan pandangannya yang bersifat inderawi maupun pemikiran.
Dengan demikian sempurnalah kesadarannya karena telah terpenuhi dalam dirinya sarana-sarana
untuk menelaah segala sesuatu. Hanya saja, asas bagi segala sesuatu yang ada
pada dirinya baik pandangan, pemahaman, penginderaan, maupun pengertian, harus
tetap merupakan pandangan pada dunia dengan sudut pandang khusus.
Walhasil, seorang pengemban dakwah yang
memiliki kesadaran politik Islam yang utuh tidak mungkin akan terjebak
Pragmatisme dengan segala bentuknya. Ia tidak akan menjadikan empiri
(pengalaman) dan yurisprudensi
(aturan-aturan terdahulu) sebagai standar penentu keberhasilan; tidak akan mudah menilai sesuatu dari apa
yang diinderanya tanpa menelaahnya terlebih dahulu dan abai terhadap klarifikasi (tabayyun); tidak cepat puas dengan
pencapaian-pencapaian kuantitatif jangka pendek yang abai pada proses.
Sebaliknya, ia akan berangkat dengan sebuah penyandaran diri sepenuhnya kepada
Allah, berpikir jangka panjang terkait apa-apa yang menguatkan dakwah sehingga
memiliki respon cepat terhadap peluang emas dalam dakwah. Ia meletakkan dunia
tidak dalam hatinya, tetapi dalam genggaman tangannya. Ketundukan ia sepenuhnya
adalah kepada syara’, bukan pada ilmunya, bukan pada akalnya, dan bukan kepada personal/profil ataupun jamaah dakwah secara
serta merta tanpa kesadaran iman dan kesadaran tanggungjawab sistem. Sadar diri, sadar posisi, sadar kondisi. Sehingga kita
tidaj tergolong orang-orang yang menebar racun pragmatisme yang justru
menghadang reideologisasi Islam, menghambat turunnya nashrullah. Na’udzubillahi
min dzalik.
Muslim
tidak meyakini apa yang mereka lihat, namun mereka melihat apa yang telah
mereka yakini (Muhammad al-Fatih). Wallahu
a’lam bish-shawab.
Sumber Pemikiran:
· Al-Qur’an
Al-Kariim
· Nidzomul
Islam
· At-Takattul
al-Hizbiy
· Mafahim
Hizbut Tahrir
|
· Mafahim
Siyasiyah li Hizbit Tahrir
· Dukhul
Mujtama’
· Al-Wa’ie
edisi Desember 2011
· Muhammad
Al-Fatih 1453
|
1 komentar:
ANNAS9 Juni 2012 01:25
Hari
ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir
sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah
sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di
Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara
Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam
memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita
melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas
dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu