BAHAYA
PRAGMATISME POLITIK
Oleh
Mujiyanto
“Kita
harus realistis.’’ Begitulah kalimat yang sering diucapkan
oleh para analis dan politikus dalam kancah perpolitikan negeri
ini. Sepintas kalimat itu biasa saja. Padahal kalau dicermati secara
mendalam, kalimat itu membawa implikasi yang sangat mendasar. ‘Kita
harus realistis’ lalu menjadi argumentasi dalam setiap tindakan
politik, yang kemudian menimbulkan sikap pragmatis dalam kancah
politik. Hal yang menonjol dalam sikap pragmatis ini adalah:
- Ketundukan pada realita (kenyataan). Kenyataan ini tampak, misalnya, pada pernyataan, “Demokrasi memang bukan berdasarkan Islam, tapi kenyataannya kan kita hidup dalam sistem demokrasi,”—seakan-akan sistem demokrasi adalah realita yang tidak bisa diubah.
- Kemanfaatan. Pragmatisme sering mengacu pada kemanfaatan (kepentingan) sesaat, tidak peduli bahwa hal itu bertentangan dengan idealisme awal. Dengan alasan kemanfaatan, yang salah kemudian dibenarkan. Contoh, muncul pernyataan, “Presiden wanita memang dilarang dalam Islam. Akan tetapi, itu lebih baik daripada dipimpin oleh si A yang berbahaya.” Muncul pula koalisi tanpa memandang apakah yang diajak berkoalisi seideologi atau tidak. Alasannya juga kemanfaataan.
Sikap-sikap
pragmatis di atas terlihat jelas dalam pentas politik di Indonesia
menjelang Pemilu Legislatif (5 April) dan Pemilu Eksekutif (5 Juli),
kendati sikap tersebut sebenarnya bisa dilihat dalam pola perilaku
politik masyarakat sehari-hari. Jauh hari sebelum Pemilu
digelar, muncul partai-partai politik baru—baik sekular maupun
Islam—guna meraih kekuasaan. Mereka tidak peduli, apakah jalan
yang ditempuh benar atau salah. Hampir semuanya—termasuk
partai-partai Islam—beranggapan, inilah satu-satunya jalan untuk
mengubah keadaan, tidak ada jalan lain.
Dalam
benak mereka, sistem yang ada mengharuskan mereka berperan aktif di
dalamnya, terlepas apakah sistem itu haq atau batil. Mereka
menganggap sistem yang ada sudah final dan tidak perlu lagi mencari
alternatif lain. Yang terpenting adalah bagaimana memperbaiki yang
sudah ada. Lagi-lagi, realita menjadi sandaran argumennya. Dengan
berada di dalam sistem, mereka berharap—dengan menduga-duga—dapat
melakukan perubahan dari dalam. Sebagai justifikasi, dicarilah
ayat-ayat yang mendukung upaya tersebut. Salah satunya, misalnya,
kisah Nabi Yusuf.
Mengingat undang-undang
membatasi gerak partai Islam, tidak sedikit partai Islam yang
melakukan penyesuaian-penyesuaian. Berdasarkan Keputusan KPU No. 07
tahun 2004 tentang petunjuk pelaksanaan kampanye 2004, partai
peserta Pemilu dilarang mempermasalahkan ideologi negara dan UUD
1945; juga menghina suku, ras, agama, dan antargolongan. Dalam
berbagai penjelasan, membawa agama dalam kampanye pun dilarang.
Penyesuaian
akhirnya dilakukan. Terjadilah proses deideologisasi Islam.
Partai-partai Islam tidak lagi menyuarakan konsep-konsep Islam dalam
mengatasi problematika masyarakat, namun menyuarakan ide-ide umum
yang diusung oleh partai dan masyarakat yang notabene berpaham
sekular. Seruan mengenai syariat Islam dan Daulah Khilafah
Islam pun nyaris tidak terdengar. Gantinya adalah istilah-istilah
demokrasi atau istilah kabur lainnya seperti nilai-nilai Islam,
masyarakat madani, substansi Islam, dan lain-lain. Alasan yang
sering muncul adalah karena syariat Islam masih kontroversial dan
tidak laku. Bahkan ada calon presiden yang menolak penerapan syariat
Islam dengan alasan syariat Islam itu bisa memecah-belah.
