السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Ingredients:
Selama ini
mungkin kita sudah sangat kenyang dengan doktrin dalam berbagai agama tentang
kata-kata KAFIR ini. Dimana cap kafir ini sudah berubah menjadi sebuah ungkapan
yang sangat MENAKUTKAN, MENJIJIKKAN, dan MENGERIKAN. Saat cap kafir ini sudah
melekat pada diri seseorang, maka sepertinya orang itu sudah kita anggap
sebagai seseorang yang punya kesalahan yang sangat fatal dan derajat yang
sangat rendah. Dengan mencap orang lain kafir, maka sepertinya ada diantara
kita yang merasa bahwa darah orang kafir itu HALAL untuk ditumpahkan. Sehingga
dalam sejarah peradaban manusia, kita sudah sangat hafal dengan berbagai
peperangan demi peperangan yang di jalani oleh kakek moyang kita.
Dengan cap
kafir terhadap seseorang, maka kebanyakan dari kita akan melihat orang yang di
cap kafir itu dengan pandangan penuh kebencian, penuh kecurigaan, dan bahkan
penuh kemarahan. Karena kita takut jangan-jangan orang yang di cap kafir itu
akan membawa kita juga untuk menjadi kafir. Padahal status kafir ini dalam
pelajaran-pelajaran agama apa pun akan diganjar dengan neraka. Sebuah ganjaran
yang membuat kita GACAR (mencret) karena ketakutan.
Padahal kalau
kita kupas agak sekupas dua kupas, maka ungkapan KAFIR ini hanyalah sebuah
ungkapan dengan pengertian yang sangat sederhana saja. Bahwa seseorang yang
TIDAK MENYADARI akan SESUATU, maka orang itu dikatakan sedang KAFIR (ter-cover),
tertutup kesadarannya terhadap SESUATU tersebut. Hanya sesederhana itu saja kok
pengertian tentang KAFIR. Kitanya saja yang mau-maunya di distorsikan pemahaman
kita seperti sekarang ini, sehingga jadilah kita seperti saat ini. Umat yang
hidup penuh dengan konflik yang dipelihara turun-temurun hanya karena sebuah
kata KAFIR. Masalah bagaimana pedih dan kerasnya hukuman Tuhan terhadap
orang-orang yang kafir kepada Allah adalah masalah lain lagi. Begitulah salah
satu cara Allah dan Rasulullah memotivasi umat manusia agar mau ingat dan sadar
kepada Allah, yaitu dengan menakut-nakuti umat manusia dengan hukuman yang
sangat pedih dan di neraka pula tempatnya.
Disamping itu,
saat saya tidak mampu membuka kesadaran saya terhadap ketuhanan YESUS seperti
yang diyakini oleh umat Nasrani, maka umat Nasrani akan menganggap saya sebagai
seorang kafir terhadap Yesus, ya ndak masalah. Begitu juga saat saya tidak
mampu membuka kesadaran saya tentang Allah, maka saat itu saya akan dilabeli
oleh Allah sendiri sebagai seorang yang kafir terhadap Allah. Walaupun ilmu
pengetahuan saya tentang Allah barangkali sudah sangat lengkap, akan tetapi
jika pada saat yang sama saya tidak sedikit pun merasakan IHSAN terhadap Allah,
maka boleh jadi saat itu saya sedang kafir kepada Allah. Ya…, karena saat itu
saya tidak sedikit pun sadar akan keberadaan Allah. Ungkapan seperti ini yang
kita tidak siap untuk menerimanya.
Untuk membuktikan
tentang tidak ihsannya kita ini sangat gampang sekali kok. Saat di keseharian
kita, mampu nggak kita untuk merasa “SUNGKAN” untuk berbuat TIDAK BAIK, atau
mampu nggak kita untuk merasakan “TUNTUNAN” Tuhan atas setiap tindakan kita ke
arah yang BAIK-BAIK. Kalau yang ada adalah rasa TIDAK SUNGKAN kita untuk
berbuat tidak baik, dan rasa TIDAK DITUNTUN ke arah yang BAIK, maka saat itu
juga kita bolehlah untuk SANGAT khawatir, jangan-jangan Tuhan memang sedang
mencampakkan dan membiarkan kita (istidraj).
Tapi jangan
khawatir. Saat kita digeletakkan oleh Allah ini (dalam posisi istidraj),
sebenarnya kita tetap dan tengah dituntun oleh ALLAH juga. Namun tuntunan Allah
itu ke arah yang TIDAK BAIK. Ya…, arahnya saja yang salah. Betapa tidak. Untuk
berbuat jahat dan tidak baik itu sebenarnya kita butuh daya, tenaga, dan
keberanian yang sangat besar. Untuk berbohong saja, misalnya, kita rasanya
harus mengeluarkan tenaga ekstra. Apalagi untuk mencuri, berzina, korupsi, dan
berbagai perbuatan tidak baik lainnya. Sungguh semuanya itu butuh daya yang
sangat besar. Apalagi kalau semua perilaku buruk itu melekat pada diri kita
sendiri. Wuiih…, dahsyatnya power yang kita butuhkan.
Makanya dalam
keseharian kita, dalam shalat kita, kita selalu minta dituntun Allah ke jalan
yang LURUS (Ihdinash shiraathal mustaqiim). Tapi itulah kita manusia
ini, kita hampir sebagian besar tertahan dari tuntunan Tuhan ke arah yang lurus
(baik) ini. Dan anehnya lagi tertahannya kita dari tuntunan Tuhan ke arah yang
baik itu karena kita memang tengah DIBUAT LUPA atau DIJADIKAN TIDAK TAHU oleh
ALLAH dalam memanfaatkan SWITCH (tombol) penentu arah saat kita berada
dipersimpangan jalan antara yang baik dan yang buruk itu. Nah…, supaya tidak
dibuat lupa oleh Allah, maka carilah switch itu sampai dapat, dan kita nanti
tinggal menikmati tuntunan ke arah yang baik.
Kemudian, dalam
pelajaran tentang TUHAN pun, kita selama ini sudah sangat jauh terdistorsi
dari suatu pengertian yang sebenarnya sangat sederhana. Dengan pengetahuan yang
sampai ke otak kita, dari berbagai sumber, seakan-akan kita umat manusia ini
sedang sibuk mencari diri sendiri dan juga mencari Tuhan. Dengan pengajaran
tersebut, seakan-akan kita saat ini tengah berada dalam suasana KEHILANGAN DIRI
kita sendiri dan KEHILANGAN TUHAN pula, sehingga harus kita temukan lagi. Maka
kemudian lahirlah berbagai konsep tentang usaha umat manusia dalam mencari dan
menemukan dirinya sendiri maupun Tuhan. Dan anehnya, SEMAKIN RUMIT konsep itu,
maka orang umumnya menganggapnya sebagai sebuah konsep yang LEBIH BENAR.
Dalam
menghadapi kerumitan konsep itu, umumnya umat manusia terpecah menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama adalah orang yang mau tidak mau terpaksa harus
menerima kerumitan itu sebagai sebuah sikap hidup. Karena kalau tidak, maka
kelompok ini sangat ketakutan dengan cap kafir dengan ganjaran yang sangat
mengerikan seperti yang sudah dijelaskan di atas : NERAKA. Kelompok kedua
adalah gerombolan orang yang bersikap MASA BODOH terhadap konsep yang
rumit-rumit itu, saking rumitnya. Karena dengan tidak memakai konsep yang rumit
itu hidup mereka toh nggak menderita-menderita amat. Enjoy aja kata
sebuah iklan…!.
Mungkinkah ada
konsep yang SANGAT SEDERHANA agar kita bisa DISADARKAN tentang diri kita dan
tentang Tuhan…?. Sehingga kita tidak sanggup lagi untuk bersikap masa bodoh,
seperti tidak sanggupnya kita untuk merasa terpaksa dalam menjalani konsep demi
konsep yang tadinya meletihkan kita.
Berbagai Cover…
Dulu kesadaran
saya tertutup, kafir, atau berhenti tentang Tuhan yang sebenarnya dan
yang seharusnya. Karena saat dulu itu konsep (ilmu pengetahuan) yang masuk ke
otak saya tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan itu bersemayam di Arsy yang
berada di langit ke tujuh (sidratul muntaha) yang entah dimana.
Dan untuk bertemu dengan Tuhan, maka kita harus melewati alam-alam akhirat
dulu, karena kita hanya bisa bertemu dengan Tuhan di akhirat. Dan itu pun
ketemunya NANTI. Hanya Muhammad Rasulullah sajalah yang pernah ketemu Tuhan
saat Beliau masih hidup. Dan pertemuan itu adalah di sidratul muntaha
saat Beliau “Isra’ dan Mi’raj”. Sedangkan buat kita-kita umat
Beliau ini, pertemuan dengan Tuhan itu nantinya adalah di akhirat. Ditambah
lagi dengan pemahaman tentang Tuhan yang beredar umum di tengah-tengah
masyarakat, bahwa Tuhan bersemayam yaitu di Arasy-Nya.
Sampai di
pemahaman seperti ini sebenarnya tidak ada masalah sama sekali. Karena dalam
banyak hadits Rasulullah memang memberikan wejangan Beliau seperti itu kepada
sahabat-sahabat saat itu. Juga dalam Al Qur’an sendiri dinyatakan bahwa Allah “tsummastawa
‘alal arsy yudabbirul amra”, Dia bersemayam diatas ‘Arsy untuk mengatur
segala urusan”.
Akan
tetapi sayangnya tidak jarang diantara kita, kalau tidak mau dikatakan
mayoritas umat Islam, yang terjebak dalam memahami makna bersemayam itu seperti
bersemayamnya seorang raja di singasananya. Dan singasana Tuhan itupun berada
di langit ke tujuh, bahwa singasana-Nya ada di Sidratul Muntaha, bahwa Tuhan
hanya bisa ditemui di akhirat dan dan itupun nanti pula, maka secara tidak
sadar sebenarnya kita telah mempersepsikan menghadap Tuhan itu sebagai orang
awam berhadapan dengan sosok raja diraja di langit. Sehingga Tuhan seakan-akan
sosok yang sangat jauh dengan kita. Ya…, seperti dewa gitu loh…!.
Apalagi dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia
di sepertiga malam…, dst.
Makanya, karena
mengharap pertemuan dengan Tuhan di akhirat itu, segala ibadah dan amalan saya lakukan
dengan harapan untuk dapat pahala sehingga nanti bisa bertemu dengan Tuhan di
akhirat dan dimasukkan-Nya kedalam syurga-Nya. Enak nggak enak, maka ibadah dan
amalan itu harus saya lakukan. Karena kalau tidak dilakukan, maka Tuhan akan
marah kepada saya.
Akibatnya, kita
lalu mencari-cari Tuhan dengan otak kita. Lalu tidak sedikit pula orang yang
hanya sampai di kesadaran bahwa tidak mungkin orang bisa bertemu Tuhan di dunia
ini. Kalau ada yang mengaku bertemu Tuhan, maka jangan-jangan itu hanya persepsi
dirinya sendiri, atau Si ”AKU” yang berani-beraninya mengklaim, bahwa dirinya
telah bertemu/ berjumpa.... dgn Allah..?. Dan berbagai ungkapan lainnya
yang sangat rumit, seakan-akan kita sengaja memperumit diri sendiri tentang
Tuhan. Sehingga lengkap sudah tertutupnya kesadaran kita terhadap eksistensi
Tuhan. Kita jadi seperti terpisah dengan Tuhan. Kita tidak punya lagi kesadaran
bahwa saat shalat dan berdo’a, kita sebenarnya SAAT ITU tengah menghadap dan
menyembah Tuhan, berbicara dengan Tuhan, memuja Tuhan. Ya…, kita tidak bisa
lepas dari Allah seperti tidak bisa lepasnya nafas, aliran darah, dan
pergerakan alam semesta ini dari Allah. Dan ternyata, suasana ter-cover
terhadap Allah seperti ini sangatlah tidak enak, sehingga kemudian saya lalu
mencoba masuk ke dalam konsep yang lain lagi. Konsep tarekat dan tasawuf.
Selama beberapa
tahun kemudian, saya berada dalam dunia tarekat dan tasawuf yang inti ajarannya
adalah tentang bagaimana kita harus MEMBERSIHKAN HATI kita dulu agar hati itu
nantinya bisa suci dan bersinar, sehingga hati itu bisa “melihat Tuhan”. Dan
syarat mutlak untuk masuk ke wilayah tarekat ini adalah dengan menerima peran
wujud lain sebagai wasilah kita untuk menyambungkan diri kita dengan
Allah. Wasilah itu sambung menyambung dari satu orang mursyid
termuda, lalu guru dari mursyid tersebut berantai ke guru-guru-guru-guru
mursyid lainnya sampai ke Rasulullah dan baru ke Allah. Rantai sambungan
itu disebut juga dengan rabithah guru, dan proses menghadapkan perhatian
(wajah) kepada guru mursyid itu disebut juga dengan bertawajjuh.
Kalau kita tidak ikut mengikatkan diri pada mursyid yang berada dalam
dalam ‘rantai emas’ mursyid sebuah tarekat tertentu, maka kita akan
berada di luar kelompok tersebut saat kiamat dan di hari akhir nanti dan tidak
ditolong pula oleh Rasulullah, karena memang Rasulullah ditempatkan di dalam
rantai emas mursyid tarekat tersebut pada tingkat pamuncak.
Selama kurun
waktu bertarekat tersebut, maka berbagai praktek olah diri (tadzkiyatunnafs)
yang sangat sulit harus saya jalani. Wirid dan afirmasi yang berulang-ulang
dengan kalimat-kalimat thaiyyibah yang harus dilakukan sangatlah banyak.
Untuk waktunya pun lebih lama wiridannya dari pada shalatnya sendiri.
Tapi…, tetap saja bukan Tuhan yang ketemu. Malah yang muncul adalah sensasi
alam demi alam dan fenomena-fenomena yang tadinya hanya bisa di baca dalam
berbagai riwayat atau buku sufi terkenal. Mengasyikkan memang semua itu. Akan
tetapi yang namanya TUNTUNAN Tuhan dan RASA SUNGKAN terhadap Tuhan nggak
dapat-dapat juga saya pahami. Saya seperti asyik sendiri dengan berbagai
atribut ketasawufan yang melelahkan itu, sehingga kemudian saya mencari lagi
konsep lain tentang ketuhanan yang lebih sederhana dan bisa diterapkan dalam
keseharian.
Kemudian
saya lalu masuk ke dalam komunitas PATRAP yang di dalamnya saya diperkenalkan
dengan konsep ketuhanan yang lebih simple. Bahwa Tuhan itu ternyata
hanyalah Dzat Yang Sangat Sederhana akan tetapi Serba Maha. Dzat yang
MAHA MELIPUTI segala sesuatu. Walaupun begitu, dalam kenyataannya konsep patrap
yang sangat sederhana ini tidaklah terlalu mudah juga untuk diaplikasikan.
Kalau kauro (ilmu pengetahuannya) mungkin bisa saya terima dengan sangat
mudah. Bahkan pelatihan-pelatihannya juga bisa saya ikuti dengan tanpa
kesulitan yang berarti. Tuntunan demi tuntunan dan rasa sungkan demi rasa
sungkan, alhamdulillah bisa saya rasakan realitasnya.
