السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Mengupas Kulit Bawang Spiritualitas
Ingredients:
PENDAHULUAN…
Artikel
ini adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Pak Rizki yang telah mengirimi saya
sebuah artikel tentang Reiki Tummo. Kemudian Pak Rizki
menanyakan dua hal yaitu:
Pertama, bagaimana
pandangan saya terhadap Reiki Tummo, dan
Kedua, apakah
dengan dibukakan (attunement) cakra mahkota kita, kita bisa lebih nyambung ke Alloh?
Dalam pembahasan pertanyaan ini, saya
akan mencoba untuk memberikan pandangan saya terhadap Reiki Tummo ini hanya
sebatas melihat filosopi yang mendasari praktek Reiki ini secara umum. Saya
TIDAK akan memberikan pandangan tentang salah atau benarnya Reiki Tummo itu.
Saya juga akan mencoba mengupasnya dengan membandingkannya dengan
praktek-praktek sejenis yang ada dalam masyarakat, baik yang
dipraktekkan dalam komunitas umum maupun komunitas yang mengaitkannya dengan
praktek-praktek agama tertentu. Praktek-praktek tersebut sudah sangat umum
diistilahkan orang dengan proses ”Laku Spiritual”.
Nah...., dalam membahas laku spiritual
ini, saya akan mencoba menganalogikannya dengan sebuah proses yang sangat
sederhana yaitu proses mengupas kulit bawang. Analogi ini saya pakai karena
pada sekilas pandang, saya seperti melihat ada kesamaan-kesamaan tertentu dalam
berbagai proses laku spiritual itu. Tak ubahnya saat kita melihat kulit bawang.
Kulit bawang itu tatkala dikelupasi lapis perlapis, yang ada ya....kulit-kulit
bawang juga. Karena yang akan saya bahas adalah tentang laku spiritual, maka
artikel ini saya namakan ”Mengupas Kulit Bawang Spiritualitas”.
Saya akan membahas lapisan kulit
spiritutal itu lapis demi lapis sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya.
Kalau kita coba kelupasi kulit bawang spiritual itu lapis demi lapis sampai habis,
lalu yang tersisa apa....???.
KULIT OLAH DIRI...
Reiki Tummo adalah sekian banyak dari
istilah-istilah dan nama tentang fenomena Reiki yang berkembang di berbagai
penjuru dunia. Pada daerah-daerah lain pun muncul pula nama-nama lain dengan
sedikit variasi disana-sini. Varian dari India disebut dengan Yoga. Varian di
Cina disebut dengan nama yang lebih beragam, misalnya Taichi, Tao, Kung Fu
(dengan ditambah kemampuan bela diri). Varian di Philipina dikenal dengan nama
Prana. Di Indonesia malah variannya lebih banyak lagi, misalnya Tenaga Dalam,
Tenaga Sakti, Tenaga Dasar, Energi Murni. Varian Di Amerika dan Eropa dikenal
dengan istilah fenomena "PSYCHIC". Bahkan dalam praktek
agama-agama dunia, fenomena ini secara sepintas terlihat hampir sama. Dalam
agama Yahudi ada, dalam agama Nasrani ada, dalam agama Islam pun sepintas juga
terlihat seperti ada (seperti yang dipertontonkan oleh para sufi,
ustad-ustad tertentu). Note: nanti akan kita bahas bagaimana dengan Rasulullah ??...!.
Pada tatanan MANUSIA, apa-apa yang diolah dalam praktek
Reiki dan praktek-praktek sejenisnya seperti yang saya sebutkan di atas,
semuanya adalah NYARIS SAMA. Yang diolah adalah NAFS (DIRI) manusia. Diri
manusia yang ukurannya hanya segini-gininya ini, ternyata menyimpan rahasia
yang sama dahsyatnya dengan alam semesta raya ini. Pantas saja dalam agama
Islam Allah memberi tahukan dalam surat Al Jaatsiyah ayat 3-4 bahwa:
Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman.
Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang
yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini,
Ayat di atas dengan lantang menggugah
manusia, terutama orang yang beriman, agar mau mengamati dan menyelidiki
potensi-potensi dan system apa yang ada pada dirinya sendiri seperti juga kita
dimotivasi untuk mengamati apa-apa yang ada di langit dan di bumi, serta pada
binatang yang melata. Dengan pengamatan itu diharapkan umat manusia menjadi
bertambah-tambah keimanannya kepada Allah.
Ya..., pada diri manusia ternyata ada
sistem yang kerumitan dan potensi yang ada di dalamnya sungguh tidak kalah
dengan apa yang ada pada alam semesta. Boleh dikatakan diri manusia itu adalah
laksana alam semesta (makro kosmos) dalam ukuran mini (mikro kosmos).
Berbilang zaman berlalu, manusia dari
berbagai bangsa dan agama sudah mencoba pencarian yang panjang tentang siapa
dirinya yang sebenarnya, dan tak lupa menggali potensi-potensi apa yang bisa
mucul dari dalam dirinya itu. Dalam perjalanan pengenalan diri itu, terkuaklah
misteri demi misteri keajaiban tubuh kita. Fenomena Cakra, Kundalini, Energi
Psikokinetik, hanyalah beberapa saja dari sekian banyak rahasia-rahasia yang
telah dibukakan oleh Allah buat kita. Fenomena Cakra serta Kundalini beserta
segenap turunannya adalah sebuah suasana universal yang bisa dilatih dan
dipraktekkan oleh siapa saja dan agama apa saja. Dan hasilnya sangat tergantung
pada seberapa keras kita berlatih dan seberapa kuat kita bisa memfokuskan arah
fikiran kita kepada cakra-cakra yang diyakini oleh pemrakteknya berada pada
titik-titik tubuh yang berada disepanjang tulang belakang manusia, mulai dari
bawah sampai ke ujung kepala (ubun-ubun). Dalam hal ini saya tidak akan
membahas dimana cakra-cakra itu berada dan bagaimana cara pengolahannya sehingga
memunculkan potensi-potensi yang ”boleh jadi” melebihi apa-apa yang dimiliki
oleh orang yang tidak melatihnya.
Pengolahan cakra-cakra itu sebenarnya
adalah sebuah proses sederhana saja, yaitu dengan mengarahkan fikiran kita pada
titik-titik tertentu yang diyakini oleh pemrakteknya sebagai simpul-simpul
energi atau getaran untuk beberapa waktu lamanya. Kalau simpul-simpul itu bisa
diaktifkan, maka manusia ternyata bisa mengolah dan memanfaatkan getaran yang
muncul itu untuk berbagai keperluan. Penggunaan getaran ini sangatlah luas dan
beragam sekali. Misalnya, mulai dari tujuan untuk pengobatan sampai dengan
kemampuan untuk memunculkan kekuatan dan kemampuan yang sekilas kelihatannya
seperti sesuatu yang irrasional. Sebutlah apa saja yang pernah dipublikasikan
orang tentang kemampuan irrasional itu, seperti pengalaman tentang adanya tubuh
astral, tubuh eterik, pengalaman keluar dari tubuh (OBE=Out
of Body Experience) atau meraga sukma, atau fenomena tenaga-tenaga
tak kasat mata seperti yang digunakan dalam silat, kung fu, aikido, dsb., maka
semua itu hanyalah sebuah konsekwensi logis saja atas berhasilnya sang manusia
meningkatkan kesadarannya dari hanya sekedar getaran (vibrasi) di tingkat
ketubuhan menjadi kesadaran getaran ditingkat energi-energi yang lebih halus.
