Rabu, 18 Juli 2012

~* Keutamaan Sholat Tarawih Pada Bulan Romadhon Dari Malam Pertama Hingga Malam Terakhir *~





 
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ





اَلْحَمْدُلِلّهِ  , malam pertama ibadah sunnah Sholat
Tarawih akan segera dilaksanakan dengan penuh harapan akan ikhlas-Nya
pada hamba-Nya ini. Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang, semoga Allah meridhoi dan
mengikhlaskan ku, mengampuni segala dosa-dosaku, yang sadar
sengaja, maupun tidak sengaja. Dan memudahkan segala niat
(baik) serta segala urusan ku di dunia. Semoga tahun ini menjadi
tahun terakhirku berpuasa "sendiri" (dan semoga tahun depan
dan tahun-tahun berikutnya aku telah dikaruniakan oleh Allah
seorang istri yang sholehah serta baik jiwa raganya dan budi
pekertinya untuk mendampingi ku hingga akhir hayat, serta menjadi
pembaik kehidupan ku (bidadari ku di dunia dan akhirat), Amin Allahumma Amin.

Saat waktu berjalan seakan lambat dan penuh kelengangan, aku
sempatkan untuk membaca selembar "kertas fotocopy an"
yang berisikan "FADHILAT dan KEUTAMAAN SHOLAT
TARAWIH ", kemudian aku cari data pendukung melalui browsing
di "Mbah Google", walhasil aku mendapatkan beberapa referensi
yang Insya'Allah bermanfaat bagi
kita (kaum muslim) semua. Amin. Sayyidina Ali Bin Thalib r.a. meriwayatkan sebuah hadist Rosullullah sebagai jawaban dari pertanyaan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW tentang
kelebihan Sholat Tarawih pada bulan Romadhon.






 1. Orang mukmin (yang beriman) keluar dari (diampuni) dosanya
pada malam pertama, seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.

2. Pada malam kedua, ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika
keduanya mukmin.

3. Pada malam ketiga, seorang malaikat berseru dibawah ‘Arsy: “Mulailah beramal, meneruskan
sholatnya pada malam-malam yang lain, semoga Allah
mengampuni dosamu yang telah lewat.”

 4. Pada malam keempat, dia memperoleh pahala seperti pahala
membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan (Al-Quran)

 5. Pada malam kelima, Allah Ta’ala memeberikan pahala seperti
pahala orang yang shalat di Masjidil Haram, masjid Madinah
dan Masjidil Aqsha.





6. Pada malam keenam, Allah Ta’ala memberikan pahala para Malaikat dan orang yang
berthawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap
batu dan cadas serta tanah kepada setiap orang yang sholat dimalam tarawih ini.

7. Pada malam ketujuh, seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa a.s.
dan kemenangannya atas Fir’aun dan Hamman.

8. Pada malam kedelapan, Allah Ta’ala memberinya apa yang
pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahin as

 9. Pada malam kesembilan, seolah-olah ia beribadat kepada
Allah Ta’ala sebagaimana mutu ibadatnya Nabi Muhammad SAW.

10. Pada malam kesepuluh, Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan
dunia dan akhirat.





11. Pada malam kesebelas, ia keluar dari dunia seperti saat ia
dilahirkan dari perut ibunya.

1 2. Pada malam kedua belas, ia datang (dibangkitkan) pada hari
kiamat dengan wajahnya (bercahaya) bagaikan bulan di malam purnama.

1 3. Pada malam ketiga belas, ia datang (dibangkitkan) pada hari
kiamat dalam keadaan aman dari segala kejahatan serta keburukan.

14. Pada malam keempat belas, para malaikat akan datang seraya memberi kesaksian untuknya,
bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.

5.Pada malam kelima belas, ia didoakan oleh para malaikat dan
para penanggung (pemikul) Arsy dan Kursi.

16. Pada malam keenam belas, Allah menuliskan/menerapkan
baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk
ke dalam surga.

17. Pada malam ketujuh belas, ia diberi pahala seperti pahala para
nabi.

18. Pada malam kedelapan belas, seorang malaikat berseru, “Wahai
hamba Allah, sesungguhnya Allah telah ridho kepadamu dan kepada
ibu bapakmu (baik yang masih hidup, maupun yang telah wafat).”

1 9. Pada malam kesembilan belas, Allah mengangkat derajat-
derajatnya dalam surga Firdaus.

20. Pada malam kedua puluh, Allah memberi/mengkaruniakan pahala
para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-
orang yang saleh).