Akan tetapi
dalam perjalanannya, ada sesuatu yang saya rasakan sulit untuk saya dapatkan,
yaitu untuk masuk kepada suasana KEARIFAN, suasana KERENDAHAN HATI. Ya…,
bagaimana caranya agar saya bisa duduk di wilayah ini. Ini yang menjadi
pertanyaan saya yang cukup panjang juga. Kenapa…??.
Karena di dalam
patrap inilah saya mendapatkan sebuah cara berfikir yang sangat revolusioner
sekali. Tidak salah memang kalau dikatakan bahwa virus pemikiran PATRAP ini
telah menghancurkan berbagai file masa lalu saya yang sudah karatan di dalam
otak saya selama ini. Ditambah lagi dengan tidak adanya konsep pengkelasan (grading)
baik antara seorang guru dengan murid, maupun diantara sesama komunitas patrap
itu sendiri. Egaliter sekali. Sehingga yang muncul kemudian adalah sebuah
karakter baru dimana seorang murid mungkin tidak lagi menghormati guru, karena
memang tidak ada konsep guru dan murid di dalamnya. Dalam bidang pemikiran pun,
konsep spiritual, agama-agama, dan peradaban juga dikupas tuntas sampai
“bugil”, sehingga nyaris saja orang patrap meremehkan pengajian-pengajian agama
yang membahas hukum, syariah maupun laku spiritual lainnya.
Ternyata orang
yang banyak ilmu, banyak tahu hukum, bahkan banyak pula kesaksian, kalau orang
itu tidak bisa merangkainya dengan sikap RENDAH HATI dan ARIF, sangatlah
berbahaya. Ilmu, hukum dan kesaksian itu bisa menjadi sebuah senjata baru yang
sangat hebat untuk memuaskan kepentingan atau dorongan diri sendiri (hawa un
nafs). Sungguh mengerikan sekali.
Lalu dalam
sebuah pelatihan bersama Ustadz Abu Sangkan di ruang basement Masjid
Baitul Ihsan (BI) seminggu sebelum bencana Tsunami melanda ACEH, saya dan
beberapa orang teman yang lainnya merasakan suasana yang sangat berbeda yang
belum pernah saya dapatkan sejak saya mulai ikutan patrap ini, apalagi pada
praktek-praktek olah diri dan olah jiwa yang sebelumnya. Saya saat itu seperti
di tarok di wilayah yang sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Wilayah yang
seperti DI RUMAH sendiri. Wilayah yang sepertinya sudah sangat saya kenal lama
sekali, akan tetapi yang sudah terlupakan sedemikian lama pula…!!!. YA…, selama
ini wilayah ini seperti terlupakan, atau lebih tepatnya saya dibuat lupa
tentang rumah saya ini oleh Allah sendiri. Wilayah rumah saya sendiri sebenarnya
...!.
Dari berbagai
suasana tertutupnya kesadaran (KAFIR) terhadap Tuhan yang sungguh beragam
penyebabnya, maka PASTILAH ada CARA untuk membuka TUTUP tersebut. Ya…, semacam SWITCH
gitu loh. Karena nggak mungkin Allah menggeletakkan makhluk ciptaan-Nya
dalam berbagai masalah tanpa adanya solusi untuk keluar dari masalah itu.
Sungguh Allah ternyata memang sangatlah sempurna sebagai Sang Grand Designer
Tunggal dalam segala hal. Untuk setiap MASALAH, apapun masalah itu, ternyata
Allah juga telah menyiapkan SOLUSINYA pada saat yang BERSAMAAN. Seperti
berpasang-pasangan gitu loh.
Maha Suci Tuhan
yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui. (Yaa siin 36)
(Dia) Pencipta
langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri
pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula),
dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Asy Syura 11)
Akan tetapi
hampir sebagian besar dari kita tertutup pula untuk melihat solusi yang sudah
ada itu untuk keluar dari problematika yang kita hadapi. Kita selalu saja
cenderung lebih MUDAH untuk hanya bisa melihat masalah demi masalah tanpa
menemukan solusinya. Kita memang telah jadi umat yang punya segudang masalah dari
dulu sekali sampai sekarang ini, akan tetapi sangat miskin dengan solusi.
Begitu juga
dengan suasana kesadaran yang tertutup, tidak sadar, KAFIR, ternyata juga ada
pasangannya, yaitu suasana terbuka, sadar, ingat, DZIKIR. Ya…, untuk keluar
dari masalah KEKAFIRAN, maka satu-satunya jalan adalah dengan dzikir. Jadi
dzikir adalah sebuah proses yang bertujuan untuk membuka tutup kesadaran
kita terhadap sesuatu, sehingga sesuatu itu lalu jadi NYATA (ZAHIR) bagi
kita.
Sedangkan
DZIKRULLAH bermakna sebagai sebuah suasana TERBUKANYA KESADARAN kita terhadap
ALLAH. Ya…, dzikrullah adalah suasana ingat dan sadar yang tertuju hanya kepada
Allah. Hanya Allah lah yang ADA, sedangkan yang lain selain Allah adalah FANA,
TIADA. Pengertian seperti ini merupakan makna hakiki dari kalimat tauhid laa
ilaha illallah…!!.
Akan tetapi,
kalau kita tidak berhasil mencapai suasana atau wilayah dzikrullah ini, maka
hampir secara otomatis pula kita akan masuk ke wilayah KAFIR, yaitu wilayah
dimana yang ada adalah yang SELAIN ALLAH, sedangkan ALLAH lalu menjadi WUJUD
yang hilang, FANA, TIADA. Dan kafir terhadap Allah ini ternyata adalah puncak
dari hilangnya kesadaran seorang manusia yang akibatnya adalah siksa yang
sangat pedih bagi manusia itu sendiri.
TUHAN
YANG SANGAT SEDERHANA …!
Allah ternyata
adalah Dzat yang begitu LUGU dalam memperkenalkan DIRI dan WUJUD-NYA
kepada kita umat manusia ini;
Pada taraf
pertama, yang biasa-biasa saja, Dia memperkenalkan DIRI-Nya bahwa: “… (sesungguhnya) Aku
dekat
(Al Baqarah 186). Walau hanya sampai pada kesadaran tentang kedekatan Tuhan
seperti ini, namanya sudah ihsan juga. Selanjutnya, Dia memperkenalkan DIRI-Nya
bahwa: “…Allah lebih dekat dari urat leher (Al Qaaf 16)”, inipun
ihsan juga namanya. Lalu Dia menimpali lagi: “ … Kemana saja menghadap,
disana ada wajah Allah (Al Baqarah 115)”.
Pada taraf kedua, yang lebih sederhana lagi,
Dia memperkenalkan WUJUD-Nya bahwa: “…Allah meliputi orang-orang kafir
(Al Baqarah 19)”. Lagi: “… Sesungguhnya Tuhanmu meliputi segala manusia
(Al Israa’ 60)”.
Pada taraf ketiga, yang lebih-lebih sederhana
lagi, Dia menyatakan WUJUD-Nya bahwa: “Dia Maha Meliputi segala sesuatu
(Al Fushilat 54)”. Dan lagi: “Allah Maha Meliputi segala sesuatu
(An Nissa 126)”.
Pada taraf keempat, yang paling sederhana,
agar kita nggak usah capek-capek lagi mikirin DIRI dan WUJUD-Nya, maka Dia
memagari imajinasi liar kita dengan kalimat: “… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia… (Asy Syura 11)”.