Kalau tubuh ini kita perhatikan walau
dengan mengunakan kesadaran ilmu fisika biasa saja, maka dengan mudah dapat
kita sadari bahwa tubuh kita ini adalah kumpulan atom-atom dari berbagai unsur
yang saling terikat satu sama lainnya. Misalnya atom dari unsur oksigen,
hidrogen, nitrogen, dan unsur-unsur lainnya. Interaksi dari unsur-unsur
pembangun tubuh tersebut akan menimbulkan pancaran energi, baik itu berupa
getaran-getaran maupun cahaya-cahaya dengan panjang gelombang dari bisa
terlihat oleh mata sampai dengan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Nah..., untuk mampu merasakan dan
melihat fenomena-fenomena getaran dan cahaya tadi itu seseorang harus mampu
meningkatkan kesadarannya dari sekedar hanya kesadaran tubuh ketingkat
kesadaran getaran-getaran.
Misalnya, untuk melihat sekedar adanya
lingkaran cahaya yang berpendar disekitar jari-jari kita, kita tinggal
memandang jari kita dengan tidak fokus kearah jari itu. Fokuskanlah pandangan
mata kita melampaui jari itu. Jangan pandang jari itu. Pandanglah ruangan yang
melampaui tangan kita itu beberapa cm didepan. Tidak berapa lama kita akan
melihat pendaran cahaya yang menyelimuti jari kita tersebut. Tanaman pun, kalau
dilihat dengan cara yang sama seperti diatas, akan terlihat juga seperti
diliputi oleh cahaya yang berpendar yang meliputi daun-daunnya. Orang lalu
menyebut pendaran cahaya ini dengan nama AURA. Atau ada juga yang menamakannya
dengan tubuh astral, tubuh eterik, dan sebagainya, yang tentu saja dengan karakter
dan getaran yang berbeda pula.
Kemampuan memandang pendaran cahaya ini
dapat dilatih dan ditingkatkan untuk dapat memandang pendaran cahaya dari tubuh
manusia secara utuh. Bahkan kemampuan itu dapat pula ditingkatkan untuk
mengetahui tentang berbeda-beda cahaya yang muncul untuk berbagai emosi dan
rasa, yang berbeda pula, bahkan dapat pula digunakan untuk mengetahui mana-mana
bagian tubuh yang sehat maupun yang sakit.
Dulu-dulu (sebelum ikut patrap), di
wilayah beladiri, saya juga pernah melatih bagaimana cara untuk menggunakan
kemahiran tentang getaran ini untuk mengenali benda-benda dengan mata tertutup.
Dan juga getaran itu dapat pula digunakan untuk mematahkan benda keras dengan
hanya menyentuh beda tersebut dengan lembut tanpa bertenaga. Benda keras itu
patah hanya dengan cara ”membayangkan” kita sedang mengirimkan kepada benda itu
getaran gelombang transversal dan longitudinal secara bergantian beberapa saat
lamanya. Lalu gelombang itu kita bayangkan pula mampu mempengaruhi posisi
atom-atom pada benda keras tersebut ke posisi yang terlemah. Lalu dengan tanpa
menggunakan kekuatan yang besar seperti yang digunakan para kuli panggul
barang, maka kita akan sanggup mematahkan benda itu. Jadi dalam hal ini yang
digunakan adalah afirmasi (penegasan) dengan menggunakan kekuatan fikiran yang
terfokus dan keyakinan yang tinggi akan keberhasilan atas apa-apa yang kita
inginkan.
Kemudian di wilayah praktek sebuah
tarekat (juga sebelum saya ikut patrap), saya juga pernah mengalami apa yang
disebut orang dengan fenomena OBE (out of body experience) saat saya
melakukan SULUK di penghujung Ramadhan tahun 2000. Ketika itu, dengan mudah
rasanya saya bisa seperti pulang ke rumah, datang ke Mekkah, datang ke kuburan
Nabi di Madinah, bahkan pada saat itu rasanya kening saya ke cium oleh
Rasulullah. Mursyid saya ketika itu, begitu saya ceritakan tentang hal ini,
beliau malah balik menciumi kening saya. Saya hanya bisa terheran-heran saja
saat itu. Akan tetapi semua itu ternyata juga hanyalah sensasi-sensasi yang
muncul saat kita mampu mengarahan fikiran dan keinginan kita menuju ke tempat
yang kita inginkan, atau berjalan ke tempat-tempat yang ceritanya dan
bayangannya pernah masuk ke dalam otak kita.
Sungguh banyak sekali fenomena yang
bisa digali dan diolah tentang kemampuan yang diberikan oleh ALLAH terhadap
NAFS manusia. Tidak terbatas. Karena semua datangnya adalah dari yang punya
ilmu yang Maha TIDAK TERBATAS, yaitu Allah. Jadi..., alangkah angkuh dan
jumawanya kita jika ada diantara kita yang sampai tidak mengakui
tentang keberadaan ilmu-ilmu dan fenomena-fenomena ”aneh” di atas yang hanya
setitik kecil saja dari lautan ilmu Tuhan yang tak terhingga banyaknya.
DARI KULIT KE
KULIT ...
Untuk reiki, tarekat, dan
kemampuan-kemampuan supranatural lain, umumnya terdapat titik kesamaan yang
sangat dekat dalam hal cara pengolahan dan pelatihannya. Yaitu mengolahnya
dengan menggunakan fikiran dan gerakan fisik tertentu terhadap titik-titik yang
berada disepanjang tulang belakang dan sekitarnya, mulai dari ujung ekor sampai
ke ubun-ubun. Kosa kata dalam bahasa umumnya adalah titik-titik CAKRA (baik
cakra MAYOR yang berada diwilayah tulang belakang, tembus muka dan belakang,
maupun cakra MINOR yang berada disekitar wilayah tulang belakang) yang punya
getaran tertentu untuk masing-masing titiknya. Pada beberapa praktek tarekat,
titik-titik itu dinamakan orang dengan istilah LATHAIF, akan tetapi
titik-titik yang diambil adalah yang berada diwilayah ulu hati (dada, yang
diyakini banyak orang sebagai tempat beradanya HATI atau QALB), bergerak ke
atas sampai ke kening, dan pada tahap akhirnya adalah seluruh tubuh itu
sendiri.
Titik-titik OBJEK OLAH PIKIR ini di
bersihkan, digetarkan, dan di olah dengan cara mengarahkan fikiran
(berkonsentrasi) kepada titik-titik CAKRA atau LATHAIF tersebut. Proses ini
biasanya distimulasi dan diperkuat dengan menambahkan simbol-simbol, bunyi-bunyian
atau suara-suara tertentu dengan frekuensi yang monoton pula. Pada reiki,
simbol objek fikir itu biasanya adalah dalam bentuk garis melingkar-lingkar dan
warna-warni dengan pola tertentu. Setiap pola itu diyakini oleh pemrakteknya
mempunyai vibrasi tertentu pula. Adapula kemudian yang ditambah dengan berbagai
teknik penahanan dan pengeluaran nafas yang diatur sedemikian rupa. Ada juga
yang menambahnya dengan gerakkan-gerakan tubuh, kaki, dan tangan dengan pola
tertentu. Dan ada pula yang mengikut sertakan suara-suara dan irama monoton
tertentu dengan durasi yang cukup lama. Pada praktek YOGA ataupun
meditasi-meditasi lainnya, yang dilakukan orang juga sama saja (walau dengan
kadar dan teknik yang berbeda-beda). Semua punya titik objek fikir, simbol-simbol,
gerakan-gerakan, dan bentuk-bentuk posisi tubuh tertentu yang gunanya tak lain
adalah sebagai ”SARANA” bagi pemrakteknya untuk mengolah arah fikirnya.
MAU DIKELUPASI
APANYA LAGI ...?.
Di dalam tarekat pun, objek untuk
praktek mengolah arah fikir ini nyaris sama saja. Pada salah satu tarekat,
misalnya, titik objek fikir itu mirip sekali, kalau tidak mau dikatakan sama,
dengan titik-titik objek fikir yang dipakai dalam praktek reiki, taichi, dan
yoga. Objek fikir di dalam tarekat ini disebut dengan istilah LATHAIF.
Misalnya, ada lathaif Qalbi (yang terletak dekat jantung, 2 jari
di bawah susu kiri, 2 jari lagi ke arah tengah dada), lathaif Roh
(yang terletak 2 jari di bawah susu kanan, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif
Sirri (yang terletak 2 jari di atas susu kiri, agak 2 jari lagi ke
tengah dada), lathaif Khafi (yang terletak 2 jari di atas susu
kanan, agak 2 jari lagi ke tengah dada), lathaif Akhfa (yang
berada di tengah dada), lathaif Nafsun Natiqah (yang berada di
antara 2 alis), lathaif Kullu Jasad (yang berada 2 jari di atas
pusar, tembus menuju ubun-ubun, lantas meliputi seluruh tubuh). Dan secara
kasat mata pun, beberapa lokasi lathaif ini sama persis dengan
posisi-posisi cakra yang ada dalam reiki, yoga, dan meditasi. Dan ternyata
memang masing-masing posisi lathaif atau cakra itu mempunyai sensasi
sendiri-sendiri.
Kemudian dalam riyadah rutin,
pemrakteknya menambahkan (dalam istilah tarekatnya MENGHUNJAMKAN atau
MENUSUKKAN) simbol tunggal, yaitu TULISAN HURUF ALLAH (dalam bahasa Arab)
setiap kali kita ”singgah” ke lathaif tertentu. Menusukkan simbol huruf
ALLAH itu harus diulang-ulang dengan jumlah yang berbeda bagi setiap lathaif.
Hunjaman kalimat Allah di lathaif-lathaif itu kemudian diafirmasi
(diperkuat) lagi dengan tambahan ucapan Allah atau Laa
ilaha illallaah dengan irama suara yang cepat dan monoton.
SEUNTAI BENANG MERAH...!
Berangkat dari pembahasan di atas, maka
sebuah benang merah sepertinya mulai dapat kita tarik, bahwa pada dasarnya
praktek reiki, taichi, yoga, meditasi, dzikir di tarekat atau rumah dzikir
tertentu, latihan tenaga dalam, dan latihan-latihan kesaktian lainnya sedikit
banyaknya ada kesamaannya, kalau tidak mau dikatakan serupa banget. Pada
semua itu ada ”sesuatu (titik)” yang dipakai sebagai objek tempat mengarahkan
fikiran, ada simbol-simbol sebagai penambah kemampuan berkonsentrasi, ada
suara-suara monoton yang dipakai, dan ada pula bentuk-bentuk tubuh tertentu
yang dipakai selama proses pengolahan jiwa sang pemrakteknya.
Karena yang diolah dalam reiki, taichi, yoga, meditasi,
dan tarekat tertentu adalah tubuh-tubuh (NAFS) juga, maka hasilnyapun nyaris
sama. Misalnya, seseorang yang telah mempraktekkannya beberapa waktu lamanya,
maka hampir semua praktikannya mengalami sensasi dapat merasakan
getaran-getaran tertentu. Dan ternyata getaran itu, dengan teknik pengarahan
fikiran tertentu, bisa dipakai untuk berbagai hal. Seperti untuk pengobatan,
untuk kesaktian, untuk melanglang buana di alam-alam penuh getaran,
sensasi-sensasi, rupa-rupa dan pandangan-pandangan tidak kasat mata lainnya.
Lalu semua fenomena itu tadi, kemudian dianggap sebagai
fenomena spiritual. Maka jadilah makna spiritual itu terpangkas dan mengecil.
Dan pada tatanan kehidupan praktis ”spiritualis” Hindu, Budha, Islam, pemraktek
yoga, reiki, meditasi, tenaga dalam (kesaktian) menjadi sulit untuk dibedakan
antara satu dengan yang lainnya. (Hampir) SAMA SAJA. Ya..., KULITNYA SAMA SAJA
!!!. Bedanya, paling-paling bisa dilihat dalam hal tata cara berpakaian,
berbicara, praktek-praktek ibadah dan simbol-simbol yang dipakai oleh mereka
masing-masing.
Ada yang menarik untuk diamati pada
tatanan spiritualitas seperti ini, bahwa hampir selalu para pemrakteknya
terlihat lebih lembut, lebih sabar, lebih tenang, dan lebih cool dari
orang kebanyakan. Seringkali pemrakteknya berkata: ”Saya ikut praktek ini... itu...!. Dalam sebulan saja saya bisa
merasakan perubahan yang besar dalam diri saya. Saya menjadi lebih tenang,
lebih sabar, lebih damai, lebih sehat..., dan blaaa..., blaaaa”. Yakin
benar para pemrakteknya dalam menceritakan hasil latihannya itu. Na lho kok sama
hasilnya...?. Realitas macam apa ini sebenarnya....???. Kalau dilihat
ciri-cirinya di atas, misalnya, pemrakteknya bisa merasa lebih tenang, damai,
luas, bahagia, cool, sehat, tidak banyak merasakan permasalahan walau
pun dia sedang dirundung masalah, maka realitasnya kok sama dengan suasana yang
disebutkan dalam Al Qur’an yaitu suasana JIWA YANG TENANG (NAFSUL
MUTHMAINNAH)....
KULIT
NAFSUL MUTHMAINNAH (JIWA, DIRI YANG TENANG)...
Dalam istilah agama Islam, ada sebuah
sifat jiwa (diri) yang disebut dengan JIWA YANG TENANG (Nafsul Muthmainnah).
CIRI-CIRI Nafsul Muthmainnah ini hanya sederhana saja, yaitu pada Nafs ini tiada lagi rasa kekhawatiran dan tiada kesedihan padanya (la khaufun 'alaihim wala hum yah zanun). Siapa saja dapat
merasakannya. Realitas suasana diri yang bersifat universal ini kalau
dibahasakan secara populer adalah, bahwa pada diri itu, otaknya tidak lagi
dihantam oleh gelombang badai fikirannya, dadanya tidak lagi dihantam oleh
galaunya perasaannya. Ya..., otak sang diri ini sudah tidak lagi
terkotak-kotak dalam berbagai persepsi yang sangat beragam dari orang ke orang,
dan dada sang diri itu juga sudah tidak bergolak lagi dengan berbagai
amukan perasaan baik perasaan senang maupun perasaan susah.