Keikutsertaan
partai-partai Islam ke dalam sistem yang ada kemudian diikuti oleh
upaya untuk menyukseskan Pesta Demokrasi. Tidak aneh jika kemudian
muncul fatwa yang mewajibkan umat Islam menggunakan hak pilihnya dan
mengharamkan sikap golput. Bersamaan dengan itu,
keluarlah propaganda untuk memobilisasi massa seperti, ‘kalau umat
Islam golput maka orang kafir akan berkuasa,’ atau beredarnya SMS,
‘Vatikan memerintahkan umat Kristen untuk memilih PDS,’ dan
sebagainya; seakan-akan Pemilu kemudian menjadi persoalan hidup dan
matinya umat, dengan alasan, Pemilu untuk memilih anggota legislatif
sangat strategis.
Akan tetapi anehnya,
saat melihat tidak ada lagi kepentingan dalam Pemilu Presiden; tidak
lagi terdengar propaganda yang dengan gencar mengatakan Pemilu
presiden itu wajib. Padahal, kalau dilihat dari segi strategisnya,
jelas baik Pemilu anggota legeslatif maupun presiden sama-sama
strategisnya. Bahkan posisi presiden bisa jadi lebih strategis
karena akan menentukan siapa menteri dan bagaimana kebijakan yang
ditempuh. Tidak seperti menjelang Pemilu Legislatif, tidak ada lagi
fatwa larangan golput. Malah, ada partai yang dulunya mengharamkan
golput, justru menjadikan sikap tersebut sebagai salah satu pilihan.
Seiring
dengan fenomena pragmatisme tersebut, gejala golput muncul kembali
ke permukaan. Seorang mantan presiden dan
beberapa ulama pengikutnya dengan terang-terangan menyatakan dirinya
tidak akan ikut ambil bagian dalam Pemilu. Ada pula yang menyerukan
golput karena calonnya tidak terpilih menjadi kandidat presiden.
Padahal selama ini sang tokoh sangat getol menyerukan demokrasi.
Bentuk pragmatisme lain
tampak ketika agama dijadikan alat justifikasi perilaku politik.
Saat menjelang Pemilu, banyak pihak yang ingin mendapat legitimasi
agama untuk kemenangannya. Para politisi pun banyak mendatangi
pesantren dan merangkul ulama. Padahal, para politisi ini sebelumnya
sangat getol mengatakan agama jangan dibawa-bawa ke dalam urusan
politik.
Muncul
pula sikap pragmatis dalam koalisi partai. Mereka dihadapkan pada
kenyataan bahwa tidak ada partai yang menang mutlak sehingga dengan
penuh percaya diri mereka mengajukan calon presiden. Karena itu,
realita mengharuskan mereka untuk berkoalisi. Mau tidak mau,
beberapa partai bersatu tanpa memperhatikan lagi sekat-sekat
ideologis yang ada. Visi dan misi serta platform
partai yang digembar-gemborkan dalam kampanye Pemilu seolah tidak
berarti apa-apa. Partai Bulan Bintang (PBB) berkoalisi dengan Partai
Demokrat. PNUI berkoalisi dengan Partai Golkar. PBR dengan PAN. PPP
mendukung PDIP dalam pencalonan presiden kendati akhirnya mengajukan
calon presiden sendiri. PKB, yang nyata-nyata memendam dendam kepada
Partai Golkar karena dianggap telah menjatuhkan pemerintahan
Abdurrahman Wahid, akhirnya berkoalisi juga. Golkar yang dulunya
dikecam habis-habisan sebagai partai Orde Baru, malah sekarang
dirangkul oleh banyak partai atau orang-orang yang dulu mengecamnya.
Alasannya, juga pragmatisme politik.
Sikap
pragmatis lain sangat kentara saat berbicara tentang wanita menjadi
presiden. Haramnya wanita menjadi presiden dipropagandakan untuk
mencegah naiknya presiden dari lawan politiknya. Namun, saat situasi
politik berubah dan tidak ada pilihan lain kecuali wanita, dibuatlah
pembenaran-pembenaran untuk menerima wanita sebagai presiden.
Alasannya sama, yakni kemaslahatan.
Pragmatisme
Politik: Buah Ideologi Kapitalisme
Pragmatisme
berasal dari bahasa Yunani pragma
berarti perbuatan (action)
atau tindakan (practice).
