Senin, 02 Juli 2012

BAHAYA PRAGMATISME POLITIK






BAHAYA PRAGMATISME POLITIK
Oleh Mujiyanto

Kita harus realistis.’’ Begitulah kalimat yang sering diucapkan oleh para analis dan politikus dalam kancah perpolitikan negeri ini. Sepintas kalimat itu biasa saja. Padahal kalau dicermati secara mendalam, kalimat itu membawa implikasi yang sangat mendasar. ‘Kita harus realistis’ lalu menjadi argumentasi dalam setiap tindakan politik, yang kemudian menimbulkan sikap pragmatis dalam kancah politik. Hal yang menonjol dalam sikap pragmatis ini adalah:
  1. Ketundukan pada realita (kenyataan). Kenyataan ini tampak, misalnya, pada pernyataan, “Demokrasi memang bukan berdasarkan Islam, tapi kenyataannya kan kita hidup dalam sistem demokrasi,”—seakan-akan sistem demokrasi adalah realita yang tidak bisa diubah.
  2. Kemanfaatan. Pragmatisme sering mengacu pada kemanfaatan (kepentingan) sesaat, tidak peduli bahwa hal itu bertentangan dengan idealisme awal. Dengan alasan kemanfaatan, yang salah kemudian dibenarkan. Contoh, muncul pernyataan, “Presiden wanita memang dilarang dalam Islam. Akan tetapi, itu lebih baik daripada dipimpin oleh si A yang berbahaya.” Muncul pula koalisi tanpa memandang apakah yang diajak berkoalisi seideologi atau tidak. Alasannya juga kemanfaataan.

Sikap-sikap pragmatis di atas terlihat jelas dalam pentas politik di Indonesia menjelang Pemilu Legislatif (5 April) dan Pemilu Eksekutif (5 Juli), kendati sikap tersebut sebenarnya bisa dilihat dalam pola perilaku politik masyarakat sehari-hari. Jauh hari sebelum Pemilu digelar, muncul partai-partai politik baru—baik sekular maupun Islam—guna meraih kekuasaan. Mereka tidak peduli, apakah jalan yang ditempuh benar atau salah. Hampir semuanya—termasuk partai-partai Islam—beranggapan, inilah satu-satunya jalan untuk mengubah keadaan, tidak ada jalan lain.
Dalam benak mereka, sistem yang ada mengharuskan mereka berperan aktif di dalamnya, terlepas apakah sistem itu haq atau batil. Mereka menganggap sistem yang ada sudah final dan tidak perlu lagi mencari alternatif lain. Yang terpenting adalah bagaimana memperbaiki yang sudah ada. Lagi-lagi, realita menjadi sandaran argumennya. Dengan berada di dalam sistem, mereka berharap—dengan menduga-duga—dapat melakukan perubahan dari dalam. Sebagai justifikasi, dicarilah ayat-ayat yang mendukung upaya tersebut. Salah satunya, misalnya, kisah Nabi Yusuf.
Mengingat undang-undang membatasi gerak partai Islam, tidak sedikit partai Islam yang melakukan penyesuaian-penyesuaian. Berdasarkan Keputusan KPU No. 07 tahun 2004 tentang petunjuk pelaksanaan kampanye 2004, partai peserta Pemilu dilarang mempermasalahkan ideologi negara dan UUD 1945; juga menghina suku, ras, agama, dan antargolongan. Dalam berbagai penjelasan, membawa agama dalam kampanye pun dilarang.
Penyesuaian akhirnya dilakukan. Terjadilah proses deideologisasi Islam. Partai-partai Islam tidak lagi menyuarakan konsep-konsep Islam dalam mengatasi problematika masyarakat, namun menyuarakan ide-ide umum yang diusung oleh partai dan masyarakat yang notabene berpaham sekular. Seruan mengenai syariat Islam dan Daulah Khilafah Islam pun nyaris tidak terdengar. Gantinya adalah istilah-istilah demokrasi atau istilah kabur lainnya seperti nilai-nilai Islam, masyarakat madani, substansi Islam, dan lain-lain. Alasan yang sering muncul adalah karena syariat Islam masih kontroversial dan tidak laku. Bahkan ada calon presiden yang menolak penerapan syariat Islam dengan alasan syariat Islam itu bisa memecah-belah.
Keikutsertaan partai-partai Islam ke dalam sistem yang ada kemudian diikuti oleh upaya untuk menyukseskan Pesta Demokrasi. Tidak aneh jika kemudian muncul fatwa yang mewajibkan umat Islam menggunakan hak pilihnya dan mengharamkan sikap golput. Bersamaan dengan itu, keluarlah propaganda untuk memobilisasi massa seperti, ‘kalau umat Islam golput maka orang kafir akan berkuasa,’ atau beredarnya SMS, ‘Vatikan memerintahkan umat Kristen untuk memilih PDS,’ dan sebagainya; seakan-akan Pemilu kemudian menjadi persoalan hidup dan matinya umat, dengan alasan, Pemilu untuk memilih anggota legislatif sangat strategis.
Akan tetapi anehnya, saat melihat tidak ada lagi kepentingan dalam Pemilu Presiden; tidak lagi terdengar propaganda yang dengan gencar mengatakan Pemilu presiden itu wajib. Padahal, kalau dilihat dari segi strategisnya, jelas baik Pemilu anggota legeslatif maupun presiden sama-sama strategisnya. Bahkan posisi presiden bisa jadi lebih strategis karena akan menentukan siapa menteri dan bagaimana kebijakan yang ditempuh. Tidak seperti menjelang Pemilu Legislatif, tidak ada lagi fatwa larangan golput. Malah, ada partai yang dulunya mengharamkan golput, justru menjadikan sikap tersebut sebagai salah satu pilihan.
Seiring dengan fenomena pragmatisme tersebut, gejala golput muncul kembali ke permukaan. Seorang mantan presiden dan beberapa ulama pengikutnya dengan terang-terangan menyatakan dirinya tidak akan ikut ambil bagian dalam Pemilu. Ada pula yang menyerukan golput karena calonnya tidak terpilih menjadi kandidat presiden. Padahal selama ini sang tokoh sangat getol menyerukan demokrasi.
Bentuk pragmatisme lain tampak ketika agama dijadikan alat justifikasi perilaku politik. Saat menjelang Pemilu, banyak pihak yang ingin mendapat legitimasi agama untuk kemenangannya. Para politisi pun banyak mendatangi pesantren dan merangkul ulama. Padahal, para politisi ini sebelumnya sangat getol mengatakan agama jangan dibawa-bawa ke dalam urusan politik.
Muncul pula sikap pragmatis dalam koalisi partai. Mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak ada partai yang menang mutlak sehingga dengan penuh percaya diri mereka mengajukan calon presiden. Karena itu, realita mengharuskan mereka untuk berkoalisi. Mau tidak mau, beberapa partai bersatu tanpa memperhatikan lagi sekat-sekat ideologis yang ada. Visi dan misi serta platform partai yang digembar-gemborkan dalam kampanye Pemilu seolah tidak berarti apa-apa. Partai Bulan Bintang (PBB) berkoalisi dengan Partai Demokrat. PNUI berkoalisi dengan Partai Golkar. PBR dengan PAN. PPP mendukung PDIP dalam pencalonan presiden kendati akhirnya mengajukan calon presiden sendiri. PKB, yang nyata-nyata memendam dendam kepada Partai Golkar karena dianggap telah menjatuhkan pemerintahan Abdurrahman Wahid, akhirnya berkoalisi juga. Golkar yang dulunya dikecam habis-habisan sebagai partai Orde Baru, malah sekarang dirangkul oleh banyak partai atau orang-orang yang dulu mengecamnya. Alasannya, juga pragmatisme politik.
Sikap pragmatis lain sangat kentara saat berbicara tentang wanita menjadi presiden. Haramnya wanita menjadi presiden dipropagandakan untuk mencegah naiknya presiden dari lawan politiknya. Namun, saat situasi politik berubah dan tidak ada pilihan lain kecuali wanita, dibuatlah pembenaran-pembenaran untuk menerima wanita sebagai presiden. Alasannya sama, yakni kemaslahatan.



Pragmatisme Politik: Buah Ideologi Kapitalisme
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme berarti ajaran, aliran, paham. Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran/aliran/paham yang menekankan bahwa pemikiran itu mengikuti tindakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pragmatisme berarti kepercayaan bahwa kebenaraan atau nilai suatu ajaran (paham/doktrin/gagasan/pernyataan/dsb) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan pragmatis berarti bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan); mengenai/bersangkutan dengan nilai-nilai praktis. Karena itu, pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar jika membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar jika berfungsi. Jadi, pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran.
Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal Abad 20.
Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Pierce (1839-1942) yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Munculnya paham tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ajaran/paham lainnya pada Abad Pertengahan (Renaissance), yaitu ketika terjadi pertentangan yang tajam antara gereja dan kaum intelektual. Pertentangan itu menghasilkan kompromi: pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebuah asas yang dianut ideologi kapitalisme.
Pragmatisme merupakan pemikiran cabang kapitalisme. Landasan pemikirannya pun sama, yakni pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini tampak dari perkembangan sejarah kemunculan pragmatisme yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Empirisme adalah paham yang memandang bahwa sumber pengetahuan adalah empiri atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Dalam konteks ideologis, pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Kebenaran, menurut James dalam bukunya, The Meaning of Truth, adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi maka tidak diketahui kebenaran teori itu. Kebenaran akan selalu berubah sejalan dengan perkembangan pengalaman. Sebab, yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, paham pragmatisme tidak mengenal adanya kebenaran mutlak. Kebenaran ditentukan oleh kemanfaatan.
Ide pragmatisme keliru dari tiga sisi. Pertama, pragmatisme mencampuradukkan kriteria kebenaran ide dan kegunaan praktisnya. Padahal kebenaran ide adalah suatu hal, sedangkan kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realita atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realita. Sedangkan kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri. Jadi, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia.
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedangkan penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah identifikasi naluriah. Memang, identifikasi naluriah dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam memuaskan hajatnya, tetapi tidak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Artinya, pragmatisme telah menafikan aktivitas intektual dan menggantinya dengan identifikasi naluriah. Dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal pada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi naluriah.
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subyek penilai ide—baik individu, kelompok, maupun masyarakat—serta perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki pragmatisme baru dapat dibuktikan—menurut pragmatisme itu sendiri—setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Ini jelas mustahil dan tidak akan pernah terjadi. Karena itu, pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.