Ada diantara kita yang bisa sampai pada
suasana otak dan dada yang tenang ini saja sebenarnya sudah sangat bagus
sekali. Karena banyak juga diantara kita yang mengaku-ngaku sudah beragama,
tapi fikiran dan dada kita masih dipenuhi oleh badai fikiran dan amukan rasa
sehingga kita sibuk sendiri dengan apa-apa yang kita fikirkan dan rasakan itu.
Karena suasana jiwa yang tenang itu
adalah sebuah sunatullah, atau bisa juga disebut sebagai hukum positif yang
diturunkan oleh Sang Pencipta kepada seluruh umat manusia, maka semua manusia
juga akan bisa mendapatkannya. Ya…, SEMUA manusia, tak tergantung pada agama
dan suku bangsa, akan mampu meraih suasana otak dan dada yang tenang itu.
Karena manusia ini diciptakan Tuhan memang beragam, maka cara untuk mendapatkan
ketenangan otak dan dada itu juga bisa bermacam-macam. Boleh dikatakan cara
untuk mendapatkan jiwa yang tenang itu akan sama banyaknya dengan jumlah
manusia itu sendiri. Tak terbatas.
Salah satu cara yang dianggap orang
dapat menciptakan sensasi rasa tenang itu adalah dengan cara meyakini, bahkan
sampai benar-benar mengalami, apa yang dinamakan oleh pemraktek reiki, taichi,
yoga, dan meditasi lainnya itu dengan proses terbukanya CAKRA MAHKOTA, begitu
juga CAKRA DADA. Proses terbukanya cakra-cakra utama (mayor) ini ternyata
memunculkan fenomena-fenomena, dimana pemrakteknya seperti mampu merasakan
dirinya lepas dari sensasi ketubuhannya dan kemudian berubah menjadi sensasi
alam semesta. Terbukanya Cakra Mahkota, diyakini orang bisa menimbulkan sensasi
keluasan otak yang akan membuat otak itu menjadi tenang. Seperti juga halnya
sensasi keluasan dan kelapangan dada yang dipercaya orang dapat muncul dengan
telah bersihnya Cakra Dada.
Pasal apakah dengan terbukanya Cakra Mahkota akan
mempermudah orang untuk nyambung ke Allah, seperti pertanyaan Pak Rizki, saya
tidak dapat menjawabnya. Karena tentang Allah ini setiap agama bahkan setiap
orang punya persepsi sendiri-sendiri. Tentang Allah ini, setiap orang mempunyai
hubungan yang sangat pribadi sekali dengan-Nya. Sangat pribadi sekali. Hal ini
akan saya kupas lebih pada uraian “Kulit Sang Aku Diri”.
Akan tetapi, Cakra Mahkota yang sudah
terbuka boleh jadi memang dapat mempercepat hilangnya badai fikiran di otak
kita. Begitu juga dengan terbukanya Cakra Dada yang akan mengurangi amukan
berbagai perasaan. Boleh jadi pula orang yang telah mendapatkan keluasan dan
ketenangan fikiran dan dada itu dapat lebih mudah untuk menjadi manusia
universal.
Dari sekian banyak metoda itu, lalu ada
beberapa metoda yang menonjol. Ya…, wajar saja !!!. Karena di atas awan memang
masih ada awan. Beberapa metoda yang menonjol itu lalu dipasarkan oleh
pemrakteknya ke penjuru dunia. Dengan berbagai nama. Setiap nama itu mempunyai
ciri khasnya sendiri-sendiri. Siapa tahu ada yang mau nyobain juga.
Nah…, metoda-metoda yang sudah kita bahas di atas tadi adalah beberapa contoh
saja diantara metoda-metoda yang ada.
Bahkan dalam agama Islam, selain praktek tarekat di atas,
masih banyak metoda-metoda lainnya yang bisa dipakai. Misalnya puasa, zakat,
sedekah, haji, yang tujuannya adalah untuk mengolah diri (tadzkiyatunnafs)
agar bisa menjadi tenang. Shalat pun ternyata tujuannya adalah untuk membawa
peshalat kepada suasana jiwa yang tenang itu, sehingga sang jiwa itu bisa
tercegah dari badai fikiran dan rasa, yang dalam istilah agamanya disebut
sebagai: “si peshalat bisa tercegah dari perbuatan yang keji dan mungkar”.
Jadi dalam semua praktek-praktek agama
(agama apa saja) maupun praktek pengolahan dan penyucian diri yang begitu
beragamnya itu, pada tatanan DIRI (NAFS) itu sendiri akan mempunyai dampak yang
hampir sama. Semuanya menawarkan cara-cara untuk mencapai ketenangan diri, yang
realitasnya adalah lepasnya sang diri dari jebakan badai fikiran di otaknya dan
amukan perasaan di dadanya. Ya…, semua masih berada di kulit nafsul
muthmainnah saja sebenarnya. Jadi barangkali wajar saja kalau ada yang
orang memilih agama tertentu (bahkan sampai ada yang mau bertukar agama) atau
memilih praktek pengolahan diri tertentu karena dia mampu merasakan MANFAAT
dari apa-apa yang dia praktekkan dalam agama atau pengolahan dirinya itu.
Tapi kemudian muncul lagi pertanyaan. Setelah diri itu
tenang, lalu diri itu mau diapain…???. Dan buat apa agama ini sebenarnya…???.
KULIT SANG AKU DIRI…!!
Pada jiwa yang tenang (universal) itu
ternyata tetap saja masih “ada yang tahu”, yang sadar, bahwa diri itu sudah
berada dalam wilayah ketenangan, bahwa diri itu sangat luas. Diri itu
juga tahu bahwa yang melihat itu ternyata bukan mata, tetapi diri yang luas itu
sendiri. Diri itu juga sadar bahwa yang mendengar itu ternyata bukan telinga,
tetapi diri yang luas itu sendirilah yang mendengar. Jadi pada diri yang
universal ini ada bentuk pengakuan, dimana pengakuan ini ternyata adalah
rahmat yang diberikan oleh Allah buat semua manusia. Ya…, pada diri yang
universal itu ada “aku”, yaitu “sang aku diri”. Dan sang aku diri inilah
yang mengaku-ngaku, bahwa aku ini luas tak terbatas, aku ini damai, aku ini
melihat, aku ini mendengar, aku ini tahu. Dan puncak dari pengakuan itu adalah:
”aku ini ada (exist) … !!!!”.
Karena merasa ada (exist), maka
sang aku diri itu lalu punya keinginan…!.
Keinginan itu yang
sangat dominan diantaranya adalah:
1. Sang aku diri “ingin” meninggalkan realitas
ketubuhannya (MOKSA).
Pada keinginan seperti ini, sang aku diri ini merasa bahwa tubuhnya
ternyata adalah unsur yang penuh dengan suasana yang tidak menyenangkan,
sehingga sang aku diri ingin lepas dari tarikan sifat-sifat ketubuhannya. Lalu
sang aku diri ini ingin lari dari realitas ketubuhannya menuju, misalnya, ke
syurga. Karena sang aku diri ingin lari ke syurga, maka tidak jarang bayangan
syurga itu seperti benar-benar datang menghampirinya. Padahal gambaran
perjalanan ke syurga itu hanyalah sekedar memori-memori tentang syurga yang
telah duluan bersarang di otak sang aku diri itu. Karena gambaran dan realitas
tentang syurga itu hanya Allah dan Rasulnya sajalah yang tahu.