Isme berarti
ajaran, aliran, paham. Dengan demikian, pragmatisme berarti
ajaran/aliran/paham yang menekankan bahwa pemikiran itu mengikuti
tindakan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pragmatisme berarti
kepercayaan bahwa kebenaraan atau nilai suatu ajaran
(paham/doktrin/gagasan/pernyataan/dsb) bergantung pada penerapannya
bagi kepentingan manusia. Sedangkan pragmatis
berarti bersifat praktis dan berguna bagi umum; bersifat
mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan);
mengenai/bersangkutan dengan nilai-nilai praktis. Karena itu,
pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah faedah
atau manfaat. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme
benar jika membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori
itu benar jika berfungsi. Jadi, pragmatisme dapat dikategorikan ke
dalam pembahasan mengenai teori kebenaran.
Ide
ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan
Barat pada umumnya yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk
menjawab problem-problem yang terjadi pada awal Abad 20.
Pragmatisme
mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Pierce (1839-1942) yang
kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey
(1859-1952). Munculnya paham tersebut tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan ajaran/paham lainnya pada Abad Pertengahan
(Renaissance), yaitu ketika terjadi pertentangan yang tajam antara
gereja dan kaum intelektual. Pertentangan itu menghasilkan kompromi:
pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebuah asas yang
dianut ideologi kapitalisme.
Pragmatisme
merupakan pemikiran cabang kapitalisme. Landasan pemikirannya pun
sama, yakni pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini
tampak dari perkembangan sejarah kemunculan pragmatisme yang
merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Empirisme adalah
paham yang memandang bahwa sumber pengetahuan adalah empiri atau
pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya. Dalam konteks
ideologis, pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu
pengetahuan.
Kebenaran,
menurut James dalam bukunya, The Meaning of Truth, adalah
sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum
seseorang menemukan satu teori berfungsi maka tidak diketahui
kebenaran teori itu. Kebenaran akan selalu berubah sejalan dengan
perkembangan pengalaman. Sebab, yang dikatakan benar dapat dikoreksi
oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, paham pragmatisme tidak
mengenal adanya kebenaran mutlak. Kebenaran ditentukan oleh
kemanfaatan.
Ide
pragmatisme keliru dari tiga sisi. Pertama, pragmatisme
mencampuradukkan kriteria kebenaran ide dan
kegunaan praktisnya. Padahal kebenaran ide adalah suatu hal,
sedangkan kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah
ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realita atau dengan
standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui
kesesuaiannya dengan realita. Sedangkan kegunaan praktis suatu ide
untuk memenuhi hajat manusia tidak diukur dari keberhasilan
penerapan ide itu sendiri. Jadi, kegunaan praktis ide tidak
mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta
terpuaskannya kebutuhan manusia.
Kedua,
pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran
sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan
standar-standar tertentu. Sedangkan penetapan kepuasan manusia dalam
pemenuhan kebutuhannya adalah identifikasi naluriah. Memang,
identifikasi naluriah dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam
memuaskan hajatnya, tetapi tidak dapat menjadi ukuran kebenaran
sebuah ide. Artinya, pragmatisme telah menafikan aktivitas intektual
dan menggantinya dengan identifikasi naluriah. Dengan kata lain,
pragmatisme telah menundukkan keputusan akal pada kesimpulan yang
dihasilkan dari identifikasi naluriah.
Ketiga,
pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai
dengan perubahan subyek penilai ide—baik individu, kelompok,
maupun masyarakat—serta perubahan konteks waktu dan tempat.
Dengan kata lain, kebenaran hakiki pragmatisme baru dapat
dibuktikan—menurut pragmatisme itu sendiri—setelah melalui
pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Ini
jelas mustahil dan tidak akan pernah terjadi. Karena itu,
pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang
dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
Implikasi
Buruk Pragmatisme
Ide
dasar pragmatisme yang menekankan semata-mata pada realita dan
kemanfaatan sesaat menimbulkan sikap inkonsistensi pada penganutnya.
Sikap pragmatis cenderung menggunakan segala
macam cara untuk mewujudkan suatu kepentingan dengan mengabaikan
prinsip-prinsip kebenaran, kebaikan, dan kepantasan.
Walhasil, sikap pragmatis ini tidak akan pernah menyelesaikan
persoalan secara menyeluruh karena pengusung-pengusungnya hanya
melihat kepentingan jangka pendek yang menguntungkan diri atau
kelompoknya. Bermanfaat dan menguntungkan bukan berarti benar,
tetapi hanya sekadar memuaskan naluriahnya. Di sinilah sikap
plin-plan dan tidak punya pendirian sangat kentara. Begitu
kemanfaatan jangka pendek hilang, mereka akan mencari kemanfaatan
yang lain. Akhirnya, persoalan utama yang dihadapi masyarakat tidak
akan pernah terselesaikan. Lagi-lagi rakyatlah yang akan menjadi
korban. Politik kemudian hanya sekadar alat untuk melestarikan
kepentingan elit politik, bukan untuk rakyat.
