Jumat, 27 Juli 2012

~* Menggugat Pluralisme [2]: Mematikan ‘Truth Claim’, Menghidupkan Kebimbangan *~







 


Salah satu gagasan utama para pendukung pluralisme adalah membuang klaim kebenaran (truth claim). Mereka beranggapan, truth claim-lah yang menyebabkan banyaknya konflik antar umat beragama, sikap intoleran, bahkan terorisme. Apakah anggapan ini benar? Jelas sekali anggapan ini keliru, jauh dari kebenaran dan berdasarkan asumsi yang mentah.

Bagi seorang muslim, truth claim merupakan ‘harga mati’. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surah Ali ‘Imran ayat 19:

إن الدين عند الله الإسلام

Allah ta’ala juga berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 85:

ومن يبتغ غير الإسلم دينا فلن يقبل منه وهو في الأخرة من الخسرين

Dua ayat di atas menunjukkan klaim kebenaran (truth claim) yang dimiliki oleh Islam. Saya yakin, di agama lain juga punya konsep seperti ini.

Secara ‘aqli, truth claim merupakan hal yang wajar dan ‘wajib’ ada di setiap ajaran agama. Mengapa? Jelas, karena setiap agama (diin) hadir membawa sebuah ajaran sekaligus menafikan ajaran-ajaran selainnya. Coba pikirkan, mengapa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam rela meninggalkan kenikmatan hidup duniawi untuk memperjuangkan Islam, bahkan harus bersitegang dan berperang dengan suku, kabilah dan keluarga beliau sendiri demi meninggikan kalimat Islam? Jawabannya tentu karena Rasulullah dan para shahabat beliau meyakini kebenaran Islam dan mengingkari kebenaran ajaran-ajaran lain selain Islam. Jika beliau tidak berpikiran seperti itu, tentu lebih baik beliau hidup tenang-tenang saja di Makkah.

Sekarang mari kita telanjangi kesalahan pemikiran para pendukung pluralisme tentang konsep ini.

1. Benarkah truth claim menyebabkan konflik berkepanjangan antar umat beragama?

Jika kita sedikit saja mencoba mempelajari sejarah kegemilangan Islam sejak pertama kali tumbuh di Madinah sampai kemudian mendunia, kita akan mengetahui bahwa umat yang paling toleran terhadap perbedaan adalah umat Islam. Tentang perbedaan suku dan kelas sosial, tak perlu diperjelas lagi. Cahaya Islam terlalu terang untuk ditutupi dan dibuat buram. Islam telah menegaskan bahwa ukuran kemuliaan adalah ketaqwaan, bukan suku, ras, ekonomi atau kelas sosial.


Tentang toleransi antar umat beragama, Madinah di masa Nabi adalah contohnya. Di sana, selain Islam hidup pula orang-orang Yahudi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan mereka dan bersikap sangat toleran dengan mereka. Yahudi baru diusir dari Madinah karena pengkhianatan mereka terhadap perjanjian yang telah mereka buat bersama umat Islam.


Sikap toleran ini juga terpampang jelas di dunia Islam. Dulu, –ketika Palestina masih di bawah kepemimpinan Islam– Yahudi, Nasrani dan Islam bisa hidup berdampingan dan tidak ada konflik seperti sekarang. Di negeri-negeri Islam lain pun juga begitu. Dan sikap toleransi umat Islam kepada umat agama lain sama sekali tidak menghilangkan truth claim yang mereka miliki. Mereka masih memegang pemahaman yang disampaikan Allah ‘azza wa jalla di surah al-Kaafiruun. Toleransi –yang tidak kebablasan– pada faktanya bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan ‘aqidah. Untuk rujukannya, silakan baca kitab-kitab Tarikh Islam.

2. Apakah ujung dari konsep peniadaan truth claim?

Bagi pendukung pluralisme, umat Islam tak boleh mengatakan dan meyakini bahwa hanya melalui Islam-lah ‘keselamatan’ akan didapatkan. Bagi mereka, umat Islam harus meyakini bahwa semua agama –termasuk ajaran pagan dan ajaran setan (?)–, menuju hal yang sama, cuma jalannya saja yang berbeda. Bagi mereka, perbedaan jalan adalah hal yang wajar dan masing-masing tidak boleh mengklaim hanya jalan mereka lah yang benar. Inilah dasar dari ajaran pluralisme. Apa hasil dari konsep seperti ini?


Hasilnya adalah kebimbangan. Pernyataan-pernyataan aneh akan muncul jika seseorang mengadopsi pemikiran keblinger ini, semisal, ‘Jika Islam dan Nasrani sama-sama benar, lalu untuk apa saya bertahan dengan keislaman saya, ajaran Islam kan susah.’ Atau, ‘Jika kebenaran tak hanya ada pada Islam, berarti boleh dong saya gonta-ganti agama semau saya.’ Atau, ‘Jika semua agama menuju satu tujuan yang sama, boleh dong saya membuat agama baru dengan tatacara baru, yang penting tujuannya sama.’ Atau, ‘Kalau tidak ada agama yang memiliki kebenaran mutlak, untuk apa saya beragama?’


Ternyata, ujung dari pluralisme adalah agnostisisme dan ateisme. Makanya, di Eropa –yang mengagungkan pluralisme– begitu banyak orang yang tak beragama, bahkan sebagian menyatakan tak percaya –minimal meragukan– adanya Tuhan. Dr. Syamsuddin Arif yang pernah belajar di Jerman –di buku beliau “Orientalis & Diabolisme Pemikiran”– menceritakan fenomena tersebut.


*****


Jadi, bisa kita simpulkan, ide pluralisme yang menafikan dan mematikan truth claim hanya akan melahirkan kebimbangan pemikiran. Para pendukung ide pluralisme hanya akan berputar pada kebimbangan, karena –jika mereka jujur dengan konsep mereka– mereka tak akan punya ‘konsep kebenaran’ yang bisa mereka pegang. Bahkan, mereka –kembali, jika mereka jujur dengan konsep mereka– tak boleh mengklaim ide pluralisme sebagai ide yang pasti dan mutlak benarnya, karena itu sama saja mereka melakukan klaim kebenaran yang selama ini selalu mereka tolak.


Bagi pendukung pluralisme, silakan berbimbang ria. Bagi umat Islam, semoga kita selalu mendapatkan taufiq dari Allah ta’ala sehingga bisa selamat dari berbagai kesesatan pemikiran yang saat ini begitu banyak dijajakan. Wallahul muwaffiq ilaa aqwaam ath-thariiq.