21. Pada malam kedua puluh satu, Allah membangun untuknya
sebuah gedung/mahligai dari (Nur)
cahaya.

2. Pada malam kedua puluh dua, ia datang pada hari kiamat dalam
keadaan aman dari setiap kesedihan (duka-cita) dan
kesusahan serta kerisauan (di Padang Mashyar).

23. Pada malam kedua puluh tiga, Allah membangun untuknya
sebuah kota di dalam surga yang terbuat dari (Nur) cahaya.

2 4. Pada malam kedua puluh empat, ia memperoleh duapuluh empat doa yang (mustajab)
dikabulkan (diutamakan dikerjakan ketika sujud).

25. Pada malam kedua puluh lima, Allah Ta’ala menghapuskan
darinya azab (siksa) kubur.

2 6. Pada malam kedua puluh enam, Allah mengangkat/ mengkaruniakan pahalanya
selama empat puluh tahun ibadah.

 27. Pada malam kedua puluh tujuh, Allah akan memudahkan ia
melewati shirath (Shirothol- Mustaqim) pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.

28. Pada malam kedua puluh delapan, Allah mengangkat baginya seribu derajat di akhirat
(dalam surga).

29. Pada malam kedua puluh sembilan, Allah memberinya/ mengkaruniai pahala seribu haji
yang (mabrur) diterima.

30. Dan pada malam ketiga puluh, Allah ber firman : “Wahai hamba Ku, makanlah buah-buahan (surga)
yang engkau inginkan, mandilah dari air sungai Salsabila dan
minumlah dari telaga Al-Kautsar yang dikaruniakan kepada Nabi Muhammad SAW. Akulah
Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.”
           
                                   ..............*...........

 
Akhirnya, semoga amal ibadah  kita diterima dan kita mendapatkan pangkat dan derajat
dari Allah sebagai seorang yang  bertaqwa. WALLAHU_A'LAM *****




Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang
yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at.
 Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat
tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini
adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1] Adapun shalat tarawih tidak
disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya
khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan
dilakukan di malam mana saja.[2] Para ulama sepakat bahwa shalat
tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut
ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih
adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan
bagi laki-laki dan perempuan.

Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.[3] Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama
Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama
Malikiyah berpendapat bahwa lebih afdhol shalat tarawih
dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus
melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak
sehingga serupa dengan shalat‘ied.[4]

Keutamaan Shalat Tarawih
Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

 َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ َﻡﺎَﻗ ْﻦَﻣ ﺎًﻧﺎَﻤﻳِﺇ َﺮِﻔُﻏ ﺎًﺑﺎَﺴِﺘْﺣﺍَﻭ ْﻦِﻣ َﻡَّﺪَﻘَﺗ ﺎَﻣ ُﻪَﻟ ِﻪِﺒْﻧَﺫ

 “Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-
dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan
Muslim no. 759).
 Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang
dituturkan oleh An Nawawi.[5]

Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan
dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang
dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena
riya’ atau alasan lainnya.[6] Yang dimaksud “pengampunan
dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa
kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh
Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang
dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa
kecil.[7] Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam
penuh. Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengumpulkan keluarga dan para
sahabatnya. Lalu beliau bersabda,

 َﻊَﻣ َﻡﺎَﻗ ْﻦَﻣ ُﻪَّﻧِﺇ ﻰَّﺘَﺣ ِﻡﺎَﻣِﻹﺍ ُﻪَﻟ َﺐِﺘُﻛ َﻑِﺮَﺼْﻨَﻳ ًﺔَﻠْﻴَﻟ ُﻡﺎَﻴِﻗ

 “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis
untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8]

 Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum
muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan
mengikuti imam hingga selesai.

Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat. Ulama-ulama Hanabilah (madzhab
Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah
adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah.
Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu.
Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat
yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat
yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat
kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih.[9] Shalat Tarawih Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam Dari Abu Salamah bin
‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Bagaimana shalat malam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”.
‘Aisyah mengatakan,

 ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻣ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ – ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﺪﻳِﺰَﻳ – ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻰِﻓ َﻻَﻭ َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ ﻰِﻓ ﻯَﺪْﺣِﺇ ﻰَﻠَﻋ ِﻩِﺮْﻴَﻏ ًﺔَﻌْﻛَﺭ َﺓَﺮْﺸَﻋ 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah
jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula
dalam shalat lainnya lebih dari 11
raka’at.”[10]

 ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
mengabarkan,

 – ِﻪَّﻠﻟﺍ َﻝﻮُﺳَﺭ َّﻥَﺃ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ َﺕﺍَﺫ َﺝَﺮَﺧ – ﻢﻠﺳﻭ ِﻑْﻮَﺟ ْﻦِﻣ ٍﺔَﻠْﻴَﻟ ﻰِﻓ ﻰَّﻠَﺼَﻓ ، ِﻞْﻴَّﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺼَﻓ ، ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ِﻪِﺗَﻼَﺼِﺑ ٌﻝﺎَﺟِﺭ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﺢَﺒْﺻَﺄَﻓ ، ﺍﻮُﺛَّﺪَﺤَﺘَﻓ ُﺮَﺜْﻛَﺃ َﻊَﻤَﺘْﺟﺎَﻓ ﺍْﻮَّﻠَﺼَﻓ ْﻢُﻬْﻨِﻣ َﺢَﺒْﺻَﺄَﻓ ، ُﻪَﻌَﻣ ﺍﻮُﺛَّﺪَﺤَﺘَﻓ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﻞْﻫَﺃ َﺮُﺜَﻜَﻓ َﻦِﻣ ِﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ ِﺔَﻠْﻴَّﻠﻟﺍ َﺝَﺮَﺨَﻓ ، ِﺔَﺜِﻟﺎَّﺜﻟﺍ ﻰﻠﺻ – ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ – ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ، ِﻪِﺗَﻼَﺼِﺑ ﺍْﻮَّﻠَﺼَﻓ ِﺖَﻧﺎَﻛ ﺎَّﻤَﻠَﻓ ُﺔَﻌِﺑﺍَّﺮﻟﺍ ُﺔَﻠْﻴَّﻠﻟﺍ ْﻦَﻋ ُﺪِﺠْﺴَﻤْﻟﺍ َﺰَﺠَﻋ َﺝَﺮَﺧ ﻰَّﺘَﺣ ِﻪِﻠْﻫَﺃ
، ِﺢْﺒُّﺼﻟﺍ ِﺓَﻼَﺼِﻟ َﺮْﺠَﻔْﻟﺍ ﻰَﻀَﻗ ﺎَّﻤَﻠَﻓ ﻰَﻠَﻋ َﻞَﺒْﻗَﺃ َﺪَّﻬَﺸَﺘَﻓ ، ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﺪْﻌَﺑ ﺎَّﻣَﺃ » َﻝﺎَﻗ َّﻢُﺛ َّﻰَﻠَﻋ َﻒْﺨَﻳ ْﻢَﻟ ُﻪَّﻧِﺈَﻓ ﻰِّﻨِﻜَﻟ ، ْﻢُﻜُﻧﺎَﻜَﻣ َﺽَﺮْﻔُﺗ ْﻥَﺃ ُﺖﻴِﺸَﺧ ﺍﻭُﺰِﺠْﻌَﺘَﻓ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ﺎَﻬْﻨَﻋ » 

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di
tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid,
orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang
membicarakan kejadian tersebut.
Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul
bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali
membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang
ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak
lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk
shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam
yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga
akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau
selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak
membaca syahadat lalu bersabda:
 
“Amma ba’du, sesungguhnya aku
bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku
takut shalat tersebut akan
diwajibkan atas kalian, sementara
kalian tidak mampu.”[11]

 As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan
juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di
bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah
raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan
bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh
beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak
disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada
malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang
tidak menyangka bahwa shalat
tarawih adalah wajib.” [12]


Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu
hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang
mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melaksanakan shalat (tarawih) 20
raka’at”, ini adalah hadits yang
sangat-sangat lemah.”[13] Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah
witir, sanad hadits itu adalah dho’if.
 
Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari
11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih
mengetahui seluk-beluk kehidupan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada waktu malam
daripada yang lainnya. Wallahu
a’lam.”[14]
 Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
yang Dianjurkan Jumlah raka’at shalat tarawih yang
dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang
dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Juga terdapat riwayat dari Ibnu
‘Abbas, beliau berkata, –

 ِّﻰِﺒَّﻨﻟﺍ ُﺓَﻼَﺻ َﻥﺎَﻛ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ َﺓَﺮْﺸَﻋ َﺙَﻼَﺛ – ﻢﻠﺳﻭ ﻰِﻨْﻌَﻳ . ًﺔَﻌْﻛَﺭ ِﻞْﻴَّﻠﻟﺎِﺑ 

“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13
raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan
Muslim no. 764). 

Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam
yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at.
Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka
melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari[15]. Di antara dalilnya
adalah ‘Aisyah mengatakan, -

 ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻥﺎَﻛ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ َﻦِﻣ َﻡﺎَﻗ ﺍَﺫِﺇ -ﻢﻠﺳﻭ َﻰِّﻠَﺼُﻴِﻟ ِﻞْﻴَّﻠﻟﺍ ُﻪَﺗَﻼَﺻ َﺢَﺘَﺘْﻓﺍ ِﻦْﻴَﺘَﻌْﻛَﺮِﺑ ِﻦْﻴَﺘَﻔﻴِﻔَﺧ.