Begitu juga saat sang aku diri "ingin" bertemu dengan para
malaikat, para nabi-nabi, dan orang-orang shaleh lainnya, maka semua wujud yang
ingin ditemuinya itu akan datang silih berganti menjambanginya. Dan anehnya
kualitas pertemuan itu kadangkala lebih hebat dan lebih spektakuler
dibandingkan dengan cerita-cerita yang pernah ada.
Tak jarang dari pertemuan-pertemuan imajiner itu sang aku diri merasa bahwa
dirinya diangkat oleh malaikat menjadi Nabi baru, menjadi utusan Tuhan yang
suci di zamannya. Menjadi orang-orang yang terpilih. Dan kesemuanya itu seperti
benar-benar terjadi, REAL, NYATA. Dan untuk lebih meyakinkan lagi, maka anehnya
sang aku diri itu seperti mempunyai berbagai kelebihan yang mencengangkan pula.
Lalu sang aku diri itu menjadi sibuk dengan berbagai
pandangan-pandangan, kalimat-kalimat, huruf-huruf, suara-suara, dan pertemuan-pertemuan
dengan apa yang diinginkan oleh sang aku diri itu tadi. Pertemuan yang seperti
apapun dengan siapa pun dan sesulit apapun seperti bisa terjadi dengan
mudahnya. Lalu
jadilah sang aku diri itu menjadi sangat sibuk….!!!.
2. Sang aku diri “ingin”
bertemu dengan Tuhannya...!
Pada tingkat yang lebih rumit, sang aku diri itu ada pula yang
"INGIN" bertemu dengan Tuhannya. Lalu sang aku diri itu berusaha pula
melakukan perjalanan MI’RAJ (MOKSA) seperti yang disebutkan dalam uraian di
atas. Akan tetapi ternyata realitas Tuhan tidak akan pernah bisa diketahui
dengan kualitas MI’RAJ seperti itu. Kemana pun sang aku diri itu menghadap,
yang ditemukannya tetap saja suasana luas tak terhingga dan tidak ada
apa-apanya. KOSONG. Lalu sang aku diri itu merasa bahwa hanya dirinyalah yang
ada. Hanya aku yang ada….!!!, dan aku diri itu lalu “merasa” menjadi Aku
Yang Hakiki (Allah).
Dengan suasana seperti ini, maka kemudian muncullah pemahaman yang mengarah
pada konsep dua menjadi satu. Adakalanya, sang aku diri merasa BERSATU
dengan Sang Aku Hakiki (Allah). Adakalanya juga sang aku diri itu merasa bahwa
Tuhan beremanasi, menjelma kedalam dirinya. Ya…, “sang aku diri” lalu
merasa menjadi “Aku”…!!!, dan mulai ia mengaku : “Aku adalah Dia, Dia adalah
Aku; Aku adalah kebenaran…, Ana Allah…, Maha Suci Aku…, dan berbagai
pengakuan lainnya”.
Dan pengakuan pada wilayah kulit sang
aku diri ini, apalagi bagi yang sampai masuk ke dalam suasana penuh keinginan
seperti diatas, ternyata sangatlah menyiksa. Pengakuan di wilayah ini malah
bisa melahirkan keangkuhan baru bagi kita, sebuah keangkuhan spiritual.
KEANGKUHAN
SPIRITUAL … !!
Pada tatanan spiritual, tidak jarang
muncul keangkuhan bagi pemrakteknya yang biasa disebut orang sebagai kaum
spiritualis. Dalam agama Islam, keangkuhan spiritual ini diwakili, misalnya,
oleh kelompok-kelompok yang berbau tasawuf atau kesufian terhadap kelompok
lainnya yang dikelompokkan orang sebagai kelompok syariat (non spiritualis).
Kaum spiritualis umumnya sangat meremehkan kaum syariat yang mereka anggap
sebagai kumpulan orang-orang yang tingkat pemahaman agamanya hanya terbatas
pada penerapan hukum-hukum formal saja. Sehingga adakalanya sang spiritualis
itu sangat meremehkan sekali syariat agama yang ada. Syariat dianggap mereka
hanya untuk orang-orang yang belum mencapai tingkatan pendakian spiritual.
Bahkan sang spiritualis dengan mudahnya
melanggar syariat itu sendiri seperti, dia mabuk-mabukan, suka perempuan lain
yang bukan istrinya, dan sebagainya. Karena sang spiritualis sudah merasa bahwa
sang aku dirinya adalah kebenaran itu sendiri. Apapun yang dia lakukan, maka
dia menganggap bahwa hakekatnya semua itu adalah kebenaran. Dalam istilah
umumnya suasana spiritualis seperti ini dinamakan orang dengan wilayah sufi
yang sedang HELAF.
Pada taraf tertentu pun, terutama bagi
spiritualis yang sudah bisa menjalankan kesadarannya atau fikirannya “menembus
alam-alam imajinasi”, tidak jarang pula mereka malah melecehkan syariat itu
sendiri. Misalnya mereka tidak lagi melakukan shalat. Karena dengan teknik
perjalanan rohaninya, sang spiritualis merasa bahwa dirinya telah shalat di
Mekkah, padahal saat itu dia masih berada di daerahnya sendiri. Dan biasanya
sang spiritualis itu sebaliknya malah bisa dzikir (wirid) dalam waktu yang
sangat lama.
Atau bisa juga sang spiritualis tetap
menjalankan shalatnya, akan tetapi ada kalanya dia dalam shalatnya itu
mengalami apa yang disebutnya sebagai fana, dimana di
tengah-tengah shalatnya sang spiritualis mengalami suasana perjalanan (moksa)
menemui Tuhan. Sang spiritualis itu terjatuh ketika shalatnya dan keadaannya
berada dalam suasana seperti pingsan. Keadaan seperti ini yang diyakini oleh
pemrakteknya sebagai fana, dapat berlangsung lama. Dan begitu kesadarannya
kembali, maka dianggap selesai pulalah shalatnya. Dan pemrakteknya meyakini
bahwa inilah tingkatan shalat yang paling tinggi. Dulu, sewaktu menjalani suluk
di sebuah tarekat, saya pernah sebentar terjebak dalam suasana seperti ini.
Akan tetapi setelah dikelupasi kulitnya seperti ini, ternyata istilah MI’RAJ
dalam pengertian seperti ini sama persis dengan MOKSA dalam istilah agama lain.
Tidak jarang pula ada spiritualis yang
hanya asyik masyuk dengan Tuhannya. Sehingga setiap saat sang spiritualis
dibuat sibuk dengan keasyik-masyukkannya dengan Tuhan itu. Dan biasanya sang
aku diri yang seperti ini bawaannya malas-malasan, tidak mau bekerja, inginnya
menyepi terus ke tempat-tempat sunyi. Sehingga fungsi kekhalifahannya sudah
nyaris hilang sama sekali. Dia menjadi sibuk dengan dirinya sendiri.
MENGAMBIL PELAJARAN…!!
Pada lapisan kulit sang aku diri ini,
semua agama dan praktek-praktek riyadah (olah jiwa) boleh jadi masih berada
dalam wilayah yang sama, yaitu wilayah sang aku diri. Dapatlah dikatakan bahwa
kulit terakhir yang tersisa dari usaha mengupas kulit bawang spiritual ini
adalah sang aku diri.
Sekarang pertanyaannya adalah:
“Sudahkah spiritual itu berakhir hanya
sampai dikulit terakhir ini…??”.
“Apakah spiritual itu berhenti
dipengakuan sang aku diri (nafs)… ini ??”.
