Senin, 02 Juli 2012

~* Bodoh, peragu, dan pengecut *~

Bodoh, peragu, dan pengecut, tampaknya cocok untuk dilekatkan kepada diriku. Jadi, janganlah ragu bila engkau juga ingin mengatakannya padaku. Sungguh, akan kuterima, karena benar demikian adanya. Setidaknya yang kurasakan pada saat ini.

Janganlah engkau tanya padaku tentang nama-nama lantaran paling hanya pernah mendengar namanya. Tapi sama sekali buta dengan pikiran-pikiran  mereka yang tertuang dalam kata-kata, terangkum ke dalam buku-buku, yang tak pernah terbaca. Bila pernah mendengar, tentulah para sahabat yang pernah berkisah.
”Aktivis kuping” begitulah julukan bagi orang macam diriku. Julukan yang pernah sangat marak digunakan oleh kalangan aktivis untuk mengejek orang-orang sepertiku, yang bicara, mengawang-awang, terdengar gagah, lantaran hanya mendengar, tanpa pernah membaca.

Ya, aku adalah orang bodoh. Orang yang jarang membaca buku. Lantaran racun orang-orang sekeliling pula. ”Buat apa banyak baca buku dan hanya bicara, tapi mata dan rasa buta realita. Apalagi membaca banyak karya yang berbeda-beda, engkau semakin dibuat buta, dibuat seakan tiada berharga, lantaran belum membaca, apa beda dengan konsumerisme yang engkau hina?”

Akulah si bodoh, yang mudah teracuni. Sehingga tak awas, seharusnya keseimbanganlah yang terjaga. Membaca. Membaca buku. Membaca realita. Membuka jendela dunia. Tanpa pernah merasa hampa. Tapi begitulah. Jarang baca buku, jarang baca realita. Senang berselancar pada maya. Kesana-kemari menyapa. Waktu sering terlupa. Terlewatkan pertemuan-pertemuan membangun perbincangan dengan anggota keluarga. Alasan, pastilah berjuta. Benar-benar bodoh bukan?

Selain bodoh, akulah sang peragu. Tiada pernah cepat dan pasti dalam menentukan sikap dan pilihan. Apalagi kalau sudah menyangkut perbincangan tentang angka-angka. Ragu untuk menentukan harga. Bekerja, adalah ekspresi sebagai manusia, pikiran dalam kepala. Tidak bisa dinilai dengan harga. Ini soal rasa. Kesenangan dan kepuasan. Terserah sajalah, nilai yang engkau berikan berapa, pastilah tak akan jadi persoalan.

”Kamu memang bodoh, merendahkan diri sendiri. Janganlah ragu-ragu, tentukan harga. Dunia saat ini, adalah dunia angka. Maksudmu tak peduli, bisa jadi dianggap rendah diri. Sehingga bisa dieksploitasi. Kelak akan membuat dirimu sakit hati… Tapi soal lain, bagaimana engkau bisa kaya? Kasihan nanti keluargamu menderita,” seorang kawan, entah mengingatkan atau sebenarnya melontarkan ejekan.

”Sungguh, aku peragu, kalau sudah menyangkut angka-angka. Berkarya dalam kerja, kerja untuk berkarya sudahlah membuat rasa bahagia, mengapa harus dibuat susah?” kataku tanpa terucap hanya tertanam dalam kepala.

Bodoh, peragu, ditambah sosok yang pengecut. Sempurnalah sudah untuk menjadi bahan ejekanmu. Ya, bagaimana engkau tertawa, ketika aku mengelak, terlibat dalam perdebatan, apalagi perkelahian.

”Alasan saja, menyatakan tiada guna. Hidup ini keras, bung. Setiap langkah dan kesempatan adalah pertarungan. Bila engkau mengalah, maka engkau akan kalah. Ayo, jadilah petarung!” seorang kawan memprovokasi, tapi tetap saja tak membuatku bergerak.

Kini, aku tengah sendiri, menghadapi pergantian hari, pada jelang tengah malam. Menatap cermin. Wajah yang menua, bukan karena dipaksa, tapi memang umur sudah mencatatkan diri sesuai datanya. Aku sama sekali tidak menyesali apa yang telah terjadi, bukankah selama ini perjalan hari-hari benar-benar bisa aku nikmati.

Tersenyum. Tiba-tiba aku ingin menulis. Tentang apa? Berpikir, berlompat-lompatan, mencari-cari sambil menari-nari, kata yang berhamburan, membangun kata, memecah, melahirkan bangunan-bangunan baru. Sampai tiba. Pada sebuah himpunan kata "maafkan aku yang telah menjadi orang bodoh dalam pandanganmu aku tak sempurna dan kamu jauh lebih sempurna dalam menjadi aktifis, ajari aku tapi kumohon jangan sepertimu".