 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan
shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan
shalat dua rak’at yang ringan.”[16]

Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat
malam, dibuka dengan 2 raka’at
ringan terlebih dahulu. -Bersambung Insya'Allah- Sebenarnya dalam
permalasalahan jumlah raka'at shalat tarawih tidak ada masalah
sama sekali. Tidak ada masalah dengan 23 raka'at atau 11 raka'at.
 
Semoga kita bisa semakin tercerahkan dengan tulisan
berikut. Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Dari Abu Salamah bin
‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Bagaimana shalat malam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”.
‘Aisyah mengatakan,

 ُﻝﻮُﺳَﺭ َﻥﺎَﻛ ﺎَﻣ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ - ِﻪَّﻠﻟﺍ ُﺪﻳِﺰَﻳ - ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻰِﻓ َﻻَﻭ َﻥﺎَﻀَﻣَﺭ ﻰِﻓ ﻯَﺪْﺣِﺇ ﻰَﻠَﻋ ِﻩِﺮْﻴَﻏ ًﺔَﻌْﻛَﺭ َﺓَﺮْﺸَﻋ

 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah
jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula
dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738) 

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama
kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun
berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami
terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar.
Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan
engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya
shalat tersebut menjadi wajib
bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu
Hibban dan Ibnu Khuzaimah.
Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)

As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan
juga hasan mengenai perintah
untuk melaksanakan qiyamul lail di
bulan Ramadhan dan ada pula

dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah
raka’at tertentu. Dan tidak ada
hadits shahih yang mengatakan
bahwa jumlah raka’at tarawih
yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh
beliau adalah beliau shalat
beberapa malam namun tidak
disebutkan batasan jumlah
raka’atnya. Kemudian beliau pada
malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang
tidak menyangka bahwa shalat
tarawih adalah wajib.” Ibnu Hajar Al Haitsamiy
mengatakan, “Tidak ada satu
hadits shahih pun yang
menjelaskan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang
mengatakan “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa
melaksanakan shalat (tarawih) 20
raka’at”, ini adalah hadits yang
sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al
Quwaitiyyah, 2/9635) 

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah
witir, sanad hadits itu adalah dho’if.

Hadits ‘Aisyah yang mengatakan
bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan
dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih
mengetahui seluk-beluk kehidupan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada waktu malam
daripada yang lainnya. Wallahu
a’lam.” (Fathul Bari, 6/295) Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
yang Dianjurkan Jumlah raka’at shalat tarawih yang
dianjurkan adalah tidak lebih dari
11 atau 13 raka’at. Inilah yang
dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat. ‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah menambah jumlah raka’at
dalam shalat malam di bulan
Ramadhan dan tidak pula dalam
shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan
Muslim no. 738)

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

 - ِّﻰِﺒَّﻨﻟﺍ ُﺓَﻼَﺻ َﻥﺎَﻛ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ َﺓَﺮْﺸَﻋ َﺙَﻼَﺛ - ﻢﻠﺳﻭ ﻰِﻨْﻌَﻳ . ًﺔَﻌْﻛَﺭ ِﻞْﻴَّﻠﻟﺎِﺑ 

“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” 
(HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). 

Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam
yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at.

Adapun dua raka’at lainnya adalah
dua raka’at ringan yang dikerjakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai pembuka
melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
(4/123, Asy Syamilah).

 Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11
Raka’at? Mayoritas ulama terdahulu dan
ulama belakangan, mengatakan
bahwa boleh menambah raka’at
dari yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,

 
“Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah
shalat nafilah (yang dianjurkan),
termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan
sedikit raka’at. Siapa yang mau
juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)

Yang membenarkan pendapat ini
adalah dalil-dalil berikut. 
Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 ﻰَﻨْﺜَﻣ ِﻞْﻴَّﻠﻟﺍ ُﺓَﻼَﺻ َﺖْﻔِﺧ ﺍَﺫِﺈَﻓ ﻰَﻨْﺜَﻣ ْﺮِﺗْﻭَﺄَﻓ َﺢْﺒُّﺼﻟﺍ ٍﺓَﺪِﺣﺍَﻮِﺑ 

“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir
masuk waktu shubuh, lakukanlah
shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 َﻚِﺴْﻔَﻧ ﻰَﻠَﻋ ﻰِّﻨِﻋَﺄَﻓ ِﺩﻮُﺠُّﺴﻟﺍ ِﺓَﺮْﺜَﻜِﺑ 

