Kamis, 15 November 2012

KAFIR atau DZIKIR, The Ultimate Choices



السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

KAFIR atau DZIKIR, The Ultimate Choices


 


Ingredients:
Selama ini mungkin kita sudah sangat kenyang dengan doktrin dalam berbagai agama tentang kata-kata KAFIR ini. Dimana cap kafir ini sudah berubah menjadi sebuah ungkapan yang sangat MENAKUTKAN, MENJIJIKKAN, dan MENGERIKAN. Saat cap kafir ini sudah melekat pada diri seseorang, maka sepertinya orang itu sudah kita anggap sebagai seseorang yang punya kesalahan yang sangat fatal dan derajat yang sangat rendah. Dengan mencap orang lain kafir, maka sepertinya ada diantara kita yang merasa bahwa darah orang kafir itu HALAL untuk ditumpahkan. Sehingga dalam sejarah peradaban manusia, kita sudah sangat hafal dengan berbagai peperangan demi peperangan yang di jalani oleh kakek moyang kita.



Dengan cap kafir terhadap seseorang, maka kebanyakan dari kita akan melihat orang yang di cap kafir itu dengan pandangan penuh kebencian, penuh kecurigaan, dan bahkan penuh kemarahan. Karena kita takut jangan-jangan orang yang di cap kafir itu akan membawa kita juga untuk menjadi kafir. Padahal status kafir ini dalam pelajaran-pelajaran agama apa pun akan diganjar dengan neraka. Sebuah ganjaran yang membuat kita GACAR (mencret) karena ketakutan.



Padahal kalau kita kupas agak sekupas dua kupas, maka ungkapan KAFIR ini hanyalah sebuah ungkapan dengan pengertian yang sangat sederhana saja. Bahwa seseorang yang TIDAK MENYADARI akan SESUATU, maka orang itu dikatakan sedang KAFIR (ter-cover), tertutup kesadarannya terhadap SESUATU tersebut. Hanya sesederhana itu saja kok pengertian tentang KAFIR. Kitanya saja yang mau-maunya di distorsikan pemahaman kita seperti sekarang ini, sehingga jadilah kita seperti saat ini. Umat yang hidup penuh dengan konflik yang dipelihara turun-temurun hanya karena sebuah kata KAFIR. Masalah bagaimana pedih dan kerasnya hukuman Tuhan terhadap orang-orang yang kafir kepada Allah adalah masalah lain lagi. Begitulah salah satu cara Allah dan Rasulullah memotivasi umat manusia agar mau ingat dan sadar kepada Allah, yaitu dengan menakut-nakuti umat manusia dengan hukuman yang sangat pedih dan di neraka pula tempatnya.



Disamping itu, saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya terhadap ketuhanan YESUS seperti yang diyakini oleh umat Nasrani, maka umat Nasrani akan menganggap saya sebagai seorang kafir terhadap Yesus, ya ndak masalah. Begitu juga saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya tentang Allah, maka saat itu saya akan dilabeli oleh Allah sendiri sebagai seorang yang kafir terhadap Allah. Walaupun ilmu pengetahuan saya tentang Allah barangkali sudah sangat lengkap, akan tetapi jika pada saat yang sama saya tidak sedikit pun merasakan IHSAN terhadap Allah, maka boleh jadi saat itu saya sedang kafir kepada Allah. Ya…, karena saat itu saya tidak sedikit pun sadar akan keberadaan Allah. Ungkapan seperti ini yang kita tidak siap untuk menerimanya.

Untuk membuktikan tentang tidak ihsannya kita ini sangat gampang sekali kok. Saat di keseharian kita, mampu nggak kita untuk merasa “SUNGKAN” untuk berbuat TIDAK BAIK, atau mampu nggak kita untuk merasakan “TUNTUNAN” Tuhan atas setiap tindakan kita ke arah yang BAIK-BAIK. Kalau yang ada adalah rasa TIDAK SUNGKAN kita untuk berbuat tidak baik, dan rasa TIDAK DITUNTUN ke arah yang BAIK, maka saat itu juga kita bolehlah untuk SANGAT khawatir, jangan-jangan Tuhan memang sedang mencampakkan dan membiarkan kita (istidraj). 



Tapi jangan khawatir. Saat kita digeletakkan oleh Allah ini (dalam posisi istidraj), sebenarnya kita tetap dan tengah dituntun oleh ALLAH juga. Namun tuntunan Allah itu ke arah yang TIDAK BAIK. Ya…, arahnya saja yang salah. Betapa tidak. Untuk berbuat jahat dan tidak baik itu sebenarnya kita butuh daya, tenaga, dan keberanian yang sangat besar. Untuk berbohong saja, misalnya, kita rasanya harus mengeluarkan tenaga ekstra. Apalagi untuk mencuri, berzina, korupsi, dan berbagai perbuatan tidak baik lainnya. Sungguh semuanya itu butuh daya yang sangat besar. Apalagi kalau semua perilaku buruk itu melekat pada diri kita sendiri. Wuiih…, dahsyatnya power yang kita butuhkan.



Makanya dalam keseharian kita, dalam shalat kita, kita selalu minta dituntun Allah ke jalan yang LURUS (Ihdinash shiraathal mustaqiim). Tapi itulah kita manusia ini, kita hampir sebagian besar tertahan dari tuntunan Tuhan ke arah yang lurus (baik) ini. Dan anehnya lagi tertahannya kita dari tuntunan Tuhan ke arah yang baik itu karena kita memang tengah DIBUAT LUPA atau DIJADIKAN TIDAK TAHU oleh ALLAH dalam memanfaatkan SWITCH (tombol) penentu arah saat kita berada dipersimpangan jalan antara yang baik dan yang buruk itu. Nah…, supaya tidak dibuat lupa oleh Allah, maka carilah switch itu sampai dapat, dan kita nanti tinggal menikmati tuntunan ke arah yang baik.



Kemudian, dalam pelajaran tentang TUHAN pun, kita selama ini sudah sangat jauh terdistorsi dari suatu pengertian yang sebenarnya sangat sederhana. Dengan pengetahuan yang sampai ke otak kita, dari berbagai sumber, seakan-akan kita umat manusia ini sedang sibuk mencari diri sendiri dan juga mencari Tuhan. Dengan pengajaran tersebut, seakan-akan kita saat ini tengah berada dalam suasana KEHILANGAN DIRI kita sendiri dan KEHILANGAN TUHAN pula, sehingga harus kita temukan lagi. Maka kemudian lahirlah berbagai konsep tentang usaha umat manusia dalam mencari dan menemukan dirinya sendiri maupun Tuhan. Dan anehnya, SEMAKIN RUMIT konsep itu, maka orang umumnya menganggapnya sebagai sebuah konsep yang LEBIH BENAR.



Dalam menghadapi kerumitan konsep itu, umumnya umat manusia terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang yang mau tidak mau terpaksa harus menerima kerumitan itu sebagai sebuah sikap hidup. Karena kalau tidak, maka kelompok ini sangat ketakutan dengan cap kafir dengan ganjaran yang sangat mengerikan seperti yang sudah dijelaskan di atas : NERAKA. Kelompok kedua adalah gerombolan orang yang  bersikap MASA BODOH terhadap konsep yang rumit-rumit itu, saking rumitnya. Karena dengan tidak memakai konsep yang rumit itu hidup mereka toh nggak menderita-menderita amat. Enjoy aja kata sebuah iklan…!.



Mungkinkah ada konsep yang SANGAT SEDERHANA agar kita bisa DISADARKAN tentang diri kita dan tentang Tuhan…?. Sehingga kita tidak sanggup lagi untuk bersikap masa bodoh, seperti tidak sanggupnya kita untuk merasa terpaksa dalam menjalani konsep demi konsep yang tadinya meletihkan kita.

Berbagai Cover…



Dulu kesadaran saya tertutup, kafir, atau berhenti tentang Tuhan yang sebenarnya dan yang seharusnya. Karena saat dulu itu konsep (ilmu pengetahuan) yang masuk ke otak saya tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan itu bersemayam di Arsy  yang berada di langit ke tujuh (sidratul muntaha) yang entah dimana. Dan untuk bertemu dengan Tuhan, maka kita harus melewati alam-alam akhirat dulu, karena kita hanya bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat. Dan itu pun ketemunya NANTI. Hanya Muhammad Rasulullah sajalah yang pernah ketemu Tuhan saat Beliau masih hidup. Dan pertemuan itu adalah di sidratul muntaha saat Beliau “Isra’ dan Mi’raj”. Sedangkan buat kita-kita umat Beliau ini, pertemuan dengan Tuhan itu nantinya adalah di akhirat. Ditambah lagi dengan pemahaman tentang Tuhan yang beredar umum di tengah-tengah masyarakat, bahwa Tuhan bersemayam yaitu di Arasy-Nya.