MELEPAS KULIT TERAKHIR, KETIADAAN, FANA…
Berada dalam jerat pengakuan sang aku
diri ini, tanpa disadari, sangatlah menyibukkan dan bahkan sangat menyiksa,
bagi orang yang tinggal di wilayah ini. Padahal kalau orang sudah berada dalam
kesadaran sang aku diri ini, dimana orang tersebut tidak lagi terpengaruh
dengan berbagai ragam dan perbedaan pemikiran, termasuk perbedaan pemahaman
keagamaan, maka sebenarnya tinggal SELANGKAH saja lagi tugas sang aku diri itu.
Yaitu PENGEMBALIAN keakuan sang aku diri itu kepada Sang Aku Yang
Sebenarnya, yaitu Aku Allah. Ya…, sang aku diri tinggal tidak mengaku
saja. Runtuhnya pengakuan sang aku diri inilah yang disebut sebagai FANA yang
hakiki. Artinya...,
dengan kerendahan hati:
- Sang aku diri tidak lagi mengaku luas. Kembalikan luas itu pada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Luas. Biarlah Yang Maha Luas itu sendiri yang mengaku Luas.
- Sang aku diri tidak lagi mengaku melihat. Kembalikan melihat itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Melihat. Biarlah Sang Maha melihat itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa melihat kepada sang diri (nafs).
- Sang aku diri tidak mengaku mendengar. Kembalikan mendengar itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Mendengar. Biarlah Sang Maha Mendengar itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa mendengar kepada sang diri (nafs).
- Sang aku diri tidak mengaku tahu. Kembalikan tahu itu kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu. Biarlah Sang Maha Tahu itu mengaku bahwa Dialah yang mengalirkan rasa tahu melihat kepada sang diri (nafs).
Proses sang aku diri untuk tidak
mengaku-ngaku inilah sebenarnya makna lain dari "laa ilaaha
illallah".
Tiada yang luas kecuali Dia Yang Luas.
Tiada yang melihat kecuali Dia Yang
Melihat.
Tiada yang mendengar kecuali Dia Yang
Mendengar.
Tiada yang tahu kecuali Dia Yang Tahu.
Tiada apa-apa yang ada kecuali Dia Itu
Yang Ada.
Posisi TIDAK MENGAKU seperti ini
persis sama dengan posisi tumbuh-tumbuhan, posisi gunung-gunung, posisi
matahari dan bintang-bintang, posisi langit dan bumi, posisi alam semesta,
posisi malaikat. Semuanya tunduk dan patuh kepada Kehendak Tuhan. Semua
bersikap sebagai hamba yang selalu RELA, RIDHA menerima kehendak dan kemauan
dari Tuhan, dan Tuhan pun rela dan ridha berhendak dan berkemauan kepada sang
Hamba itu…
“… Allah ridha
terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang
paling besar". (Al Maidah 119, dan dibeberapa ayat
lainnya).
Suasana wilayah SALING RIDHA antara Hamba dengan Tuhannya
inilah yang bisa disebut sebagai wilayah FANA yang hakiki…!!. Dan FANA seperti
ini ternyata ADA SUASANANYA, ADA REALITASNYA. Jadi bukan hanya sebatas
kata-kata, kalimat-kalimat dan definisi-definisi dari otak kita.
Disamping itu, proses pengembalian
keakuan sang aku diri ini haruslah dilakukan dengan tanpa daya dan tanpa usaha
kita sendiri..., karena tiada daya dan upaya, kecuali hanya daya dan upaya
dari Tuhan. Pengembalian yang hakiki itu hanya dan hanya bisa kalau kita
DITUNTUN oleh Allah sendiri. Karena yang tahu tentang Allah, hanya Allah itu
sendiri. Makanya kita selalu berdo'a dalam shalat kita: "Ya
Allah..., tuntun saya...". Dan yang paling penting untuk kita luruskan
dalam kita berdo’a ketika minta dituntun oleh Allah adalah: kita jangan
sekali-kali mengarahkan do’a itu kepada benda-benda, bentuk-bentuk, bayangan-bayangan,
dan persepsi-persepsi apapun.
Kalau pengembalian itu masih dengan daya dan usaha dari
sang aku diri, maka namanya sang aku diri itu masih ada, masih eksis. Dan sang
aku diri itu akan tersiksa sekali, tatkala do’a kita tidak bersambut, yaaa…,
seperti kita-kita sekarang ini. Sehingga apa saja bisa berubah menjadi siksa.
Beda pendapat jadi siksa. Beda agama jadi siksa. Beda suku jadi siksa.
Begitu juga kalau pengembalian keakuan sang aku diri itu
diarahkan kepada benda-benda atau alam-alam, artinya kita mengarah kepada yang
BUKAN pencipta alam semesta sendiri, maka kita akan dibuat sibuk oleh Allah
dengan segala sesuatu yang bersifat kealaman itu.
Sebaliknya saat mana sang aku diri itu
"bersedia" dibimbing oleh Allah untuk tidak mengaku, dan posisi tidak
mengaku itu berhasil dia raih, artinya sang aku diri sudah tiada, FANA,
maka yang ada tinggal hanya Yang Ada, Yang WUJUD, yaitu Aku Yang
Hakiki (Allah). Aku yang bening dan merdeka, artinya Aku yang berkehendak
dengan sendirinya. Pada posisi seperti ini, sang aku diri benar-benar hanyalah
menjadi seorang HAMBA yang bersedia:
- Otaknya "dipakai" oleh Allah untuk berkreasi dan menciptakan peradaban bagi umat manusia…,
- Dadanya "dipakai" oleh Allah untuk mengalirkan kehendak dan kemauan-Nya,
- Kelaminnya "dipakai" oleh Allah untuk proses pembiakan umat manusia.
Dan...., lalu kita hanya tinggal
menjadi SAKSI SAJA atas perbuatan Allah, atas kehendak Allah, atas kreasi
Allah, atas grand design Allah dalam meramaikan dan menata alam
ciptaan-Nya ini. Sungguh tidaklah sia-sia semua ini berada di dalam genggaman
Allah. Semua diatur-Nya, semua di tata-Nya, semua diurus-Nya tanpa henti. Walau
kita tidak mau mengakui peran-Nya sekali pun, Dia tidak peduli. Dia akan Maha
Sibuk dengan segala ciptaan-Nya, karena memang segala ciptaan-Nya itu hanya
bergantung kepada-Nya …
Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap
waktu Dia dalam kesibukan (Ar Rahman 29).
Dan Rasulullah Muhammad SAW, dengan
kualitas diri Beliau seperti ini, dimana “sang aku” Beliau, sudah lenyap,
Rasulullah ternyata menghadap kepada Allah dengan tidak membawa apa-apa. Tidak
membawa ilmu, tidak membawa amal, tidak membawa ibadah, tidak membawa tahu, tidak
membawa melihat, tidak membawa mendengar. Beliau semata-mata hanya sebagai
HAMBA yang mau menjadi ALAT ALLAH untuk menjadi RAHMAT bagi alam semesta,
rahmat bagi segenap umat manusia. Dan peletakan dasar-dasar bagi fungsi rahmatan
lil a’lamin itu itu berhasil Beliau bangun.
Hanya sayang…, bahwa generasi-generasi
penerus Beliau ternyata banyak yang tidak amanah…!. Sehingga akibatnya sekarang
Islam itu seperti dilecehkan oleh dunia. Kasihan Rasulullah….!!!.