“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud
(shalat).” (HR. Muslim no. 489)

 Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 ِﻪَّﻠِﻟ ُﺪُﺠْﺴَﺗ َﻻ َﻚَّﻧِﺈَﻓ َﻚَﻌَﻓَﺭ َّﻻِﺇ ًﺓَﺪْﺠَﺳ ًﺔَﺟَﺭَﺩ ﺎَﻬِﺑ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﺎَﻬِﺑ َﻚْﻨَﻋ َّﻂَﺣَﻭ ًﺔَﺌﻴِﻄَﺧ 

“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan
meninggikan satu derajat bagimu
dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488) 

Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal: 
Keempat, Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih
shalat tarawih dengan 11 atau 13
raka’at ini bukanlah pengkhususan
dari tiga dalil di atas. Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

tidaklah mengkhususkan ucapan
beliau sendiri, sebagaimana hal ini
telah diketahui dalam ilmu ushul. Alasan kedua , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah

melarang menambah lebih dari 11
raka’at. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Shalat
malam di bulan Ramadhan tidaklah
dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan
tertentu. 
Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
beliau tidak menambah di bulan
Ramadhan atau bulan lainnya lebih
dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at

yang panjang. ... Barangsiapa yang
mengira bahwa shalat malam di
bulan Ramadhan memiliki bilangan
raka’at tertentu yang ditetapkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau

dikurangi dari jumlah raka’at yang
beliau lakukan, sungguh dia telah
keliru.” (Majmu’ Al Fatawa,
22/272) 

Alasan ketiga , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat
untuk melaksanakan shalat malam
dengan 11 raka’at. Seandainya hal
ini diperintahkan tentu saja beliau
akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11
raka’at, namun tidak ada satu
orang pun yang mengatakan
demikian. Oleh karena itu, tidaklah
tepat mengkhususkan dalil yang
bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul
telah diketahui bahwa dalil yang
bersifat umum tidaklah
dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada
pertentangan.

Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang
panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya,
‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama
menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu
 
Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia
dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20
raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun
ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at
yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi
makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al
Fatawa, 22/272)

 Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob
pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat
tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam.
Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam
shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika
mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al
Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416) 

Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih
sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan
bahwa ‘Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk
melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib
mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena
saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248.
Sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418)

 Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih Jadi, shalat tarawih 11 atau 13
raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan
jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat. Pendapat pertama, yang
membatasi hanya sebelas raka’at.
 
Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih. Pendapat kedua, shalat tarawih
adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al
Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya.
 
Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat. Al Kasaani mengatakan, “’Umar
mengumpulkan para sahabat  untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay
bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. 

Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau
kesepakatan para sahabat.” Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih
dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan
tabi’in.” Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah
yang dilakukan di timur dan barat.” ‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang
menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga
sekarang ini di berbagai negeri.” 

Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang
dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi
ijma’ atau kesepakatan sahabat.
Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, 2/9636)

 Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah
termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil
dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)

 Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal
ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam
sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam
Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan
tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh
‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)

 Kesimpulan dari pendapat- pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas
boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi
itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan
shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang
dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus
melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3
raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan
Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah
yang terbaik. Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-
raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih
utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at
adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang
sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam
dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak
dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah
menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama
lainnya.


Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam
di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka
sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272) 

Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim
bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini.
Sungguh tidak tepatlah kelakuan
sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan
shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti
imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di
rumah. Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya
dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat
besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik
imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala
shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama
imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu
malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al
Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).

 Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka. Yang Paling Bagus adalah
Yang Panjang Bacaannya Setelah penjelasan di atas, tidak
ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun
yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih
dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana
banyak dipilih oleh mayoritas ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

 ُﻝﻮُﻃ ِﺓَﻼَّﺼﻟﺍ ُﻞَﻀْﻓَﺃ ِﺕﻮُﻨُﻘْﻟﺍ

 “Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.”
 (HR. Muslim no. 756) 

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

 ﻰﻠﺻ- ِّﻰِﺒَّﻨﻟﺍ ِﻦَﻋ -ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻠﻟﺍ َﻰِّﻠَﺼُﻳ ْﻥَﺃ ﻰَﻬَﻧ ُﻪَّﻧَﺃ ﺍًﺮِﺼَﺘْﺨُﻣ ُﻞُﺟَّﺮﻟﺍ

 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” 
(HR. Bukhari dan Muslim).

 Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas
dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’
dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di
atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada
thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. 
(Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy
Syamilah) 

Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan
kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. 
Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at.
Ini sungguh suatu kekeliruan.
Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan
kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.


  وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ








Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal 

~* (muslim.or.id) *~