Dan pada taraf
kelima, yang tidak ada lagi taraf setelah itu, maka Wujud Yang Maha
Meliputi yang tidak sama dengan apapun itu, punya “Aku”. Dia bersabda dengan
“Aku”-Nya “Innani ana Allahu, laa ilaha illa ana, fa'budni, wa
aqimishshalata lizikrii. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(Thaha 14).
Dengan lima
taraf kesadaran ihsan kepada Tuhan seperti ini, maka selesai sudah Ilmu
tentang Tuhan. Ya…, dengan beberapa ayat Al Qur’an di atas, ilmu tentang tauhidullah,
ilmu ma’rifatullah tamatlah sudah. Akan tetapi kelima taraf kesadaran
ihsan ini haruslah menjadi SATU KESADARAN UTUH pada saat yang sama. Tidak boleh
terpisah-pisah. Dalam setiap aliran nafas, dalam setiap pandangan, dalam setiap
pendengaran, maka kita harus duduk pada kesadaran ihsan seperti
ini. DEERRR….!!.
Karena kalau
kita coba-coba keluar dari pengertian tentang TUHAN yang sesederhana ini,
sesuai dengan pengungkapan Tuhan itu sendiri, maka yakin deh bahwa kita
akan berubah menjadi orang yang RUMIT dalam berketuhanan. Dan ternyata memang
kerumitan itulah yang telah kita warisi dari generasi ke generasi, sehingga
kita lalu menjadi umat manusia yang rumit pula. Sangat rumit malah.
Misalnya, kalau
kita hanya berhenti sampai pada taraf kesadaran bahwa Allah dekat, bahkan lebih
dekat dari urat leher kita, maka biasanya kita akan mencari-cari Allah.
Allah lalu dicari-cari ke langit yang ketujuh yang entah dimana. Allah dicari
di dalam hati. Atau Allah dicari-cari dengan terlebih dahulu melalui alam-alam
yang diberi nama misalnya alam lahut, alam nasut, alam jabrut, dan sebagainya.
Sungguh rumit sekali untuk ketemu dengan Tuhan. Semakin dicari kedekatan Allah
itu, eh… malah Tuhan sepertinya semakin jauh. Jauuuh sekali.
Begitu juga kalau kita berhenti dikesadaran bahwa kemana
saja menghadap, disana ada wajah Allah, maka kita akan dibuat sibuk
untuk memposisikan hati, memposisikan wajah, jiwa, ruh kita biar bisa dekat dan
menghadap terus kepada Allah. Kita sibuk mencari posisi terus, dan biasanya
posisinya malah nggak tepat-tepat juga. Serba paradoks memang.
Ada memang diantara kita yang percaya pada ayat Al Qur’an
bahwa Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Kita manggut-manggut dan terangguk-angguk malah sangking hafalnya. Akan tetapi sayangnya kita
tidak sampai kepada kesadaran berketuhanan, sehingga kita benar-benar terpaku
hanya pada kesadaran kebendaan. Serba benda saja yang menarik perhatian kita.
Kesadaran kita benar-benar seperti tertutup akan ayat yang menyatakan bahwa Dia Maha Meliputi
segala sesuatu.
Ya…, ratusan tahun kesadaran kita akan liputan Tuhan atas
segala sesuatu seperti tertutup. Setiap ketemu ayat ini, kita selalu saja di
giring kepada pengertian bahwa yang meliputi segala sesuatu itu adalah
KEKUASAAN-NYA, PENGETAHUAN-NYA, ILMU-NYA. Sehingga kita sepertinya selalu
dibawa terus untuk MENYEMBAH SIFAT TUHAN. Menyembah sifat, walau sifat itu
milik Tuhan sekali pun, adalah salah satu bentuk SYIRIK yang tidak ditolerir
sedikit pun oleh Tuhan. Sebab Tuhan memerintahkan kita untuk menyembah HANYA
kepada DZAT-NYA, AKU-NYA.