Sampai di pemahaman seperti ini sebenarnya tidak ada masalah sama sekali. Karena dalam banyak hadits Rasulullah memang memberikan wejangan Beliau seperti itu kepada sahabat-sahabat saat itu. Juga dalam Al Qur’an sendiri dinyatakan bahwa Allah “tsummastawa ‘alal arsy yudabbirul amra”, Dia bersemayam diatas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan”.



Akan tetapi  sayangnya tidak jarang diantara kita, kalau tidak mau dikatakan mayoritas umat Islam, yang terjebak dalam memahami makna bersemayam itu seperti bersemayamnya seorang raja di singasananya. Dan singasana Tuhan itupun berada di langit ke tujuh, bahwa singasana-Nya ada di Sidratul Muntaha, bahwa Tuhan hanya bisa ditemui di akhirat dan dan itupun nanti pula, maka secara tidak sadar sebenarnya kita telah mempersepsikan menghadap Tuhan itu sebagai orang awam berhadapan dengan sosok raja diraja di langit. Sehingga Tuhan seakan-akan sosok yang sangat jauh dengan kita. Ya…, seperti dewa gitu loh…!. Apalagi dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam…, dst.



Makanya, karena mengharap pertemuan dengan Tuhan di akhirat itu, segala ibadah dan amalan saya lakukan dengan harapan untuk dapat pahala sehingga nanti bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat dan dimasukkan-Nya kedalam syurga-Nya. Enak nggak enak, maka ibadah dan amalan itu harus saya lakukan. Karena kalau tidak dilakukan, maka Tuhan akan marah kepada saya.



Akibatnya, kita lalu mencari-cari Tuhan dengan otak kita. Lalu tidak sedikit pula orang yang hanya sampai di kesadaran bahwa tidak mungkin orang bisa bertemu Tuhan di dunia ini. Kalau ada yang mengaku bertemu Tuhan, maka jangan-jangan itu hanya persepsi dirinya sendiri, atau Si ”AKU” yang berani-beraninya mengklaim, bahwa dirinya telah bertemu/  berjumpa.... dgn Allah..?. Dan berbagai ungkapan lainnya yang sangat rumit, seakan-akan kita sengaja memperumit diri sendiri tentang Tuhan. Sehingga lengkap sudah tertutupnya kesadaran kita terhadap eksistensi Tuhan. Kita jadi seperti terpisah dengan Tuhan. Kita tidak punya lagi kesadaran bahwa saat shalat dan berdo’a, kita sebenarnya SAAT ITU tengah menghadap dan menyembah Tuhan, berbicara dengan Tuhan, memuja Tuhan. Ya…, kita tidak bisa lepas dari Allah seperti tidak bisa lepasnya nafas, aliran darah, dan pergerakan alam semesta ini dari Allah. Dan ternyata, suasana ter-cover terhadap Allah seperti ini sangatlah tidak enak, sehingga kemudian saya lalu mencoba masuk ke dalam konsep yang lain lagi. Konsep tarekat dan tasawuf.



Selama beberapa tahun kemudian, saya berada dalam dunia tarekat dan tasawuf yang inti ajarannya adalah tentang bagaimana kita harus MEMBERSIHKAN HATI kita dulu agar hati itu nantinya bisa suci dan bersinar, sehingga hati itu bisa “melihat Tuhan”. Dan syarat mutlak untuk masuk ke wilayah tarekat ini adalah dengan menerima peran wujud lain sebagai wasilah kita untuk menyambungkan diri kita dengan Allah. Wasilah itu sambung menyambung dari satu orang mursyid termuda, lalu guru dari mursyid tersebut berantai ke guru-guru-guru-guru mursyid lainnya sampai ke Rasulullah dan baru ke Allah. Rantai sambungan itu disebut juga dengan rabithah guru, dan proses menghadapkan perhatian (wajah) kepada guru mursyid itu disebut juga dengan bertawajjuh. Kalau kita tidak ikut mengikatkan diri pada mursyid yang berada dalam dalam ‘rantai emas’ mursyid sebuah tarekat tertentu, maka kita akan berada di luar kelompok tersebut saat kiamat dan di hari akhir nanti dan tidak ditolong pula oleh Rasulullah, karena memang Rasulullah ditempatkan di dalam rantai emas mursyid tarekat tersebut pada tingkat pamuncak.



Selama kurun waktu bertarekat tersebut, maka berbagai praktek olah diri (tadzkiyatunnafs) yang sangat sulit harus saya jalani. Wirid dan afirmasi yang berulang-ulang dengan kalimat-kalimat thaiyyibah yang harus dilakukan sangatlah banyak. Untuk waktunya pun lebih lama wiridannya dari pada shalatnya sendiri. Tapi…, tetap saja bukan Tuhan yang ketemu. Malah yang muncul adalah sensasi alam demi alam dan fenomena-fenomena yang tadinya hanya bisa di baca dalam berbagai riwayat atau buku sufi terkenal. Mengasyikkan memang semua itu. Akan tetapi yang namanya TUNTUNAN Tuhan dan RASA SUNGKAN terhadap Tuhan nggak dapat-dapat juga saya pahami. Saya seperti asyik sendiri dengan berbagai atribut ketasawufan yang melelahkan itu, sehingga kemudian saya mencari lagi konsep lain tentang ketuhanan yang lebih sederhana dan bisa diterapkan dalam keseharian.

 Kemudian saya lalu masuk ke dalam komunitas PATRAP yang di dalamnya saya diperkenalkan dengan konsep ketuhanan yang lebih simple. Bahwa Tuhan itu ternyata hanyalah Dzat Yang Sangat Sederhana akan tetapi Serba Maha. Dzat yang MAHA MELIPUTI segala sesuatu. Walaupun begitu, dalam kenyataannya konsep patrap yang sangat sederhana ini tidaklah terlalu mudah juga untuk diaplikasikan. Kalau kauro (ilmu pengetahuannya) mungkin bisa saya terima dengan sangat mudah. Bahkan pelatihan-pelatihannya juga bisa saya ikuti dengan tanpa kesulitan yang berarti. Tuntunan demi tuntunan dan rasa sungkan demi rasa sungkan, alhamdulillah bisa saya rasakan realitasnya.



Akan tetapi dalam perjalanannya, ada sesuatu yang saya rasakan sulit untuk saya dapatkan, yaitu untuk masuk kepada suasana KEARIFAN, suasana KERENDAHAN HATI. Ya…, bagaimana caranya agar saya bisa duduk di wilayah ini. Ini yang menjadi pertanyaan saya yang cukup panjang juga. Kenapa…??.



Karena di dalam patrap inilah saya mendapatkan sebuah cara berfikir yang sangat revolusioner sekali. Tidak salah memang kalau dikatakan bahwa virus pemikiran PATRAP ini telah menghancurkan berbagai file masa lalu saya yang sudah karatan di dalam otak saya selama ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya konsep pengkelasan (grading) baik antara seorang guru dengan murid, maupun diantara sesama komunitas patrap itu sendiri. Egaliter sekali. Sehingga yang muncul kemudian adalah sebuah karakter baru dimana seorang murid mungkin tidak lagi menghormati guru, karena memang tidak ada konsep guru dan murid di dalamnya. Dalam bidang pemikiran pun, konsep spiritual, agama-agama, dan peradaban juga dikupas tuntas sampai “bugil”, sehingga nyaris saja orang patrap meremehkan pengajian-pengajian agama yang membahas hukum, syariah maupun laku spiritual lainnya.



Ternyata orang yang banyak ilmu, banyak tahu hukum, bahkan banyak pula kesaksian, kalau orang itu tidak bisa merangkainya dengan sikap RENDAH HATI dan ARIF, sangatlah berbahaya. Ilmu, hukum dan kesaksian itu bisa menjadi sebuah senjata baru yang sangat hebat untuk memuaskan kepentingan atau dorongan diri sendiri (hawa un nafs). Sungguh mengerikan sekali.  



