Salah satu gagasan utama para pendukung pluralisme adalah membuang klaim kebenaran (truth claim). Mereka beranggapan, truth claim-lah
 yang menyebabkan banyaknya konflik antar umat beragama, sikap 
intoleran, bahkan terorisme. Apakah anggapan ini benar? Jelas sekali 
anggapan ini keliru, jauh dari kebenaran dan berdasarkan asumsi yang 
mentah.
Bagi seorang muslim, truth claim merupakan ‘harga mati’. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surah Ali ‘Imran ayat 19:
إن الدين عند الله الإسلام
Allah ta’ala juga berfirman dalam surah Ali ‘Imran ayat 85:
ومن يبتغ غير الإسلم دينا فلن يقبل منه وهو في الأخرة من الخسرين
Dua ayat di atas menunjukkan klaim kebenaran (truth claim) yang dimiliki oleh Islam. Saya yakin, di agama lain juga punya konsep seperti ini.
Secara ‘aqli, truth claim merupakan hal yang wajar dan ‘wajib’ ada di setiap ajaran agama. Mengapa? Jelas, karena setiap agama (diin) hadir membawa sebuah ajaran sekaligus menafikan ajaran-ajaran selainnya. Coba pikirkan, mengapa Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
 rela meninggalkan kenikmatan hidup duniawi untuk memperjuangkan Islam, 
bahkan harus bersitegang dan berperang dengan suku, kabilah dan keluarga
 beliau sendiri demi meninggikan kalimat Islam? Jawabannya tentu karena 
Rasulullah dan para shahabat beliau meyakini kebenaran Islam dan 
mengingkari kebenaran ajaran-ajaran lain selain Islam. Jika beliau tidak
 berpikiran seperti itu, tentu lebih baik beliau hidup tenang-tenang 
saja di Makkah.
Sekarang mari kita telanjangi kesalahan pemikiran para pendukung pluralisme tentang konsep ini.
1. Benarkah truth claim menyebabkan konflik berkepanjangan antar umat beragama?
Jika kita sedikit saja mencoba mempelajari 
sejarah kegemilangan Islam sejak pertama kali tumbuh di Madinah sampai 
kemudian mendunia, kita akan mengetahui bahwa umat yang paling toleran 
terhadap perbedaan adalah umat Islam. Tentang perbedaan suku dan kelas 
sosial, tak perlu diperjelas lagi. Cahaya Islam terlalu terang untuk 
ditutupi dan dibuat buram. Islam telah menegaskan bahwa ukuran kemuliaan
 adalah ketaqwaan, bukan suku, ras, ekonomi atau kelas sosial.
Tentang toleransi antar umat beragama, 
Madinah di masa Nabi adalah contohnya. Di sana, selain Islam hidup pula 
orang-orang Yahudi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 
membiarkan mereka dan bersikap sangat toleran dengan mereka. Yahudi baru
 diusir dari Madinah karena pengkhianatan mereka terhadap perjanjian 
yang telah mereka buat bersama umat Islam.
Sikap toleran ini juga terpampang jelas di 
dunia Islam. Dulu, –ketika Palestina masih di bawah kepemimpinan Islam– 
Yahudi, Nasrani dan Islam bisa hidup berdampingan dan tidak ada konflik 
seperti sekarang. Di negeri-negeri Islam lain pun juga begitu. Dan sikap
 toleransi umat Islam kepada umat agama lain sama sekali tidak 
menghilangkan truth claim yang mereka miliki. Mereka masih memegang pemahaman yang disampaikan Allah ‘azza wa jalla
 di surah al-Kaafiruun. Toleransi –yang tidak kebablasan– pada faktanya 
bisa dilakukan tanpa harus mengorbankan ‘aqidah. Untuk rujukannya, 
silakan baca kitab-kitab Tarikh Islam.
2. Apakah ujung dari konsep peniadaan truth claim?
Bagi pendukung pluralisme, umat Islam tak 
boleh mengatakan dan meyakini bahwa hanya melalui Islam-lah 
‘keselamatan’ akan didapatkan. Bagi mereka, umat Islam harus meyakini 
bahwa semua agama –termasuk ajaran pagan dan ajaran setan (?)–, menuju 
hal yang sama, cuma jalannya saja yang berbeda. Bagi mereka, perbedaan 
jalan adalah hal yang wajar dan masing-masing tidak boleh mengklaim 
hanya jalan mereka lah yang benar. Inilah dasar dari ajaran pluralisme. 
Apa hasil dari konsep seperti ini?
Hasilnya adalah kebimbangan. Pernyataan-pernyataan aneh akan muncul jika seseorang mengadopsi pemikiran keblinger
 ini, semisal, ‘Jika Islam dan Nasrani sama-sama benar, lalu untuk apa 
saya bertahan dengan keislaman saya, ajaran Islam kan susah.’ Atau, 
‘Jika kebenaran tak hanya ada pada Islam, berarti boleh dong saya 
gonta-ganti agama semau saya.’ Atau, ‘Jika semua agama menuju satu 
tujuan yang sama, boleh dong saya membuat agama baru dengan tatacara 
baru, yang penting tujuannya sama.’ Atau, ‘Kalau tidak ada agama yang 
memiliki kebenaran mutlak, untuk apa saya beragama?’
Ternyata, ujung dari pluralisme adalah agnostisisme dan ateisme.
 Makanya, di Eropa –yang mengagungkan pluralisme– begitu banyak orang 
yang tak beragama, bahkan sebagian menyatakan tak percaya –minimal 
meragukan– adanya Tuhan. Dr. Syamsuddin Arif yang pernah belajar di 
Jerman –di buku beliau “Orientalis & Diabolisme Pemikiran”– menceritakan fenomena tersebut.
*****
Jadi, bisa kita simpulkan, ide pluralisme yang menafikan dan mematikan truth claim
 hanya akan melahirkan kebimbangan pemikiran. Para pendukung ide 
pluralisme hanya akan berputar pada kebimbangan, karena –jika mereka 
jujur dengan konsep mereka– mereka tak akan punya ‘konsep kebenaran’ 
yang bisa mereka pegang. Bahkan, mereka –kembali, jika mereka jujur 
dengan konsep mereka– tak boleh mengklaim ide pluralisme sebagai ide 
yang pasti dan mutlak benarnya, karena itu sama saja mereka melakukan 
klaim kebenaran yang selama ini selalu mereka tolak.
Bagi pendukung pluralisme, silakan 
berbimbang ria. Bagi umat Islam, semoga kita selalu mendapatkan taufiq 
dari Allah ta’ala sehingga bisa selamat dari berbagai kesesatan 
pemikiran yang saat ini begitu banyak dijajakan. Wallahul muwaffiq ilaa aqwaam ath-thariiq.