Kamis, 15 November 2012

MANUSIA, SEDERHANA SAJA …!



MANUSIA, SEDERHANA SAJA …!



Sudah sangat jamak imajinasi di masyarakat umum, bahkan sejak zaman dulukala, bahwa manusia harus mengenal dirinya sendiri dulu baru setelah itu dia bisa mengenal Tuhannya, man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu dalam bahasa Arabnya. Ini sebuah pameo yang banyak beredar di masyarakat. Ada yang menolaknya, dengan alasan bahwa ungkapan ini bukan hadits dari Rasulullah. Orang yang menolak ini berpendapat bahwa ungkapan ini adalah bahasa para filsuf yang bergelut di bidang FILSAFAT. Tapi adapula yang menerimanya hanya karena ada bahasa Arabnya, atau malah ada pula orang yang meyakininya sebagai Al Hadits. Sehingga kemudian banyaklah orang yang berusaha mencari tahu siapa dirinya ini. Dirinya itu hilang kali ya…, atau tersembunyi entah dimana, sehingga perlu dicari kembali sampai ketemu.



Dari hasil pencarian itu, maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang diri manusia itu. Ada yang ketemu bahwa dirinya adalah diri yang penuh dengan nafsu kotor sehingga perlu dibersihkan dulu kekotorannya itu. Bersih-bersih diri dulu tahapan awalnya. Maka sibuklah orang dengan laku pembersihan diri (tadzkiyatun nafs). Tapi nggak tahu tuh apa dirinya bisa benar-benar bisa bersih atau tidak.



Ada juga yang ketemu bahwa dadanya kok bergolak terus dengan berbagai rasa amarah, benci, iri, dengki, sedih, senang, bahagia yang pilin berpilin nggak terduga-duga. Berubahnya rasa tadi itu terjadi seperti acak. Polanya rumit. Sehingga ada pula kemudian sibuk untuk mengelola dan mengatur hati ini agar hati tersebut berada di satu sisi saja, yaitu sisi yang bahagia, senang, tidak marah, tidak iri, tidak benci, dan tidak-tidak negatif yang lainnya.



Kemudian dari hasil perjalanan panjang mengolah diri dan hati itu, maka mucullah konsep-konsep mengenai JATI DIRI, DIRI YANG SEJATI, dan sebagainya. Pada umumnya konsep ini sangat susah untuk dipahami apalagi untuk dijalani. Sehingga banyaklah orang yang merasa pesimis. Lalu sang pesimis menghindar dengan menyalahkan takdir Tuhan pula. “Tuhan sudah menakdirkan saya jadi begini…, dst.”



Padahal siapa dan bagaimana diri kita ini yang sebenarnya sudah nggak usah dicari-cari lagi. Nggak usah capek-capek lagi nyari kesana kemari. Tinggal kita baca satu dua ayat Al Qur’an, dimana Sang Pencipta diri kita ini telah menerangkannya dengan sangat jelas. Karena Dia lah yang sangat tahu tentang diri kita ini. Setelah itu, kita lalu minta tolong saja kepada Sang Pencipta kita itu untuk memberikan kita kepahaman, kesadaran atas ayat Al Qur’an yang menerangkan serba-serbi diri kita itu. Sebab, kalau kita yang mencari-cari diri kita sendiri, maka hasilnya juga hanyalah kira-kira atau persepsi saja. Masak jeruk bisa makan jeruk...!.



Nah…, Al Qur’an dengan sangat gamblang telah menerangkan bahwa yang disebut sebagai manusia itu hanya punya dua substansi saja, yaitu NAFS dan RUH. Nggak lebih dan nggak kurang. Sederhana sekali. Sangat sederhana malah.



Di satu sisi, nafs adalah substansi yang berasal dari saripati tanah yang dibentuk Allah dengan sangat sempurna berikut dengan segala sifat, dorongan, dan kecenderungannya. Dan di sisi lain, ruh adalah substansi yang berasal dari Allah, sehingga Allah menyebut ruh itu dengan sangat mesra sebagai Ruh-Ku.



Allah tidak sedikit pun menerangkan bahwa ruh itu adalah ciptaan-Nya. Allah menyebutkan bahwa ruh itu adalah Ruh-Nya. Bukan ciptaan-Nya. Apalagi penggambaran konyol bahwa ruh itu seperti pocong, huh… lebih-lebih tidak berdasar lagi. Tidak seperti itu. Nggak tahu dari mana tuh asal muasalnya imajinasi liar tentang ruh seperti itu.  Allah hanya menyatakan bahwa ruh itu adalah mengikuti rahasia dan fitrah Allah. Dan tidaklah kita diberitahu tentang ruh itu kecuali hanya sedikit. Tapi siapa yang dapat menakar sedikit menurut Allah itu…?. Nah temukanlah pengetahuan yang sedikit menurut Allah itu. Namun yakinlah bahwa sedikit menurut Allah itu sungguh sangat-sangat-sangat banyak sekali untuk ukuran kita. Seperti nggak habis-habisnya begitu…!.

 Akan tetapi, kalau kita tidak mau berhenti memahami bahwa diri kita ini hanyalah NAFS dan RUH, artinya kita masih mau mencari tahu tentang diri kita ini lagi, memangnya mau dicari kemana…?,  dan seperti apa lagi maunya diri kita ini …?. Sudah sangat jelas begitu kok. Kita manusia ini hanyalah terdiri dari NAFS dan Ruh. Titik….!!.

MENGUAK KESADARAN EKSISTENSIAL…



Sekarang  pengetahuan kita tentang TUHAN dan tentang MANUSIA sudah menjadi sangat sederhana. Bahwa pada dimensi ketuhanan, yang ada hanyalah ALLAH dan ALAM. Sedangkan pada dimensi kemanusian, yang ada hanyalah Ruh dan NAFS.



ALLAH adalah WUJUD yang meliputi ALAM, dan alam adalah substansi yang diliputi oleh WUJUD ALLAH. Sebutlah alam apa saja, apakah itu alam semesta, ataupun alam-alam gaib seperti alam akhirat, alam syorga, alam neraka, alam malaikat, alam jin, alam syetan, alam pikiran, alam khayalan, dsb. Maka semua itu PASTILAH berada dalam liputan Allah. Karena liputan Allah itu begitu kolosal dan besarnya, maka Allah disebut juga sebagai Sang Maha Besar. Begitu juga karena ketinggian yang tak terukur pun berada dalam liputan Allah, maka Allah disebut juga sebagai Sang Maha Tinggi. Artinya adalah bahwa kemana pun kita menghadap, maka yang nyata adalah Wujud Tuhan yang meliputi segala sesuatu.



Sedangkan untuk mengerti tentang eksistensi Ruh dan NAFS, marilah kita buka kembali peta yang memang telah disiapkan Sang Pencipta untuk umat manusia, yaitu Al Qur’an. Dalam surat Al Qiyamah ayat 14 Allah berkata:



“Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (Nafs) ada yang tahu (Bashirah).



Artinya, sang bashirah inilah yang mampu untuk menjadi saksi atas diri manusia itu sendiri (NAFS). Substansi macam apakah bashirah ini, sampai-sampai sang bashirah bisa tahu tentang apapun tentang diri manusia..?.



Jawaban pertanyaan ini bisa kita lihat dalam surat As Sajdah ayat 7-9:



Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kepadanya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.



Dan dalam surat Al Mujadilah ayat 22:



“…Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan RUH-NYA…”



Ini berarti bahwa Ruh-Nya atau kita ringkas saja menjadi Ruh yang dialirkan kepada Nafs, merupakan substansi yang selalu mengawal Nafs dari waktu ke waktu. Abadi liputan Ruh atas Nafs itu. Hanya karena liputan Ruh atas Nafs inilah yang menyebabkan Sang Nafs bisa mengarungi hidup baik itu di alam dunia, maupun di alam akhirat. Ruh ini pulalah sebenarnya substansi yang hidup, yang kuat, yang bergerak, yang melihat, yang mendengar, yang tahu. Karena memang Sang Ruh berasal dan mendapat pengajaran dari Yang Maha Hidup, Yang Maha Kuat, Yang Maha Bergerak, Yang Maha Melihat, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Tahu. Sedangkan Sang Nafs hanyalah semata-mata substansi yang bersandar mengikuti apapun fitrah dari Sang Ruh.



Kalau begitu, substansi yang hakiki pada seorang manusia adalah Ruh itu sendiri. Tepatnya Aku yang hakiki bagi manusia adalah Sang Ruh ini, Sang Bashirah. Sedangkan Nafs boleh dikatakan hanyalah substansi yang tidak bisa apa-apa. Substansi yang diam, bodoh, buta, tuli, tidak tahu. Dalam bahasa agamanya sifat dan keadaan seperti ini disebut sebagai FANA. Ya seperti mayat begitulah, atau seperti orang pingsan, orang koma. Atau yang paling dekat dengan kita sehari-hari yaitu orang yang sedang TIDUR.

MERANGKAI KESADARAN AWAL…



Sekarang mari kita lanjutkan membenahi kesadaran kita yang selama ini tertutup tentang eksistensi manusia dan Tuhan. Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam ungkapan man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu di atas kalau kita memang masih mau memakainya. Mari kita duduk rileks sejenak untuk mengenal diri kita yang hakiki. Lakukanlah perubahan kesadaran sebagai berikut:



·    Pejamkan sajalah mata dengan ringan. Kening nggak usah berkerut-kerut seperti orang yang sedang berpikir tentang sesuatu. Santai saja.

·    Sadari ada kaki kita. Kalau belum bisa sadar cobalah pegang kaki itu. Oooo…, ada kaki saya yang berada dibawah saya. Diamlah beberapa saat untuk meyakini dan menyadari bahwa saya berbeda dengan kaki saya.

·    Lalu sadari ada tangan kita, bahu kita. Kalau belum sadar cobalah pegang atau raba semua itu dengan lembut sambil membawa serta kesadaran kita ke tempat yang kita sentuh. Oooo…, ada tangan, ada bahu saya yang berada di bawah saya. Diam pulalah beberapa saat disana untuk meyakini dan menyadari bahwa saya benar-benar berbeda dengan tangan dan bahu saya.

·    Kemudian coba sadar ada dada kita. Amati sajalah dada itu sebatas sadar akan akan keberadaan dada itu di bawah kita. Jangan masuk ke dalam dada itu. Karena kalau masuk ke sana nanti kita akan dihadang oleh berbagai fenomena yang terbolak balik, enak dan senang yang silih berganti. Nggak usah kita pedulikan dululah fenomena-fenomena itu. Gampang itu nanti.

·    Kemudian dengan cara yang sama, sadari pulalah keberadaan mata, telinga, kepala dan otak kita. Oooo…, ternyata kesemuanya itu juga berada di bawah saya…!. Oooo…, saya bersaksi (syahid, syahadah) tentang ayat: “Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (NAFS) ada yang tahu (BASHIRAH)”, adalah benar…!!!

·    Ooo…, ternyata memang saya berada di atas semua instrumen saya, yaitu tubuh saya dengan segala tetek bengeknya yang berasal dari saripati tanah itu. Dan sayalah Sang Bashirah itu.



Dengan cara yang sangat sederhana seperti ini, ternyata kita bisa tahu tentang makna hakiki dari ungkapan man ‘arafa nafsahu, bahwa pada hahekatnya yang ada hanyalah SAYA dan DIRI SAYA. Ada RUH dan NAFS. Ada Bashirah yang tahu atas semua instrumen yang terdapat pada Nafs. Saya (Ruh) nyata sekali terpisah dengan diri saya (Nafs). Akan tetapi, walaupun terpisah saya tetap meliputi seluruh diri saya. Buktinya saya tetap tahu semua intrumen saya sampai detail. Saya bisa tahu ada instrumen saya yang sakit, yang patah, yang luka, yang tidak baik. Saya juga tahu saat ada anggota tubuh saya yang hilang. Misalnya, saya tetap tahu kalau tangan kanan saya diamputasi. Bahkan saya juga tahu segala rasa-rasa yang muncul pada diri saya seperti rasa kecewa, marah, benci, iri, pelit, medit, tidak khusyu’, tidak ikhlas, tidak sabar, dan rasa-rasa jahat lainnya seperti tahunya saya saat diri saya dilanda rasa senang, bahagia, cinta, ikhlas, khusyu’, sabar, dan berbagai rasa yang baik lainnya.



Akan tetapi saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu. Ya…, saya dan tubuh saya ternyata tidak bersatu seperti bersatunya merica, garam, bawang dan kentang dalam sebutir perkedel sehingga membentuk substansi yang lain sama sekali dari unsur-unsur pembentuknya. Tapi sayalah yang meliputi seluruh tubuh saya. TEGASNYA…, saya (Ruh) berada di luar dan sekaligus juga di dalam tubuh saya (NAFS).



Janganlah terlalu berlama-lama mengamati instrument kita tadi itu, terutama dada dan otak kita. Karena keduanya memang punya daya tarik dan kecenderungan (Hawa un Nafs) yang cepat sekali menarik-narik kita untuk tenggelam ke dalamnya. Kalau tidak percaya cobalah amati otak kita agak lama, maka dengan kecepatan yang pasti, kita akan ditarik pada file-file yang ada di dalamnya. Cepat sekali kita dibawa dari satu file ke file yang lainnya. Sehingga kalau kita tidak bisa keluar dari file-file fikiran itu, kita terhenti di satu atau beberapa file fikiran itu, misalnya tiga hari saja, maka kita akan menjadi orang yang susah tidur, atau sakit kepala, pusing dan sebagainya.



Begitu juga kalau kita terlalu lama mengamati dada kita, apalagi sampai ke detail-detailnya yang berupa lokasi-lokasi tertentu. Maka dengan cepat kita akan ditarik pula masuk ke dalamnya. Kita akan dibawa melalui berbagai rasa dan pemandangan yang sebenarnya sangatlah mengasyikkan. Akan tetapi kalau kita tidak tahu arah jalan keluarnya, maka kita akan disekap oleh rasa itu. Bisa berhari-hari sekapan perasaan itu melilit kita. Bahkan ada yang berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Cobalah kalau tak percaya…!!. Tapi sebelum mencobanya, sebaiknya kita tahu dulu jalan keluar dari sekapan dan lilitan perasaan itu. Mari kita coba meretas jalan keluar itu.



Begitu kita mampu menyadari bahwa, oooo…, ternyata saya yang hakiki adalah Ruh sedangkan Nafs hanyalah instrumen saya, maka saya harus mencari cantolan agar saya tidak terombang ambing kesana kemari oleh daya tarik kecenderungan Nafs tadi seperti yang sering kita alami selama ini. Coba…, sedang shalat saja, yang notabene saat itu kita tengah memuja Tuhan, ee…, kita masih saja bisa ditarik-tarik untuk menghadap kepada yang lain, misalnya, problem keseharian kita. Untuk bisa keluar dari tarikan kepada selain Allah itu maka kita haruslah mencari peta yang benar dan yang mampu mengantar kita untuk mengetahui arah cantolan atau tempat kembali kita yang sebenarnya. Peta itu adalah Al Qur’an yang kemudian detailnya termuat di berbagai Al Hadits.



Lalu saya sendiri mencoba untuk membolak balik Al Qur’an dan Al Hadits itu dengan penuh rasa keingintahuan saya untuk mendapatkan jawabannya. Dapat…!. “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un, aku ini adalah dari dan milik Allah dan kepada-Nya aku harus kembali”, kata Tuhan saya memberi tahu saya dengan gamblangnya. Dan saya pun buru-buru menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya. Deeerrr…!. Maka dengan seketika itu juga saya langsung akan mengenal Tuhan saya, sehingga ungkapan “faqod arafa robbahu” benar-benar bisa menjadi tempat pemberhentian saya yang terakhir. Dalam segala hal…!!.



Jadi makna dari ungkapan  man ‘arafa nafsahu faqod arafa robbahu itu sebenarnya sederhana sekali, yaitu “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un”. Karena memang saya ternyata hanyalah semata-mata Ruh-Nya. Dari-Nya, milik-Nya. Sehingga tiada lagi nisbah kepadaku melainkan hanya kepada Dia.



Apa makna dari ungkapan ini…?. Mari kita lanjutkan perjalanan kita untuk membuka kembali kesadaran kita terhadap Allah setahap demi setahap. Karena kita memang saat ini sedang ter-cover. Akui sajalah bahwa kita ini memang sedang ter-cover. Jangan malu-malu. Saya juga sedang ter-cover kok…!.


~ ....