Lalu dalam sebuah pelatihan bersama Ustadz Abu Sangkan di ruang basement Masjid Baitul Ihsan (BI) seminggu sebelum bencana Tsunami melanda ACEH, saya dan beberapa orang teman yang lainnya merasakan suasana yang sangat berbeda yang belum pernah saya dapatkan sejak saya mulai ikutan patrap ini, apalagi pada praktek-praktek olah diri dan olah jiwa yang sebelumnya. Saya saat itu seperti di tarok di wilayah yang sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Wilayah yang seperti DI RUMAH sendiri. Wilayah yang sepertinya sudah sangat saya kenal lama sekali, akan tetapi yang sudah terlupakan sedemikian lama pula…!!!. YA…, selama ini wilayah ini seperti terlupakan, atau lebih tepatnya saya dibuat lupa tentang rumah saya ini oleh Allah sendiri. Wilayah rumah saya sendiri sebenarnya ...!.



Dari berbagai suasana tertutupnya kesadaran (KAFIR) terhadap Tuhan yang sungguh beragam penyebabnya, maka PASTILAH ada CARA untuk membuka TUTUP tersebut. Ya…, semacam SWITCH gitu loh. Karena nggak mungkin Allah menggeletakkan makhluk ciptaan-Nya dalam berbagai masalah tanpa adanya solusi untuk keluar dari masalah itu. Sungguh Allah ternyata memang sangatlah sempurna sebagai Sang Grand Designer Tunggal dalam segala hal. Untuk setiap MASALAH, apapun masalah itu, ternyata Allah juga telah menyiapkan SOLUSINYA pada saat yang BERSAMAAN. Seperti berpasang-pasangan gitu loh.



Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yaa siin 36)



(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Asy Syura 11)



Akan tetapi hampir sebagian besar dari kita tertutup pula untuk melihat solusi yang sudah ada itu untuk keluar dari problematika yang kita hadapi. Kita selalu saja cenderung lebih MUDAH untuk hanya bisa melihat masalah demi masalah tanpa menemukan solusinya. Kita memang telah jadi umat yang punya segudang masalah dari dulu sekali sampai sekarang ini, akan tetapi sangat miskin dengan solusi.



Begitu juga dengan suasana kesadaran yang tertutup, tidak sadar, KAFIR, ternyata juga ada pasangannya, yaitu suasana terbuka, sadar, ingat, DZIKIR. Ya…, untuk keluar dari masalah KEKAFIRAN, maka satu-satunya jalan adalah dengan dzikir. Jadi dzikir adalah sebuah proses yang bertujuan untuk membuka tutup kesadaran kita  terhadap sesuatu, sehingga sesuatu itu lalu jadi NYATA (ZAHIR) bagi kita. 



Sedangkan DZIKRULLAH bermakna sebagai sebuah suasana TERBUKANYA KESADARAN kita terhadap ALLAH. Ya…, dzikrullah adalah suasana ingat dan sadar yang tertuju hanya kepada Allah. Hanya Allah lah yang ADA, sedangkan yang lain selain Allah adalah FANA, TIADA. Pengertian seperti ini merupakan makna hakiki dari kalimat tauhid laa ilaha illallah…!!. 



Akan tetapi, kalau kita tidak berhasil mencapai suasana atau wilayah dzikrullah ini, maka hampir secara otomatis pula kita akan masuk ke wilayah KAFIR, yaitu wilayah dimana yang ada adalah yang SELAIN ALLAH, sedangkan ALLAH lalu menjadi WUJUD yang hilang, FANA, TIADA. Dan kafir terhadap Allah ini ternyata adalah puncak dari hilangnya kesadaran seorang manusia yang akibatnya adalah siksa yang sangat pedih bagi manusia itu sendiri.

TUHAN YANG  SANGAT SEDERHANA …!



Allah ternyata adalah Dzat  yang begitu LUGU dalam memperkenalkan DIRI dan WUJUD-NYA kepada kita umat manusia ini;



Pada taraf pertama, yang biasa-biasa saja, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “… (sesungguhnya) Aku dekat (Al Baqarah 186). Walau hanya sampai pada kesadaran tentang kedekatan Tuhan seperti ini, namanya sudah ihsan juga. Selanjutnya, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “…Allah lebih dekat dari urat leher (Al Qaaf 16)”, inipun ihsan juga namanya. Lalu Dia menimpali lagi: “ … Kemana saja menghadap, disana ada wajah Allah (Al Baqarah 115)”.