Karena
itu, bukan suatu hal yang aneh pula jika kemudian ada partai-partai
Islam yang rela mengorbankan idealisme Islam demi kepentingan
kekuasaan. Suara Islam yang sebelumnya digemakan dalam kampanye
lenyap begitu saja saat pragmatisme muncul. Deal-deal yang
muncul hanyalah siapa memperoleh apa. Perbedaan ideologi, paham,
platform, visi, dan misi tidak lagi diperhatikan. Partai
Islam bisa bergabung dengan partai kufur sekalipun tanpa rasa
berdosa dengan dalih sama-sama memperjuangkan perbaikan. Oleh karena
itu, sikap pragmatisme politik bisa mencederai agama yang menjadi
landasan eksistensi partai-partai Islam.
Yang
lebih buruk lagi, pragmatisme politik partai-partai Islam bisa
menimbulkan citra (image) buruk pada Islam itu sendiri dan
pada partai Islam hakiki yang benar-benar memperjuangkan Islam.
Bukan tidak mungkin masyarakat akan semakin skeptis terhadap
partai/politik Islam dengan menganggap politik Islam itu kotor,
buruk, menipu, penuh manipulasi, dan penuh siasat. Kalau ini
terjadi, sungguh hal itu sangat berbahaya bagi upaya menegakkan
kembali Islam di muka bumi ini.
Penutup
Pragmatisme
sangat bertentangan dengan Islam karena Islam memandang bahwa
standar perbuatan adalah halal dan haram, bukan kemanfaatan atau
kegunaan real untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh
sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis. Allah Swt. berfirman:
]اتَّبِعُوا
مَا
أُنْزِلَ
إِلَيْكُمْ
مِنْ
رَبِّكُمْ
وَلاَ
تَتَّبِعُوا
مِنْ
دُونِهِ
أَوْلِيَاءَ[
Ikutilah
apa yang diturunkan Allah kepada kalian dari Tuhan kalian dan
janganlah kalian mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) lainnya.
(QS al-A‘raf [7]: 3).
Ayat
ini melarang kita mengikuti apa saja yang tidak diturunkan oleh
Allah, termasuk manfaat-manfaat atau kegunaan-kegunaan yang muncul
sebagai konsekuensi dari perbuatan kita.
Islam
memandang perbuatan manusia ditentukan oleh syariat, bukan oleh
manusia; bukan pula ditentukan oleh manfaat suatu ide untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Namun demikian, bukan berarti Islam tidak
memperhatikan kemanfaatan. Islam berpandangan bahwa kemanfaatan
harus distandarisasikan terlebih dulu oleh syariat, bukan
kemanfaatan mutlak atau sembarang manfaat. Jadi, manfaat bukanlah
standar kebenaran ide dan perbuatan manusia. Karena itu, orang boleh
mengambil kemanfaatan jika syariat Islam telah mengizinkannya. Di
mana ada hukum syariat, di situlah terdapat kemaslahatan yang
hakiki. Bukan sebaliknya.
Munculnya
orang-orang/partai-pratai pragmatis di negeri-negeri Islam tidak
lepas dari upaya Barat, khususnya Amerika, dalam mengokohkan
kedudukannya di wilayah ini. Barat jelas tidak ingin ada
orang-orang/partai-partai yang memiliki ideologi yang bertentangan
dengan ideologinya, yakni kapitalisme, untuk berkuasa di suatu
negeri, karena itu akan mengganggu dominasinya.
Walhasil,
setiap Muslim wajib menghancurkan dan menjauhkan diri dari ide
pragmatisme serta melawan siapa saja yang menjajakan ide kufur dan
berbahaya ini di tengah-tengah umat Islam yang sedang menuju
kebangkitannya. Sebab, mustahil Islam diperjuangkan dengan cara-cara
yang bertentangan dengan Islam.
Wallâhu
a‘lam bi ash- shawâb. []
Rujukan:
- Taqiyuddin an-Nabhani, Pembentukan Partai Politik Islam.
- Abdul Qodim Zallum, Serangan Amerika untuk Menghancurkan Islam.
- Drs. H. Abu Ahmadi, Filsafat Islam.
- Dr. Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20.
- Drs. Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berpikir).
- Abdul Ghany bin Muhammad Ar-Rahhal, Aktivis Partai Korban Fatamorgana Demokrasi.Sumber: