MANUSIA, SEDERHANA SAJA …!
Sudah sangat
jamak imajinasi di masyarakat umum, bahkan sejak zaman dulukala, bahwa manusia
harus mengenal dirinya sendiri dulu baru setelah itu dia bisa mengenal
Tuhannya, man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu dalam bahasa
Arabnya. Ini sebuah pameo yang banyak beredar di masyarakat. Ada
yang menolaknya, dengan alasan bahwa ungkapan ini bukan hadits dari Rasulullah.
Orang yang menolak ini berpendapat bahwa ungkapan ini adalah bahasa para filsuf
yang bergelut di bidang FILSAFAT. Tapi adapula yang menerimanya hanya karena ada
bahasa Arabnya, atau malah ada pula orang yang meyakininya sebagai Al Hadits.
Sehingga kemudian banyaklah orang yang berusaha mencari tahu siapa dirinya ini.
Dirinya itu hilang kali ya…, atau tersembunyi entah dimana, sehingga
perlu dicari kembali sampai ketemu.
Dari hasil
pencarian itu, maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang diri manusia itu.
Ada yang ketemu bahwa dirinya adalah diri yang penuh dengan nafsu kotor
sehingga perlu dibersihkan dulu kekotorannya itu. Bersih-bersih diri dulu tahapan
awalnya. Maka sibuklah orang dengan laku pembersihan diri (tadzkiyatun nafs).
Tapi nggak tahu tuh apa dirinya bisa benar-benar bisa bersih atau tidak.
Ada juga yang
ketemu bahwa dadanya kok bergolak terus dengan berbagai rasa amarah, benci, iri,
dengki, sedih, senang, bahagia yang pilin berpilin nggak terduga-duga.
Berubahnya rasa tadi itu terjadi seperti acak. Polanya rumit. Sehingga ada pula
kemudian sibuk untuk mengelola dan mengatur hati ini agar hati tersebut berada
di satu sisi saja, yaitu sisi yang bahagia, senang, tidak marah, tidak iri,
tidak benci, dan tidak-tidak negatif yang lainnya.
Kemudian dari
hasil perjalanan panjang mengolah diri dan hati itu, maka mucullah
konsep-konsep mengenai JATI DIRI, DIRI YANG SEJATI, dan sebagainya. Pada
umumnya konsep ini sangat susah untuk dipahami apalagi untuk dijalani. Sehingga
banyaklah orang yang merasa pesimis. Lalu sang pesimis menghindar dengan
menyalahkan takdir Tuhan pula. “Tuhan sudah menakdirkan saya jadi begini…,
dst.”
Padahal siapa
dan bagaimana diri kita ini yang sebenarnya sudah nggak usah dicari-cari lagi.
Nggak usah capek-capek lagi nyari kesana kemari. Tinggal kita baca satu dua
ayat Al Qur’an, dimana Sang Pencipta diri kita ini telah menerangkannya dengan
sangat jelas. Karena Dia lah yang sangat tahu tentang diri kita ini. Setelah
itu, kita lalu minta tolong saja kepada Sang Pencipta kita itu untuk memberikan
kita kepahaman, kesadaran atas ayat Al Qur’an yang menerangkan serba-serbi diri
kita itu. Sebab, kalau kita yang mencari-cari diri kita sendiri, maka hasilnya
juga hanyalah kira-kira atau persepsi saja. Masak jeruk bisa makan jeruk...!.
Nah…, Al Qur’an
dengan sangat gamblang telah menerangkan bahwa yang disebut sebagai manusia itu
hanya punya dua substansi saja, yaitu NAFS dan RUH. Nggak lebih dan
nggak kurang. Sederhana sekali. Sangat sederhana malah.
Di satu sisi,
nafs adalah substansi yang berasal dari saripati tanah yang dibentuk Allah
dengan sangat sempurna berikut dengan segala sifat, dorongan, dan
kecenderungannya. Dan di sisi lain, ruh adalah substansi yang berasal dari
Allah, sehingga Allah menyebut ruh itu dengan sangat mesra sebagai Ruh-Ku.
Allah tidak
sedikit pun menerangkan bahwa ruh itu adalah ciptaan-Nya. Allah
menyebutkan bahwa ruh itu adalah Ruh-Nya. Bukan ciptaan-Nya.