Pada taraf kedua, yang lebih sederhana lagi, Dia memperkenalkan WUJUD-Nya bahwa: “…Allah meliputi orang-orang kafir (Al Baqarah 19)”. Lagi: “… Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia (Al Israa’ 60)”.



Pada taraf ketiga, yang lebih-lebih sederhana lagi, Dia menyatakan WUJUD-Nya bahwa: “Dia Maha Meliputi segala sesuatu (Al Fushilat 54)”. Dan lagi: “Allah Maha Meliputi segala sesuatu (An Nissa 126)”.



Pada taraf keempat, yang paling sederhana, agar kita nggak usah capek-capek lagi mikirin DIRI dan WUJUD-Nya, maka Dia memagari imajinasi liar kita dengan kalimat: “… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Asy Syura 11)”.



Dan pada taraf kelima, yang tidak ada lagi taraf setelah itu, maka Wujud Yang Maha Meliputi yang tidak sama dengan apapun itu, punya “Aku”. Dia bersabda dengan “Aku”-Nya “Innani ana Allahu, laa ilaha illa ana, fa'budni,  wa aqimishshalata lizikrii.  Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha 14).



Dengan lima taraf kesadaran ihsan kepada Tuhan seperti ini, maka selesai sudah Ilmu tentang Tuhan. Ya…, dengan beberapa ayat Al Qur’an di atas, ilmu tentang tauhidullah, ilmu ma’rifatullah tamatlah sudah. Akan tetapi kelima taraf kesadaran ihsan ini haruslah menjadi SATU KESADARAN UTUH pada saat yang sama. Tidak boleh terpisah-pisah. Dalam setiap aliran nafas, dalam setiap pandangan, dalam setiap pendengaran, maka kita harus duduk pada kesadaran ihsan seperti ini. DEERRR….!!.



Karena kalau kita coba-coba keluar dari pengertian tentang TUHAN  yang sesederhana ini, sesuai dengan pengungkapan Tuhan itu sendiri, maka yakin deh bahwa kita akan berubah menjadi orang yang RUMIT dalam berketuhanan. Dan ternyata memang kerumitan itulah yang telah kita warisi dari generasi ke generasi, sehingga kita lalu menjadi umat manusia yang rumit pula. Sangat rumit malah.



Misalnya, kalau kita hanya berhenti sampai pada taraf kesadaran bahwa Allah dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita, maka biasanya kita akan mencari-cari Allah. Allah lalu dicari-cari ke langit yang ketujuh yang entah dimana. Allah dicari di dalam hati. Atau Allah dicari-cari dengan terlebih dahulu melalui alam-alam yang diberi nama misalnya alam lahut, alam nasut, alam jabrut, dan sebagainya. Sungguh rumit sekali untuk ketemu dengan Tuhan. Semakin dicari kedekatan Allah itu, eh… malah Tuhan sepertinya semakin jauh. Jauuuh sekali.



Begitu juga kalau kita berhenti dikesadaran bahwa kemana saja menghadap, disana ada wajah Allah, maka kita akan dibuat sibuk untuk memposisikan hati, memposisikan wajah, jiwa, ruh kita biar bisa dekat dan menghadap terus kepada Allah. Kita sibuk mencari posisi terus, dan biasanya posisinya malah nggak tepat-tepat juga. Serba paradoks memang.



Ada memang diantara kita yang percaya pada ayat Al Qur’an bahwa Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Kita manggut-manggut dan terangguk-angguk malah sangking hafalnya. Akan tetapi sayangnya kita tidak sampai kepada kesadaran berketuhanan, sehingga kita benar-benar terpaku hanya pada kesadaran kebendaan. Serba benda saja yang menarik perhatian kita. Kesadaran kita benar-benar seperti tertutup akan ayat yang menyatakan bahwa Dia Maha Meliputi segala sesuatu.