Implikasi Buruk Pragmatisme
Ide dasar pragmatisme yang menekankan semata-mata pada realita dan kemanfaatan sesaat menimbulkan sikap inkonsistensi pada penganutnya. Sikap pragmatis cenderung menggunakan segala macam cara untuk mewujudkan suatu kepentingan dengan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran, kebaikan, dan kepantasan. Walhasil, sikap pragmatis ini tidak akan pernah menyelesaikan persoalan secara menyeluruh karena pengusung-pengusungnya hanya melihat kepentingan jangka pendek yang menguntungkan diri atau kelompoknya. Bermanfaat dan menguntungkan bukan berarti benar, tetapi hanya sekadar memuaskan naluriahnya. Di sinilah sikap plin-plan dan tidak punya pendirian sangat kentara. Begitu kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan yang lain. Akhirnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah terselesaikan. Lagi-lagi rakyatlah yang akan menjadi korban. Politik kemudian hanya sekadar alat untuk melestarikan kepentingan elit politik, bukan untuk rakyat.
Karena itu, bukan suatu hal yang aneh pula jika kemudian ada partai-partai Islam yang rela mengorbankan idealisme Islam demi kepentingan kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam kampanye lenyap begitu saja saat pragmatisme muncul. Deal-deal yang muncul hanyalah siapa memperoleh apa. Perbedaan ideologi, paham, platform, visi, dan misi tidak lagi diperhatikan. Partai Islam bisa bergabung dengan partai kufur sekalipun tanpa rasa berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi landasan eksistensi partai-partai Islam.
Yang lebih buruk lagi, pragmatisme politik partai-partai Islam bisa menimbulkan citra (image) buruk pada Islam itu sendiri dan pada partai Islam hakiki yang benar-benar memperjuangkan Islam. Bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin skeptis terhadap partai/politik Islam dengan menganggap politik Islam itu kotor, buruk, menipu, penuh manipulasi, dan penuh siasat. Kalau ini terjadi, sungguh hal itu sangat berbahaya bagi upaya menegakkan kembali Islam di muka bumi ini.

Penutup
Pragmatisme sangat bertentangan dengan Islam karena Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal dan haram, bukan kemanfaatan atau kegunaan real untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis. Allah Swt. berfirman:

]اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ[
Ikutilah apa yang diturunkan Allah kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) lainnya. (QS al-A‘raf [7]: 3).

Ayat ini melarang kita mengikuti apa saja yang tidak diturunkan oleh Allah, termasuk manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul sebagai konsekuensi dari perbuatan kita.
Islam memandang perbuatan manusia ditentukan oleh syariat, bukan oleh manusia; bukan pula ditentukan oleh manfaat suatu ide untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemanfaatan. Islam berpandangan bahwa kemanfaatan harus distandarisasikan terlebih dulu oleh syariat, bukan kemanfaatan mutlak atau sembarang manfaat. Jadi, manfaat bukanlah standar kebenaran ide dan perbuatan manusia. Karena itu, orang boleh mengambil kemanfaatan jika syariat Islam telah mengizinkannya. Di mana ada hukum syariat, di situlah terdapat kemaslahatan yang hakiki. Bukan sebaliknya.
Munculnya orang-orang/partai-pratai pragmatis di negeri-negeri Islam tidak lepas dari upaya Barat, khususnya Amerika, dalam mengokohkan kedudukannya di wilayah ini. Barat jelas tidak ingin ada orang-orang/partai-partai yang memiliki ideologi yang bertentangan dengan ideologinya, yakni kapitalisme, untuk berkuasa di suatu negeri, karena itu akan mengganggu dominasinya.
Walhasil, setiap Muslim wajib menghancurkan dan menjauhkan diri dari ide pragmatisme serta melawan siapa saja yang menjajakan ide kufur dan berbahaya ini di tengah-tengah umat Islam yang sedang menuju kebangkitannya. Sebab, mustahil Islam diperjuangkan dengan cara-cara yang bertentangan dengan Islam.
Wallâhu a‘lam bi ash- shawâb. []

Rujukan:
  1. Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam.
  2. Abdul Qodim Zallum, Serangan Amerika untuk Menghancurkan Islam.
  3. Drs. H. Abu Ahmadi, Filsafat Islam.
  4. Dr. Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20.
  5. Drs. Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berpikir).
  6. Abdul Ghany bin Muhammad Ar-Rahhal, Aktivis Partai Korban Fatamorgana Demokrasi.

    Sumber:

    http://dc204.4shared.com/doc/wshzU0si/preview.html