Apalagi penggambaran konyol bahwa ruh itu seperti pocong, huh… lebih-lebih
tidak berdasar lagi. Tidak seperti itu. Nggak tahu dari mana tuh asal
muasalnya imajinasi liar tentang ruh seperti itu. Allah hanya menyatakan
bahwa ruh itu adalah mengikuti rahasia dan fitrah Allah. Dan tidaklah kita
diberitahu tentang ruh itu kecuali hanya sedikit. Tapi siapa yang dapat menakar
sedikit menurut Allah itu…?. Nah temukanlah pengetahuan yang sedikit
menurut Allah itu. Namun yakinlah bahwa sedikit menurut Allah itu sungguh
sangat-sangat-sangat banyak sekali untuk ukuran kita. Seperti nggak
habis-habisnya begitu…!.
Akan
tetapi, kalau kita tidak mau berhenti memahami bahwa diri kita ini hanyalah
NAFS dan RUH, artinya kita masih mau mencari tahu tentang diri kita ini lagi,
memangnya mau dicari kemana…?, dan seperti apa lagi maunya diri kita ini
…?. Sudah sangat jelas begitu kok. Kita manusia ini hanyalah terdiri dari NAFS
dan Ruh. Titik….!!.
MENGUAK KESADARAN EKSISTENSIAL…
Sekarang
pengetahuan kita tentang TUHAN dan tentang MANUSIA sudah menjadi sangat
sederhana. Bahwa pada dimensi ketuhanan, yang ada hanyalah ALLAH dan ALAM.
Sedangkan pada dimensi kemanusian, yang ada hanyalah Ruh dan NAFS.
ALLAH adalah
WUJUD yang meliputi ALAM, dan alam adalah substansi yang diliputi oleh WUJUD
ALLAH. Sebutlah alam apa saja, apakah itu alam semesta, ataupun alam-alam gaib
seperti alam akhirat, alam syorga, alam neraka, alam malaikat, alam jin, alam
syetan, alam pikiran, alam khayalan, dsb. Maka semua itu PASTILAH berada dalam
liputan Allah. Karena liputan Allah itu begitu kolosal dan besarnya, maka Allah
disebut juga sebagai Sang Maha Besar. Begitu juga karena ketinggian yang tak
terukur pun berada dalam liputan Allah, maka Allah disebut juga sebagai Sang
Maha Tinggi. Artinya adalah bahwa kemana pun kita menghadap, maka yang nyata
adalah Wujud Tuhan yang meliputi segala sesuatu.
Sedangkan untuk
mengerti tentang eksistensi Ruh dan NAFS, marilah kita buka kembali peta yang
memang telah disiapkan Sang Pencipta untuk umat manusia, yaitu Al Qur’an. Dalam
surat Al Qiyamah ayat 14 Allah berkata:
“Bahkan pada
manusia itu diatas dirinya (Nafs) ada yang tahu (Bashirah).
Artinya, sang
bashirah inilah yang mampu untuk menjadi saksi atas diri manusia itu sendiri
(NAFS). Substansi macam apakah bashirah ini, sampai-sampai sang bashirah bisa
tahu tentang apapun tentang diri manusia..?.
Jawaban
pertanyaan ini bisa kita lihat dalam surat As Sajdah ayat 7-9:
“Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
kepadanya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Dan dalam surat
Al Mujadilah ayat 22:
“…Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan RUH-NYA…”
Ini berarti
bahwa Ruh-Nya atau kita ringkas saja menjadi Ruh yang dialirkan kepada Nafs,
merupakan substansi yang selalu mengawal Nafs dari waktu ke waktu. Abadi
liputan Ruh atas Nafs itu. Hanya karena liputan Ruh atas Nafs inilah yang
menyebabkan Sang Nafs bisa mengarungi hidup baik itu di alam dunia, maupun di
alam akhirat. Ruh ini pulalah sebenarnya substansi yang hidup, yang kuat, yang
bergerak, yang melihat, yang mendengar, yang tahu. Karena memang Sang Ruh berasal
dan mendapat pengajaran dari Yang Maha Hidup, Yang Maha Kuat, Yang Maha
Bergerak, Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Tahu. Sedangkan
Sang Nafs hanyalah semata-mata substansi yang bersandar mengikuti apapun fitrah
dari Sang Ruh.
Kalau begitu,
substansi yang hakiki pada seorang manusia adalah Ruh itu sendiri. Tepatnya Aku
yang hakiki bagi manusia adalah Sang Ruh ini, Sang Bashirah. Sedangkan Nafs
boleh dikatakan hanyalah substansi yang tidak bisa apa-apa. Substansi yang
diam, bodoh, buta, tuli, tidak tahu. Dalam bahasa agamanya sifat dan keadaan
seperti ini disebut sebagai FANA. Ya seperti mayat begitulah, atau seperti
orang pingsan, orang koma. Atau yang paling dekat dengan kita sehari-hari yaitu
orang yang sedang TIDUR.
MERANGKAI KESADARAN AWAL…
Sekarang mari
kita lanjutkan membenahi kesadaran kita yang selama ini tertutup tentang
eksistensi manusia dan Tuhan. Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam
ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu di atas kalau
kita memang masih mau memakainya. Mari kita duduk rileks sejenak untuk mengenal
diri kita yang hakiki. Lakukanlah perubahan kesadaran sebagai berikut:
·
Pejamkan sajalah mata dengan ringan. Kening nggak usah
berkerut-kerut seperti orang yang sedang berpikir tentang sesuatu. Santai saja.
·
Sadari ada kaki kita. Kalau belum bisa sadar cobalah
pegang kaki itu. Oooo…, ada kaki saya yang berada dibawah saya. Diamlah
beberapa saat untuk meyakini dan menyadari bahwa saya berbeda dengan kaki saya.
·
Lalu sadari ada tangan kita, bahu kita. Kalau belum
sadar cobalah pegang atau raba semua itu dengan lembut sambil membawa serta
kesadaran kita ke tempat yang kita sentuh. Oooo…, ada tangan, ada bahu saya
yang berada di bawah saya. Diam pulalah beberapa saat disana untuk meyakini dan
menyadari bahwa saya benar-benar berbeda dengan tangan dan bahu saya.
·
Kemudian coba sadar ada dada kita. Amati sajalah dada
itu sebatas sadar akan akan keberadaan dada itu di bawah kita. Jangan masuk ke
dalam dada itu. Karena kalau masuk ke sana nanti kita akan dihadang oleh
berbagai fenomena yang terbolak balik, enak dan senang yang silih berganti.
Nggak usah kita pedulikan dululah fenomena-fenomena itu. Gampang itu nanti.
·
Kemudian dengan cara yang sama, sadari pulalah
keberadaan mata, telinga, kepala dan otak kita. Oooo…, ternyata kesemuanya itu
juga berada di bawah saya…!. Oooo…, saya bersaksi (syahid, syahadah)
tentang ayat: “Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (NAFS) ada yang tahu
(BASHIRAH)”, adalah benar…!!!
·
Ooo…, ternyata memang saya berada di atas semua
instrumen saya, yaitu tubuh saya dengan segala tetek bengeknya yang berasal
dari saripati tanah itu. Dan sayalah Sang Bashirah itu.
Dengan cara
yang sangat sederhana seperti ini, ternyata kita bisa tahu tentang makna hakiki
dari ungkapan man ‘arafa nafsahu, bahwa pada hahekatnya yang ada
hanyalah SAYA dan DIRI SAYA. Ada RUH dan NAFS. Ada Bashirah yang tahu atas
semua instrumen yang terdapat pada Nafs. Saya (Ruh) nyata sekali terpisah
dengan diri saya (Nafs). Akan tetapi, walaupun terpisah saya tetap meliputi
seluruh diri saya. Buktinya saya tetap tahu semua intrumen saya sampai detail.
Saya bisa tahu ada instrumen saya yang sakit, yang patah, yang luka, yang tidak
baik. Saya juga tahu saat ada anggota tubuh saya yang hilang. Misalnya, saya
tetap tahu kalau tangan kanan saya diamputasi. Bahkan saya juga tahu segala
rasa-rasa yang muncul pada diri saya seperti rasa kecewa, marah, benci, iri,
pelit, medit, tidak khusyu’, tidak ikhlas, tidak sabar, dan rasa-rasa jahat
lainnya seperti tahunya saya saat diri saya dilanda rasa senang, bahagia,
cinta, ikhlas, khusyu’, sabar, dan berbagai rasa yang baik lainnya.
Akan tetapi
saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu. Ya…, saya dan tubuh saya ternyata
tidak bersatu seperti bersatunya merica, garam, bawang dan kentang dalam
sebutir perkedel sehingga membentuk substansi yang lain sama sekali dari
unsur-unsur pembentuknya. Tapi sayalah yang meliputi seluruh tubuh saya.
TEGASNYA…, saya (Ruh) berada di luar dan sekaligus juga di dalam
tubuh saya (NAFS).
Janganlah
terlalu berlama-lama mengamati instrument kita tadi itu, terutama dada dan otak
kita. Karena keduanya memang punya daya tarik dan kecenderungan (Hawa un Nafs)
yang cepat sekali menarik-narik kita untuk tenggelam ke dalamnya. Kalau tidak
percaya cobalah amati otak kita agak lama, maka dengan kecepatan yang pasti,
kita akan ditarik pada file-file yang ada di dalamnya. Cepat sekali kita
dibawa dari satu file ke file yang lainnya. Sehingga kalau kita
tidak bisa keluar dari file-file fikiran itu, kita terhenti di satu atau
beberapa file fikiran itu, misalnya tiga hari saja, maka kita akan menjadi
orang yang susah tidur, atau sakit kepala, pusing dan sebagainya.
Begitu juga
kalau kita terlalu lama mengamati dada kita, apalagi sampai ke detail-detailnya
yang berupa lokasi-lokasi tertentu. Maka dengan cepat kita akan ditarik pula
masuk ke dalamnya. Kita akan dibawa melalui berbagai rasa dan pemandangan yang
sebenarnya sangatlah mengasyikkan. Akan tetapi kalau kita tidak tahu arah jalan
keluarnya, maka kita akan disekap oleh rasa itu. Bisa berhari-hari sekapan
perasaan itu melilit kita. Bahkan ada yang berbulan-bulan dan bertahun-tahun.
Cobalah kalau tak percaya…!!. Tapi sebelum mencobanya, sebaiknya kita tahu dulu
jalan keluar dari sekapan dan lilitan perasaan itu. Mari kita coba meretas
jalan keluar itu.
Begitu kita
mampu menyadari bahwa, oooo…, ternyata saya yang hakiki adalah Ruh sedangkan
Nafs hanyalah instrumen saya, maka saya harus mencari cantolan agar saya tidak
terombang ambing kesana kemari oleh daya tarik kecenderungan Nafs tadi seperti
yang sering kita alami selama ini. Coba…, sedang shalat saja, yang notabene
saat itu kita tengah memuja Tuhan, ee…, kita masih saja bisa ditarik-tarik
untuk menghadap kepada yang lain, misalnya, problem keseharian kita. Untuk bisa
keluar dari tarikan kepada selain Allah itu maka kita haruslah mencari peta
yang benar dan yang mampu mengantar kita untuk mengetahui arah cantolan atau
tempat kembali kita yang sebenarnya. Peta itu adalah Al Qur’an yang kemudian
detailnya termuat di berbagai Al Hadits.
Lalu saya
sendiri mencoba untuk membolak balik Al Qur’an dan Al Hadits itu dengan penuh
rasa keingintahuan saya untuk mendapatkan jawabannya. Dapat…!. “Innalilahi
wa inna ilaihi raji’un, aku ini adalah dari dan milik Allah dan
kepada-Nya aku harus kembali”, kata Tuhan saya memberi tahu saya dengan
gamblangnya. Dan saya pun buru-buru menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya. Deeerrr…!.
Maka dengan seketika itu juga saya langsung akan mengenal Tuhan saya, sehingga
ungkapan “faqod arafa robbahu” benar-benar bisa menjadi tempat
pemberhentian saya yang terakhir. Dalam segala hal…!!.
Jadi makna dari
ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu itu
sebenarnya sederhana sekali, yaitu “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un”.
Karena memang saya ternyata hanyalah semata-mata Ruh-Nya. Dari-Nya, milik-Nya.
Sehingga tiada lagi nisbah kepadaku melainkan hanya kepada Dia.
Apa makna dari
ungkapan ini…?. Mari kita lanjutkan perjalanan kita untuk membuka kembali
kesadaran kita terhadap Allah setahap demi setahap. Karena kita memang saat ini
sedang ter-cover. Akui sajalah bahwa kita ini memang sedang ter-cover.
Jangan malu-malu. Saya juga sedang ter-cover kok…!.
~ ....