Ya…, ratusan tahun kesadaran kita akan liputan Tuhan atas segala sesuatu seperti tertutup. Setiap ketemu ayat ini, kita selalu saja di giring kepada pengertian bahwa yang meliputi segala sesuatu itu adalah KEKUASAAN-NYA, PENGETAHUAN-NYA, ILMU-NYA. Sehingga kita sepertinya selalu dibawa terus untuk MENYEMBAH SIFAT TUHAN. Menyembah sifat, walau sifat itu milik Tuhan sekali pun, adalah salah satu bentuk SYIRIK yang tidak ditolerir sedikit pun oleh Tuhan. Sebab Tuhan memerintahkan kita untuk menyembah HANYA kepada DZAT-NYA, AKU-NYA.



Nah…, kalau tutup kesadaran kita sudah terbuka atas Wujud Tuhan Yang Maha Meliputi segala sesuatu, dan sadar pula bahwa Dzat-Nya tidak sama dengan apapun juga, maka kita tinggal bersandar, berpegang, bergantung kepada Wujud Tuhan itu. INI YANG TERPENTING SEBENARNYA. Bahwa kita berpegang teguh kepada Sang Maha Meliputi. Sedangkan yang lain-lainnya nanti tinggal mengikuti saja.



Karena apapun nanti atribut yang melekat dan diselendangkan kepada Allah, baik itu SIFAT, KEHENDAK, PENGETAHUAN, dan PERBUATAN-NYA, maka kesemuanya itu TEPAT berada pada Dzat Yang Maha Meliputi dan Yang Tidak Sama dengan segala apapun INI.  Begitu juga dengan segala ciptaan-Nya, sebutlah apa saja, maka semua itu pastilah berada dalam liputan Dzat Tuhan juga. Dan kepada Dzat Tuhan itu pulalah kita harus mengaturkan persembahan, permohonan, penyerahan, penghormatan, dan menghantarkan segala tanda-tanda kelemahan dan kehambaan kita yang lainnya kita arahkan atau kita kembalikan. Bukan kepada yang lain. Selesai sudah…!.



Masalah nantinya Dzat Yang Maha Meliputi Segala sesuatu itu mau disebut dengan istilah apa, itu masalah lain lagi. Umat Islam menyebutnya dengan sebutan ALLAH. Begitu juga, dalam berbagai agama dan kepercayaan. Ada yang menamakan Dzat itu dengan sebutan Brahman…, Oum…, Yehova, Thian, Manitou, Bapa di Syurga, dan sebagainya. Karena memang Dzat itu menyebut diri-Nya sendiri sebagai Rabbul ‘Alamin, Tuhan bagi alam semesta berikut dengan segala isinya. Cuma nanti akan muncul masalah, yaitu: “saat menyebut nama Dzat tadi itu, mampukah kita sampai kealamat yang sebenarnya, yaitu Sang Maha Meliputi?”. Kalau tidak mampu, maka itu namanya kita telah menjadi KAFIR terhadap Dzat Yang Maha Meliputi itu. Akibatnya dalam masalah ketuhanan ini kita lalu menjadi orang yang RUMIT, dan Tuhan pun lalu berubah menjadi Tuhan Yang Rumit.



Dalam ajaran agama Kristen, misalnya, mereka bingung tentang ungkapan Bapa di syurga, sehingga orang tersebut merasa jauh dengan Bapa yang di syurga itu. Lalu untuk menggampangkan agar mereka bisa keluar dari kebingungan itu, maka agama tersebut menciptakan sesuatu yang bisa dipersepsikan dengan mudah. Lalu muncullah konsep Anak Tuhan, atau Tuhan dalam bentuk manusia. Dan atribut seperti ini dilekatkan kepada Yesus Kristus. Sehingga lalu Yesus disembah dan dimintai pertolongan. Kapanpun pemeluk agama Kristen menyebut nama Tuhan, atau dalam berbagai kesempatan disebut juga dengan Allah (umat Kristen melafalkannya dengan Alah), maka arah pikir dari pemeluk agama ini selalu saja dibetot ke arah sosok manusia, yaitu sosok Yesus yang kemudian divisualkan pula dalam bentuk patung dengan berbagai bentuk dan posisi. Yang paling populer adalah visualisasi Yesus yang sedang disalib. Hal yang sama juga bisa terjadi pada umat yang beragama apa pun, tak terkecuali umat Islam. Dimana saat menyebut nama Tuhan, dalam berbagai bahasa, umat-umat beragama itu tidak mampu untuk menghadapkan wajahnya sampai NTEK (hanief) kepada WAJAH Yang Maha Meliputi segala sesuatu.


~ ....