Lalu apakah kita juga mau ikut-ikutan menjadi
generasi yang tidak amanah itu…?, Lalu apakah kita juga mau mewariskan
ketidakamanahan itu berestafet kepada anak cucu kita…???. Padahal banyak sudah
pelajaran yang muncul dihadapan kita atas tidak amanahnya kita dan
generasi-generasi terdahulu itu. Begitu nyata akibat buruknya…!!. Lalu kenapa
akibat buruk itu tidak kita jadikan sebagai bahan pelajaran buat kita untuk
merubahnya kembali menjadi baik…??. Betapa sombongnya kita ini dengan tidak mau
menjadi penyambung tangan Rasulullah, penyambung lidah Rasullah.
ADA YANG TIDAK KULIT BAWANG…, ADA …!!!
Setelah kulit terakhir sang aku diri ini dikelupasi,
sehingga sang aku diri itu sudah kehilangan keakuannya, TIADA, FANA, maka yang
tinggal hanya ADA…!, yang tidak sama dengan kulit bawang. Tidak ada kata
seperti lagi pada ADA itu…!. ADA itu TIDAK seperti kulit bawang. Yang lain…,
ya… TIADA. Sedangkan ADA itu TIDAK seperti apa-apa… !!. Tapi ADA…!!!!. ADA…!!!.
Maka akupun berseru kepada Sang ADA itu:
Subhanaka....!!!. Subhanaka…!!!, Subhanaka…!!.
Maha Suci Engkau…!!!. Maha Suci Engkau…!!!. Maha Suci Engkau…!!!.
Dan Sang Ada itu pun menjawab
panggilanku:
Subhanii....!!!. Subhanii…!!!, Subhanii…!!.
Maha Suci Aku …!!!. Maha Suci Aku…!!!. Maha Suci Aku…!!!.
Dan akupun menegaskan lagi:
Laa ilaaha illaa anta..!!!, Laa ilaaha illaa anta…!!!. Laa ilaaha illaa
anta…!!!.
Tiada Tuhan selain Engkau…, Tiada Tuhan selain Engkau…, Tiada Tuhan selain
Engkau…,
Dan Sang Ada itu pun menjawab dengan
ketegasan yang amat sangat:
Laa ilaaha illa
Ana … !!, Laa ilaaha illa Ana … !!, Laa ilaaha illa Ana … !!
Tiada Tuhan selain
Aku…!!!, Tiada Tuhan selain Aku…!!!, Tiada Tuhan Selain Aku…!!!
Lalu aku berlari merunduk-runduk dan
mencoba melihat Wajah-Nya:
Laa ilaaha illa Huu … !!, Laa ilaaha illa Huu … !!, Laa ilaaha illa Huu …
!!
Tiada Tuhan selain Dia …!!!, Tiada Tuhan selain Dia …!!!, Tiada Tuhan
selain Dia …!!!,
Dan Sang Ada itu pun bernyata
dihadapanku:
Ana Allah…!!, Ana Allah …!!, Ana Allah …!!,
Aku Tuhan…!!, Aku Allah…!!!. Aku Allah…!!!
Dan akupun menyambutnya dengan
kegembiraan:
Huu …!!, Huu …!!, Huu
…!!,
Dia…!!, Dia…!!!,
Dia…!!!.
Dan Tuhan-ku lalu menyambutku dengan
mesra:
Innani Ana…!!, Ana…!!, Ana…!!, Ana…!!,
Ini Aku….!!, Aku….!!, Aku….!!, Aku…………….
Lalu akupun tenggelam dalam pandang
memandang dengan Tuhanku …!!!!.
- - - - - - - - !!!, - - - - - - - - - !!!, - - - - - - - - - !!!,
Diam……., Hening…………………………………………….
…………………………………………………………………………
………………………………………………………………….……..
SANG PENANAM
BAWANG…
Lalu Tuhanku pun menyusupkan pencerahan-Nya kedalam
dadaku:
Sebelum ada
apa-apa….,
Yang ada adalah
Wajah Tunggal Yang Meliputi,
Waktu itu masih
alam AHADIAT, tidak ada rupa tidak ada warna.
Kemudian alam WAHDAT, semua tumbuh dari Yang Tunggal.
Kemudian Allah
punya sir (kemauan):
Aku ini perbendarahaan tersembunyi,
kemudian Aku ingin dikenal,
Kemudian Aku menciptakan makhluk-Ku,
Dengan Allah-lah mereka mengenal Aku. (hadits
qudsi)
Dari sebuah
keheningan dan kesenyapan abadi, Aku lalu “mengalirkan” segala kehendak-Ku
untuk merenda alam semesta, untuk merangkai kehidupan, untuk menganyam
kebudayaan umat manusia. Kemudian Aku bersabda: Kun… Jadilah…!!!, Kun
fayakun… maka jadilah…!!!.
Kehendak-Ku
itu lalu Aku alirkan kedalam “rumah tempat-Ku berkehendak”, yaitu
dada hamba-hamba-Ku, sehingga seakan-akan hamba-Ku itulah
yang punya kehendak untuk membangun peradabannya sendiri; sehingga seakan-akan
hamba-hamba-Ku itu punya kehendak untuk berkembang biak demi melanjutkan
keturunannya. Padahal sebenarnya dari Aku lah semua kehendak dan
keinginan itu.
Lalu Ku
alirkan kedalam “rumah tempat-Ku mencipta”, yaitu otak hamba-Ku
segenap sarana, fasilitas, dan kemampuan untuk mewujudkan kehendak-Ku
dalam membangun peradabannya itu. Aku aliri otak hamba-hamba-Ku
dengan rencana-rencana, dengan rancangan-rancangan, dengan
perhitungan-perhitungan; sehingga seakan-akan hamba-hamba-Ku itu bisa
merencana, bisa merancang, bisa mencipta dengan sendirinya; sehingga
hamba-hamba-Ku itu seperti bisa membangun, bisa merombak, bisa menanam
peradabannya sendiri; sehingga hamba-hamba-Ku itu seperti serba bisa ini
dan itu…, serba ramai….!!!. Padahal sebenarnya Aku lah yang membangun
semua itu, karena memang Aku adalah Sang Grand Designer
kesemuanya itu.
Lalu Ku
alirkan juga kedalam “rumah tempat-Ku mengembang biakan manusia”, yaitu kelamin
hamba-hamba-Ku, segenap sarana, fasilitas, dan kemampuan untuk
mewujudkan kehendak-Ku dalam menjaga keturunan umat manusia. Di rumah
pembiakan-Ku itu telah Aku siapkan rasa enak, Aku siapkan
libido, Aku siapkan daya, Aku siapkan juga Rahim. Aku
telah siapkan semua, sehingga seakan-akan manusia itu seperti bisa berbiak
dengan sendirinya. Padahal Aku lah Sang Pembiak itu yang sebenarnya.
Tapi ingatlah
wahai hamba-hamba-Ku, Aku ini sangatlah pencemburu. Jadi
janganlah kalian wahai hamba-hamba-Ku sibuk dengan kulit-kulit bawang
itu. Karena kalau kau sibuk dengan kulit-kulit bawang itu, maka kau akan
menjadi hamba dari kulit bawang itu, kau akan dibuat sibuk oleh kulit-kulit
bawang itu sehingga kau menjadi lupa kepada-Ku.