Nah…, kalau tutup kesadaran kita sudah terbuka atas Wujud
Tuhan Yang Maha Meliputi segala sesuatu, dan sadar pula bahwa Dzat-Nya tidak
sama dengan apapun juga, maka kita tinggal bersandar, berpegang, bergantung
kepada Wujud Tuhan itu. INI YANG TERPENTING SEBENARNYA. Bahwa kita berpegang
teguh kepada Sang Maha Meliputi. Sedangkan yang lain-lainnya nanti tinggal
mengikuti saja.
Karena apapun
nanti atribut yang melekat dan diselendangkan kepada Allah, baik itu SIFAT,
KEHENDAK, PENGETAHUAN, dan PERBUATAN-NYA, maka kesemuanya itu TEPAT berada pada
Dzat Yang Maha Meliputi dan Yang Tidak Sama dengan segala apapun INI.
Begitu juga dengan segala ciptaan-Nya, sebutlah apa saja, maka semua itu
pastilah berada dalam liputan Dzat Tuhan juga. Dan kepada Dzat Tuhan itu
pulalah kita harus mengaturkan persembahan, permohonan, penyerahan,
penghormatan, dan menghantarkan segala tanda-tanda kelemahan dan kehambaan kita
yang lainnya kita arahkan atau kita kembalikan. Bukan kepada yang lain. Selesai
sudah…!.
Masalah
nantinya Dzat Yang Maha Meliputi Segala sesuatu itu mau disebut dengan istilah
apa, itu masalah lain lagi. Umat Islam menyebutnya dengan sebutan ALLAH. Begitu
juga, dalam berbagai agama dan kepercayaan. Ada yang menamakan Dzat itu dengan
sebutan Brahman…, Oum…, Yehova, Thian, Manitou, Bapa di Syurga, dan sebagainya.
Karena memang Dzat itu menyebut diri-Nya sendiri sebagai Rabbul ‘Alamin, Tuhan
bagi alam semesta berikut dengan segala isinya. Cuma nanti akan muncul masalah,
yaitu: “saat menyebut nama Dzat tadi itu, mampukah kita sampai kealamat
yang sebenarnya, yaitu Sang Maha Meliputi?”. Kalau tidak mampu, maka
itu namanya kita telah menjadi KAFIR terhadap Dzat Yang Maha Meliputi itu.
Akibatnya dalam masalah ketuhanan ini kita lalu menjadi orang yang RUMIT, dan
Tuhan pun lalu berubah menjadi Tuhan Yang Rumit.
Dalam ajaran
agama Kristen, misalnya, mereka bingung tentang ungkapan Bapa di syurga,
sehingga orang tersebut merasa jauh dengan Bapa yang di syurga itu. Lalu untuk
menggampangkan agar mereka bisa keluar dari kebingungan itu, maka agama
tersebut menciptakan sesuatu yang bisa dipersepsikan dengan mudah. Lalu
muncullah konsep Anak Tuhan, atau Tuhan dalam bentuk manusia. Dan atribut
seperti ini dilekatkan kepada Yesus Kristus. Sehingga lalu Yesus disembah dan
dimintai pertolongan. Kapanpun pemeluk agama Kristen menyebut nama Tuhan, atau
dalam berbagai kesempatan disebut juga dengan Allah (umat Kristen melafalkannya
dengan Alah), maka arah pikir dari pemeluk agama ini selalu saja dibetot ke
arah sosok manusia, yaitu sosok Yesus yang kemudian divisualkan pula dalam
bentuk patung dengan berbagai bentuk dan posisi. Yang paling populer adalah
visualisasi Yesus yang sedang disalib. Hal yang sama juga bisa terjadi pada
umat yang beragama apa pun, tak terkecuali umat Islam. Dimana saat menyebut
nama Tuhan, dalam berbagai bahasa, umat-umat beragama itu tidak mampu untuk
menghadapkan wajahnya sampai NTEK (hanief) kepada WAJAH Yang Maha
Meliputi segala sesuatu.
~ ....