Maka…, agar kalian
wahai hamba-hamba-Ku tidak sibuk dengan kulit bawang itu, Ku-buatkan
rasa perih dimatamu setiap kali kalian mengupasnya, sehingga kalian tidak
sanggup lagi memandangnya berlama-lama. Lalu Ku-buatkan pula rasa enak
saat kalian memakannya, sehingga kalian ingin buru-buru menggorengnya, dan
kemudian menikmatinya. Ya… kalian hanya tinggal menikmati saja RASA
kulit bawang itu…!!!.
Maka nikmat
Tuhanmu yang mana lagi yang akan kamu dustakan wahai hamba-hamba-Ku …?.
Maka dengan
pengajaran seperti apa lagi kalian bisa mengerti wahai hamba-Ku…??.
Jadi lihatlah…, Aku
lah Sang Penanam bawang itu, dan Aku pulalah yang menjadikan bawang itu
mempunyai kulit berlapis-lapis. Semua itu Ku ciptakan untuk kalian, agar
kalian wahai hamba-hamba-Ku bisa memetik pelajaran dari setiap kulit
bawang yang ku buat itu, sehingga kau bisa menyadari keberadaan-Ku.
Adalah dari Ku kesemuanya itu. Aku lah sumber dari segala
sesuatunya. Aku lah sumber keberadaan. Karena Aku lah Sang ADA…..!!.
Aku lah Allah…..!!!.
Innanii Ana Allah, Laa ilaaha illaa Ana, Fa’budni, wa aqiimishshalata
lidzikri, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah,
tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat Aku (Thahaa 14).
Maka akupun “datang” merunduk-runduk
kepada-Nya, akupun bersimpuh dihadapan-Nya, akupun sujud dan menyembah
kepada-Nya, dan akupun memuja kepada-Nya:
Subhanallah
Alhamdulillah,
Laa ilaha illallah,
Allahu Akbar,
Laa haulaa wala quwaata illa billahil ‘aliyyil ‘adhiem,
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad…
SANG SPIRITUALIS SEJATI…
Akhirnya sampailah kita pada bagian
akhir dari pembahasan tentang perjalanan mengupas kulit bawang spiritual ini.
Di penghujung kupasan ini, secara jelas dapat dilihat bahwa sang spiritualis
sejati itu ternyata hanyalah manusia-manusia yang berkualitas sebagai HAMBA
dihadapan TUHAN. Tidak lebih. Lalu sang hamba itu dengan sadar, rela dan ridha
membiarkan otaknya, dadanya, dan kelaminnya dipakai oleh Tuhan untuk mewujudkan
kehendak-Nya yang suci dalam membangun peradaban manusia itu sendiri dari zaman
ke zaman. Sang Hamba itu tidak membiarkan sedikit pun dorongan-dorongan dari
dirinya sendiri (hawa un nafs) untuk mengotori kesucian dan kemurnian
kehendak Tuhan yang dialirkan kepadanya.
Jadi…, dari sang spiritualis sejati
inilah diharapkan lahir ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, biologi,
matematika, ekonomi, perdagangan, industri, kesehatan, hukum, seni, budaya, dan
sebagainya. Dan kesemuanya itu dibingkai dengan kesadaran berketuhanan.
Sang spiritualis sejati itu ternyata
adalah seorang insinyur, seorang dokter, seorang ekonom, seorang ilmuwan,
seorang pedagang, seorang seniman, seorang polisi, seorang hakim, seorang
presiden, seorang petani, dan setiap orang yang telah mampu membingkai
hari-harinya dengan kesadaran kepada Tuhan (dzikrullah).
Ringkasnya adalah, bahwa spiritualis
sejati itu adalah seorang hamba Tuhan yang bekerja dan dia sekaligus juga
bersedia menjadi alat Tuhan untuk mampu mempekerjakan hamba-hamba Tuhan
lainnya. Spiritualis sejati itu adalah seorang hamba Tuhan yang mampu
mengkreasi rizki dan sekaligus dia juga bersedia menjadi alat Tuhan untuk
mengalirkan rizki kepada hamba-hamba Tuhan lainnya. Dan…, segala macam
aktivitasnya itu TIDAK sedikit pun membuat sang spiritualis sejati itu lalai
dari mengingat dan menyadari GERAK TUHAN yang mengalir kepadanya. Seorang
berkarakter ULUL ALBAB saja sebenarnya. Seperti omongan Tuhan berikut ini:
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula)
oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang,
dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu)
hati dan penglihatan menjadi goncang”. (An Nuur 37)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ULUL ALBAB
(orang-orang yang berakal), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka”. (Ali Imran 190-191),
Karena, kalau peradaban ini dibangun
oleh manusia yang BUKAN berkarakter ULUL ALBAB, maka itu ternyata
sangatlah BERBAHAYA sekali …!!!.
SEKEDAR NASEHAT PENDEK…
Alangkah besar siksa Allah jika
"TEMPAT SUCI (RUMAH-NYA)" dimana Allah mengalirkan kehendak-Nya
untuk berkreasi, menciptakan, dan mengembangbiakkan manusia berikut peradaban
yang akan mengiringi manusia itu dari zaman kezaman kita kotori dengan
berbagai tindakan yang negatif (fujur) akibat dari dorongan diri (HAWA UN
NAFS). Oleh
karena itu:
l Tatkala
sang aku diri mengotori kelaminnya dengan kehendak percabulan yang datang dari
dorongan keinginan sang diri itu sendiri (hawa un nafs), maka berbagai
perbuatan cabul pun akan dialirkan-Nya sambung menyambung kepada diri itu, tak
terkendalikan. Dan hal itu pasti akan membawa rasa tersiksa bagi sang
diri itu sendiri.
l Tatkala sang aku diri mengotori dadanya dengan kehendak
dan keinginan yang diharamkam (misalnya dengan memasukkan makanan dan minuman
yang haram), maka apa saja juga bisa menimbulkan keinginan marah, benci, iri,
dengki, dan perilaku-perilaku negatif (fujur) lainnya. Dan semua kefujuran
ini juga ternyata adalah siksa demi siksa yang sangat pedih bagi sang diri itu
sendiri.
l Dan tatkala sang aku diri mengotori otaknya dengan
fikiran-fikiran negatif dan kotor, maka apa saja bisa diciptakan oleh sang diri
itu untuk merusak peradaban. Dan semua kerusakan peradaban itu juga ternyata
adalah siksa yang memiriskan hati bagi sang diri itu sendiri.
l Memang, semua pengotoran rumah Allah itu buahnya semata-mata adalah
SIKSA....!!!. SIKSA
Yang Pedih.
Lalu
kenapa kita tidak mau menghormati rumah suci (bait Allah) tempat Allah
berkehendak, berkreasi, mencipta, membiakkan diri manusia, dan berikut
menganyam peradaban manusia?. Sedangkan malaikat
sendiri sampai-sampai tersungkur sujud menghormatinya..?
Duh… Gusti…, betapa sombongnya kami ini …,
Ya Allah…, betapa tidak amanahnya kami…,
Ampuni kami semua Ya Allah…,
Tuntun kami semua ya Allah…,
Rahmati kami semua ya Allah…,
Demikian…, wallahua’lam…
Selesai Artikel “MENGUPAS KULIT BAWANG SPIRITUALITAS”
Cilegon,
26 Desember 2004, 08:00
وَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Deka